Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Tugas Berat
Pagi itu, Adara datang lebih awal dari biasanya. Langit masih kelabu, dan matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di balik awan tebal. Kantor masih sepi, hanya beberapa orang yang baru tiba dan berjalan cepat di lorong-lorong. Adara melemparkan pandangan sekilas ke jam tangannya—pukul tujuh tepat. Seperti biasa, ia ingin memastikan segala sesuatu sudah siap ketika Arga tiba.
Bekerja sebagai sekretaris pribadi Arga Pratama, CEO muda yang karismatik, bukanlah tugas yang mudah. Adara selalu mengagumi ketenangan dan ketajaman Arga dalam memimpin, meskipun ia tahu di balik sikap dinginnya, ada pria yang sangat ambisius dan penuh tuntutan. Arga bukan tipe orang yang bisa menerima kegagalan, baik dari dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Setiap kesalahan kecil bisa menjadi bencana besar, terutama bagi orang yang bekerja langsung di bawahnya—seperti Adara.
Adara mengingat kembali percakapan singkat kemarin sore ketika Arga memanggilnya ke ruangannya. Dengan nada dingin dan datar, Arga memberinya tugas baru—sebuah proyek penting yang akan melibatkan beberapa klien besar. Proyek ini harus dirampungkan dalam waktu seminggu, dan Adara yang bertanggung jawab mengatur seluruh pertemuan, negosiasi, hingga laporan akhir yang akan diserahkan kepada dewan direksi. “Saya tidak butuh alasan. Saya butuh hasil,” kata Arga sebelum mengakhiri pertemuan dengan tatapan tajam yang membuat Adara merasa terpojok. Itu adalah kalimat yang sering ia dengar dari Arga, kalimat yang menjadi momok bagi semua pegawainya.
Dengan desakan yang terasa di setiap langkahnya, Adara berjalan cepat menuju ruang kerjanya. Beberapa dokumen penting sudah menumpuk di mejanya, menunggu untuk diperiksa dan disusun. Setiap kertas adalah bagian dari puzzle besar yang harus diselesaikannya—dan semua ini harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Setelah menyalakan komputer dan mulai mengecek email, pikirannya melayang kembali pada proyek yang disebutkan Arga. Dia tahu betul bahwa proyek ini bukan sekadar tugas biasa. Ini adalah ujiannya. Jika ia berhasil menyelesaikan proyek ini dengan baik, posisinya sebagai sekretaris Arga akan semakin kokoh. Tetapi jika gagal, ia mungkin harus bersiap untuk menghadapi konsekuensi terburuk.
Di layar komputernya, puluhan email masuk, mayoritas dari rekan kerja internal yang menanyakan detail proyek, beberapa lainnya dari pihak luar yang ingin menjadwalkan pertemuan. Adara menarik napas panjang, berusaha menenangkan kegugupan yang mulai merayap di dadanya. Ia harus tetap tenang dan fokus. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat.
Tak lama setelah itu, dering telepon di mejanya memecah keheningan. Adara langsung mengangkatnya. “Adara, apa kamu sudah siap dengan presentasi hari ini?” suara tegas terdengar dari seberang.
“Ya, Pak Arga. Saya sedang mempersiapkannya,” jawab Adara dengan nada tenang meskipun tangannya sedikit gemetar.
“Bagus. Saya ingin semua berjalan lancar. Jangan sampai ada yang terlewat,” kata Arga sebelum menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Adara meletakkan teleponnya dengan perasaan bercampur aduk. Ia sadar betul bahwa setiap pertemuan penting seperti ini adalah ujian yang harus ia lewati. Dan hari ini, presentasi tersebut akan menjadi sorotan semua pihak.
Jam terus berdetak, dan ruang rapat mulai dipenuhi oleh beberapa manajer dan kepala departemen yang sudah siap dengan dokumen mereka. Adara menyiapkan presentasi di layar proyektor, sementara Arga duduk di kursinya, diam tanpa ekspresi. Tidak ada tanda-tanda gugup di wajahnya, meskipun pertemuan ini adalah kunci keberhasilan negosiasi proyek yang nilainya mencapai jutaan dolar.
Ketika presentasi dimulai, Adara berdiri di samping Arga, siap memberikan penjelasan dan menjawab pertanyaan jika dibutuhkan. Tatapan tajam Arga membuat Adara semakin waspada. Dia tidak boleh membuat kesalahan sekecil apapun. Satu kesalahan bisa membuatnya kehilangan kepercayaan yang sangat sulit didapatkan dari pria itu.
Selama hampir satu jam, pertemuan berjalan intens. Arga dengan tenang menjelaskan strategi perusahaan, sementara para manajer memberi masukan dan pertanyaan yang sebagian besar diarahkan ke Adara. Setiap kali ia menjawab pertanyaan, Adara bisa merasakan tatapan Arga menilai setiap katanya—seolah-olah dia sedang diuji di hadapan penguasa tertinggi.
Ketika pertemuan usai, semua orang meninggalkan ruangan dengan perasaan puas. Arga tetap duduk di kursinya, memeriksa beberapa dokumen di tangannya. Adara menunggu di sudut ruangan, berharap bisa segera kembali ke meja kerjanya dan melanjutkan tugas-tugas yang menunggu.
“Adara,” panggil Arga tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas di tangannya.
“Ya, Pak?” jawab Adara, mendekat.
“Kamu melakukan pekerjaan yang baik tadi,” katanya tanpa menatapnya. Itu adalah pujian singkat yang sangat jarang keluar dari mulut Arga.
Adara terkejut mendengar itu. Pujian dari Arga adalah hal yang sangat langka. Biasanya, dia hanya mendengar kritik atau perintah tambahan. Tapi kali ini, Arga mengakui kerja kerasnya. Meskipun hanya beberapa kata, itu sudah cukup membuat Adara merasa lega.
“Terima kasih, Pak,” jawab Adara dengan sedikit senyum, meski ia tahu ia tidak bisa berlama-lama menikmati momen ini. Masih banyak tugas berat yang menunggunya.
Namun, sebelum ia bisa kembali ke meja kerjanya, Arga kembali berbicara, “Proyek ini belum selesai. Kita masih harus menyiapkan presentasi final untuk dewan direksi. Saya ingin semua materi sudah siap besok pagi.”
Adara mengangguk meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit tertekan. “Baik, Pak. Saya akan pastikan semuanya siap.”
Arga akhirnya menutup dokumen yang ia baca, lalu berdiri. “Saya tidak mau ada kesalahan, Adara. Ini terlalu penting.”
Kata-kata itu kembali mengingatkan Adara pada tanggung jawab besar yang kini berada di pundaknya. Tugas ini bukan sekadar tugas biasa. Ini adalah kesempatan besar, tetapi juga bisa menjadi beban berat jika ia gagal. Tapi satu hal yang Adara tahu, ia tidak akan membiarkan dirinya gagal. Bekerja dengan Arga memang menuntut banyak pengorbanan, tetapi ia bertekad untuk membuktikan dirinya.
Setelah Arga meninggalkan ruangan, Adara berdiri sejenak, menatap layar proyektor yang masih menyala. Hari itu belum berakhir, dan tantangan berat masih menunggunya. Namun, di balik tekanan yang ada, Adara merasa ada secercah harapan. Pujian singkat dari Arga tadi memberikan sedikit kepercayaan diri yang sangat ia butuhkan.
Dengan napas panjang, Adara memulai kembali pekerjaannya. Tugas berat ini harus diselesaikan, dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengecewakan Arga—dan lebih dari itu, dirinya sendiri.