Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua puluh enam
Sesampainya di lokasi fanmeet, Rai menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil bersama dina dan berusaha menyiapkan wajah ceria demi para penggemarnya. Di belakangnya, Maharani berjalan anggun bersama brian dan ibunya, Davika. Saat keluar dari mobil rai tersenyum hangat, melambaikan tangan pada kerumunan penggemar yang bersorak menyapanya, menjaga senyum di wajahnya agar tetap terlihat profesional meskipun hatinya diliputi kegelisahan.
Dina, tak ingin melewatkan momen itu, segera mengangkat ponselnya, merekam sambutan meriah yang diterima rai. Dengan cepat, dia mengunggah video itu ke media sosial dan membagikannya di grup chat yang sania buat khusus untuk mereka. Dengan begitu, Rayan yang masih di rumah sakit bisa mengikuti kegiatan rai dari kejauhan. Rai sendiri tak menyangka bahwa sania juga menambahkannya ke grup itu, namun hatinya merasa sedikit lebih tenang mengetahui bahwa rayan dan zeline tetap dapat memantau kesehariannya meski mereka terpisah.
Saat duduk di kursi yang telah disediakan, Rai tetap tersenyum, menyapa para fans yang datang untuk mendukungnya. Namun, di balik senyuman itu, hatinya terasa kosong. Pikirannya kembali melayang kepada zeline, membayangkan putrinya mungkin sedang menangis mencari-carinya. Kerinduan dan kekhawatirannya semakin berat untuk dipendam, namun ia berusaha menahannya, demi menghadapi acara dengan sepenuh hati. Di tengah sorak-sorai dan kegembiraan para penggemar, Rai merasakan betapa beratnya menjadi dirinya menjaga kehangatan di depan banyak orang, sementara hatinya jauh bersama keluarganya yang ia rindukan lebih dari apa pun sekarang.
Dan acara fanmeet pun dimulai, dan Rai tampak tersenyum serta berbincang hangat dengan para penggemar, meski hatinya terasa sepi. Di tempat lain, di rumah sakit di kota berbeda, Zeline perlahan terbangun dari tidurnya, matanya mengerjap kecil mencari sosok yang paling dirindukannya.
Melihat zeline terbangun, Rahma yang tengah asyik berbicara dengan rayan langsung menoleh dan bangkit mendekatinya. "Dek," panggil rahma dengan lembut, berusaha menyapa zeline dengan senyuman. Namun, Zeline hanya menatap rahma dengan mata berkaca-kaca, bibir mungilnya bergetar sebelum suaranya yang kecil penuh harap bertanya "Bunda mana?"
Rahma terdiam sesaat, hatinya terasa sesak melihat kesedihan dalam mata kecil zeline. Tapi ia berusaha menguatkan dirinya, lalu berkata dengan lembut, "Bunda pergi sebentar, nanti bunda datang lagi ." Kemudian, Rahma membukakan tangannya, mendekati zeline dengan ajakan hangat, "Sini tante gendong yuk, kita sama ayah."
Tanpa berpikir panjang, Zeline memeluk rahma erat, masih terisak, dan rahma mengangkatnya dengan penuh kasih sayang, membawanya mendekat pada rayan. "Ayah di sini dek. Kita tunggu bunda pulang ya?" ujar rayan pelan, mengusap punggung kecil putrinya. Mereka berdua duduk bersama di sisi rayan, berusaha menenangkan kerinduan zeline, menanti hingga ibu yang dirindukannya kembali ke sisinya.
Rayan lalu menyerahkan ponselnya kepada zeline. "Lihat ini dek, ini bunda. Bunda sedang bekerja," ujarnya dengan suara lembut, berusaha menenangkan putrinya. "Adek sudah ya, jangan nangis lagi, nanti bunda sedih kalau lihat adek nangis."
Zeline memperhatikan layar ponsel dengan mata berbinar dan tangis yang mulai mereda. Dengan suara kecil yang penuh kagum, ia bergumam "Bunda cantik."
Rayan dan rahma tak bisa menahan tawa kecil mendengar ucapan polosnya. Rahma mengusap kepala zeline dengan penuh kasih dan berkata, "Iya dong, makanya adek juga cantik, yakan?"
Zeline mengangguk tanpa berpaling sedikit pun dari layar, matanya terpaku pada sosok ibunya yang tampak tersenyum menyapa para penggemar. Sesekali, senyuman kecil muncul di wajah zeline, tampak tenang dalam kenyamanan seolah ibunya sedang benar-benar berada di dekatnya.
-
-
Satu jam yang penuh dengan canda dan kehangatan bersama para penggemarnya, acara fanmeet pun berakhir. Rai berdiri dari kursinya, mengatur senyum terbaiknya untuk sesi foto terakhir bersama para penggemar yang masih berkumpul di sekelilingnya. Sorak-sorai dan antusiasme mereka membuatnya tak henti-hentinya tersenyum, menyadari bahwa dukungan mereka adalah semangat yang menguatkan dirinya.
Di tengah riuhnya suasana, Dina sigap mengambil video, mengabadikan momen kebersamaan itu lalu mengunggahnya ke media sosial sebagai kenangan. Sementara itu, Brian berdiri sedikit menjauh, diam-diam mengangkat ponselnya dan memotret Rai, menyimpan foto itu untuk dirinya sendiri, tanpa seorang pun yang menyadarinya.
Setelah semua selesai, Rai mengucapkan terima kasih dengan senyum dan lambaian hangat, berpamitan untuk segera pulang. Dia melangkah mantap, dengan harapan bisa segera sampai di unit apartemennya. Di kepalanya, hanya ada satu keinginan, cepat-cepat menghubungi rayan, mendengar suara lembutnya dan memastikan bahwa zeline, buah hatinya, baik-baik saja.
Rai melangkah cepat menuju mobil, hanya sempat melontarkan salam perpisahan singkat kepada ibunya dan Ibu brian. “Mama, tante davika, aku pamit ya. Terima kasih sudah datang,” ucapnya sopan namun terburu-buru. Tatapannya sesaat bertemu dengan brian, yang berdiri di sisi ibunya, namun rai segera mengalihkan pandangan, memasuki mobil dengan segera.
Begitu ia duduk, Dina menghidupkan mesin tanpa banyak bicara, langsung melajukan mobil keluar dari area acara fanmeet. Rai menatap keluar jendela, matanya menyapu pemandangan kota yang samar-samar melintas. Di satu sisi, hatinya sedikit lebih lega karena tanggung jawabnya untuk hari ini telah selesai. Namun, ada rasa resah yang semakin mendalam, keinginan untuk segera tiba di apartemen, untuk menghubungi rayan, dan memastikan zeline tak merasa kesepian tanpa dirinya.
Di sampingnya, Dina melirik sekilas, menangkap ekspresi penuh kerinduan di wajah rai. Dina mengerti tanpa perlu bertanya, dan ia pun mempercepat laju mobil, berharap bisa mengurangi waktu yang memisahkan rai dari keluarganya.
Begitu tiba di apartemen, Rai keluar dari mobil dan menoleh ke arah dina. "Terima kasih kak dina. Hati-hati di jalan ya," ucapnya sambil melambaikan tangan. Dina tersenyum dan mengangguk, balas melambaikan tangan sebelum perlahan melajukan mobilnya pergi.
Rai menarik napas dalam-dalam, rasa lelah di tubuhnya seolah sirna digantikan oleh semangat untuk segera menemui keluarganya, meskipun hanya melalui telepon. Ia melangkah cepat menuju unitnya, membuka pintu dan menutupnya dengan hati-hati. Heningnya ruangan menyelimuti dirinya, namun tanpa menunda, ia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi rayan.
“Halo sayang ” sapa rai dengan lembut begitu panggilan tersambung. Suaranya penuh kerinduan, dan ia bisa mendengar tarikan napas rayan di seberang sana. Ketenangan yang mendadak memenuhi hatinya membuat rai merasa seolah mereka kembali bersama di satu tempat.
Dan justru suara riang zeline yang menyahutnya "Halo bunda! Bunda kapan pulang? Bunda nggak rindu sama Adek? Adek rindu loh sama bunda," celoteh zeline dengan nada penuh manja. “Oh, tadi adek makan buah! Buahnya namanya... pepaya!” lanjutnya dengan antusias, seolah itu adalah berita besar yang tak boleh dilewatkan.
Rai tertawa, merasa lega mendengar suara ceria putrinya, meski hanya melalui telepon. “Iya nak, nanti bunda pulang ya ” jawab rai, suaranya lembut dan penuh kasih sayang.
Setelah bercanda sebentar dengan zeline, Rai beralih bertanya kepada rayan. “Sayang, gimana keadaan kamu sekarang? Tadi setelah rai pulang, ada dokter datang lagi nggak?” tanyanya penuh perhatian.
Rayan tertawa pelan, suaranya menenangkan di seberang sana. “Nggak ada dokter lagi yang masuk sayang. Aku baik-baik saja, sama seperti waktu sebelum rai pergi tadi. Jadi, jangan khawatir ya ” jawab rayan, menenangkan hati rai yang tampak masih resah meski dari kejauhan.
Rai menghela napas lega, senyum kecil terukir di wajahnya. Mendengar suara hangat rayan dan celotehan polos zeline membuatnya merasa seolah mereka kembali satu atap, saling menjaga dan merindukan dalam diam yang penuh cinta.
Kemudian rai menceritakan pengalamannya di acara fanmeet dengan nada manja, seolah berbagi momen berharga yang ingin disimpan bersama rayan. “Banyak banget loh yang nonton rai tadi! Nanti kalau kamu sudah sembuh, Rai mau dipeluk banyak-banyak ya! Rai kangen dipeluk,” katanya sambil terkikik kecil, membayangkan pelukan hangat yang telah lama ia rindukan.
Ia melanjutkan ceritanya, “Banyak yang foto-foto sama Rai juga tadi, terus mereka pada nanya, ‘Rai punya pacar nggak sih?’” Rai tertawa lirih, lalu berkata dengan nada lirih namun penuh makna, “Rai bilang nggak punya pacar. Soalnya, Rai punya suami, tapi... Rai belum berani bilang ke mereka.”
Ia berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar dengan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan “Rai takut, nanti ada yang jahat sama kamu sama zeline…”
Rayan mendengarkan dengan sabar di seberang telepon, merasakan setiap kata rai sebagai bukti cinta yang kuat dan perlindungan yang mengalir di hatinya. Di tengah dunia yang mengelilingi mereka, Rayan tahu, keluarga kecil mereka tetap menjadi prioritas rai tempat ia ingin selalu melindungi dan dicintai.
"Tapi yang..." Lanjutnya, suaranya bergetar halus. Rayan langsung menangkap kekhawatiran itu, menyela dengan nada penuh perhatian, "Kenapa sayang? Rai baik-baik saja kan?"
Rai menarik napas dalam, seakan berusaha menenangkan diri. "Nggak, nggak apa-apa... tadi rai mau ngomong cuma lupa mau ngomong apa," katanya, berusaha terdengar ringan. Tapi kata-kata itu hanyalah selubung tipis yang tak mampu menyembunyikan kegundahan di hatinya.
Rayan merasakan kejanggalan itu, dan meski berjauhan, ia tahu istrinya sedang menyimpan sesuatu. "Rai bohong ya? Ada yang rai pikirkan, kan? Jangan disimpan sendiri, cerita ke aku. Aku di sini buat dengar rai," ucap rayan lembut, suaranya penuh kelembutan yang menenangkan.
Rai terdiam lagi, menahan perasaan yang bercampur aduk. Mendengar suara penuh kasih dari suaminya membuat hatinya hangat, namun juga semakin berat. Ia tahu, di sisi lain telepon itu, Rayan selalu menjadi tempatnya bersandar, siap mendengar, siap memahami, tanpa menghakimi. Perlahan, Rai merasa kekhawatirannya mencair, bersiap untuk akhirnya ia ungkapkan, satu per satu.
"Rai takut, Rayan… mama pasti ingin jodohkan rai sama anak temannya. Kata kak dina, pemuda itu suka sama rai, dan tadi, di acara itu, dia datang sama ibunya. Terus mama malah minta rai ikut sama dia." Rai terdiam sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara bergetar, "Kenapa mama tega sama kita? Apa salah kita sampai mama begini rayan?"
Air mata mulai mengalir di pipinya, seolah beban yang selama ini ia tahan runtuh tak tertahan. Di seberang sana, Rayan mendengarkan dengan hati yang ikut teriris. "Mungkin... mungkin mama hanya ingin menemukan seseorang yang menurutnya pantas untuk rai " katanya pelan, meskipun di dalam hatinya rasa sakit pun ikut merayap. Ia tahu, apapun alasannya, ibu rai tak akan pernah menerima kehadirannya.
Rai terdiam sesaat, lalu mengusap air matanya, "Nggak ada yang pantas buat rai kecuali kamu." Suaranya penuh kepastian, meski kesedihan tak kunjung sirna dari hatinya. Sekali lagi isakannya pecah, menyampaikan rasa sakit dan kecewa yang ia tahan sendirian selama ini. "Rai capek rayan... capek selalu diatur. Mama nggak pernah benar-benar ngertiin rai, nggak pernah sekali pun. Rai nggak bisa jujur ke mama kalau rai ketemu kalian, karena takut… takut kalau sampai tahu, mama bisa sakiti kalian."
Rayan mendengarkan dalam diam, memberi ruang bagi rai untuk meluapkan segala gundahnya. "Tapi sampai kapan rai harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Rai juga ingin hidup seperti keluarga yang lain… bahagia tanpa rasa takut. Gara-gara mama, Rai nggak bisa bebas peluk zeline, nggak bisa ada di samping kalian seperti keluarga pada umumnya. Rayan, Rai harus gimana?"
Di seberang sana, Rayan menarik napas panjang, merasakan beratnya beban yang rai bawa. Dengan suara lembut, ia menjawab "Sayang, kita akan cari jalan keluar bersama. Aku di sini untuk kamu, selalu. Apapun yang terjadi, kita akan hadapi bersama, rai nggak sendirian.”
Rai menangis, suaranya bergetar saat ia berkata, "Rai mau pulang... Rai mau sama kalian, Rai balik ke sana ya sayang? Rai ingin sama kalian."
Di seberang telepon, Rayan mendengarkan dengan penuh kesabaran, merasakan betapa berat beban yang dirasakan oleh rai. Dengan suara tenang namun penuh cinta, Rayan berkata, "Sayang, kalau rai ingin ke sini, lebih baik besok saja ya? Sekarang istirahat dulu. Rai pasti belum sempat istirahat kan? Jangan dipaksakan. Besok rai bisa datang, yakin sama aku, Apa pun yang terjadi, Rai nggak usah takut. Aku tetap mencintai rai, kapanpun Rai ingin pulang, pelukan ku selalu terbuka untuk rai"
Kata-katanya lembut, menenangkan, seperti aliran air yang membasuh resah dalam hati Rai. "Ingat, Rai nggak sendirian. Di samping Rai, ada aku, ada Zeline, dan kita semua yang sayang sama rai. Istriku yang paling cantik, yang paling penyayang, meski sejauh apapun kita di pisahkan, kita ada tuhan menyatukan kita. Selama cinta kita tulus, kita pasti bisa bersatu."
Rai mendengarkan dalam diam, air mata masih mengalir di pipinya, namun kini dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Rayan melanjutkan, "Jadi, untuk sekarang, Rai istirahat dulu ya? Besok kalau memang nggak ada kerjaan, Rai bisa datang ke sini. Aku nggak mau rai sampai jatuh sakit. Rai atau zeline nggak boleh sakit, cukup aku saja yang sakit. Rai harus jaga diri, ya sayang ya ?”
Rai mengangguk pelan, meskipun rayan tak bisa melihatnya. Suara rayan memberinya kekuatan, membantunya menghadapi segala tekanan yang ada. Rai tahu bahwa di balik semua masalah, ada cinta dan dukungan dari suami dan anaknya yang selalu menunggu, dan itu cukup untuk membuatnya merasa aman.