Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Tidur di Sofa Kamar Aldian
Jam 12 malam, tiba-tiba Haliza terbangun dari tidurnya. Suara hujan yang deras serta bunyi dahan kayu dari halaman rumah tetangga yang kebetulan dahannya condong melewati pagar rumah, sesekali berbunyi karena gesekan, menimbulkan suara yang terdengar seram. Padahal Haliza tahu dahan pohon nangka itu memang menjulur dan hampir menyentuh plafon rumah Aldian.
"Ya ampun, hujan." Haliza bangkit sembari menoleh ke arah jendela kamar, memastikan apakah jendela tertutup. Haliza merasa lega, tapi tetap saja jika hujan di malam hari dan dia tidur sendiri di kamar ini, suasananya terasa menyeramkan. Padahal selama tinggal di rumah ini dia belum pernah melihat penampakan.
Hujan itu semakin lebat dan Haliza semakin takut. Haliza tidak akan bisa tidur nyenyak lagi kalau ia sudah kebangun. Dalam hati Haliza berdoa semoga tiba-tiba saja Aldian bangun dan mengetahui dirinya terbangun dan ketakutan.
Suara dahan yang menyentuh plafon, kembali terdengar diiringi daun berjatuhan menimpa genting rumah. "Aku tidak akan bisa tidur kalau mendengar suara-suara seperti ini," gumam Haliza meringis takut.
Haliza segera bangkit sembari membawa selimut yang masih membungkus tubuhnya. Ia menuruni ranjang dan menuju pintu. Haliza akan nekad mengetuk kamar Aldian dan masuk lalu tidur di sana. Kalau tetap di sini, ia benar-benar tidak akan bisa tidur.
Haliza melangkah pasti menuju kamar Aldian, terserah tanggapan Aldian apa, yang jelas ia akan tidur di kamar Aldian, supaya ia bisa tidur.
"Tok, tok, tok."
Pintu itu diketuk tiga kali. Akan tetapi belum ada respon dari dalam. Wajar saja, sebab bisa jadi Aldian saat ini sedang tidur nyenyak.
Haliza mencoba mengetuk kembali, siapa tahu yang kali ini dibuka Aldian.
"Tok, tok, tok." Berharap kali ini ketukannya bisa didengar.
"Assalamualaikum. Mas, Mas Aldian, buka pintunya," panggil Haliza harap-harap cemas. Akan tetapi tetap saja tidak dibuka Aldian.
Haliza mencoba nekad membuka gagang pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya, ternyata pintu itu tidak dikunci dari dalam. Hati Haliza sangat girang, lalu ia perlahan mendorong pintu itu supaya terbuka.
"Alhamdulillah, pintunya terbuka." Haliza tersenyum gembira sembari tidak menunda lagi kakinya untuk masuk.
Perlahan Haliza menutup kembali pintu kamar itu, lalu ia balikan tubuh menatap ke arah Aldian yang terbujur lelap. Sejenak Haliza menatap wajah Aldian yang samar, karena hanya diterangi cahaya dari lampu meja lima watt. Alangkah nyenyaknya Aldian sampai dia tidak menyadari kedatangan Haliza.
Setelah menatap Aldian lama, Haliza memutuskan tidur di sofa saja, ia tidak mau mengganggu tidur Aldian yang nyenyak. Sudah bisa masuk ke dalam kamarnya saja, Haliza sudah bersyukur.
Haliza segera berbenah di atas sofa dengan diselimuti selimut yang dia bawa tadi dari kamar sebelah. Baru Haliza bisa tidur kembali meskipun suara hujan di luar sana menderu disertai angin. Memang di kota ini sedang musim penghujan, sehingga bisa dipastikan hampiri tiap hari hujan datang entah malam atau siang.
Subuh menjelang, suara kokok ayam dan kumandang adzan saling bersahutan. Namun, Haliza masih terlelap dalam selimutnya di atas sofa itu. Sepertinya tidurnya ang terganggu semalam karena deru hujan dan suara dahan pohon nangka yang mengenai plafon, sukses membuat Haliza sampai subuh ini pulas.
Sementara itu, Aldian mulai bergerak dan mengerjapkan matanya. Suara adzan cukup membangunkannya. Sejenak ia mengumpulkan dulu nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, setelah merasa terkumpul, Aldian perlahan bangkit lalu mengeliatka otot-otot tubuh yang terasa kaku.
Aldian bangkit, ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Keluar dari kamar mandi, Aldian segera mendirikan di mushola yang letaknya berada di samping kamarnya.
Setelah sholat subuh, Aldian iseng menuju kamar Haliza. Ia penasaran apakah istrinya itu sudah terbangun atau masih tidur. Seperti yang dilihatnya semalam, Haliza dilihatnya termenung sedih memeluk lutut.
Tiba di mulut pintu kamar, mata Aldian memendar melihat ke dalam kamar. Tapi, tidak ditemukan Haliza di sana. Aldian menduga kalau Haliza kini sedang berada di dalam kamar mandi kamar itu.
"Sudah bangun rupanya dia," bisiknya seraya membalikkan badan dan bergegas kembali menuju kamarnya.
"Trek."
Aldian menyalakan lampu utama kamar yang sejak dirinya bangun tadi, tidak sempat dinyalakan. Aldian masih belum sadar kalau di sofa itu ada nyawa lain selain dirinya. Tapi karena Aldian belum menuju sofa, jadi keberadaan Haliza belum sampai ia ketahui.
"Lho, ada Haliza? Sejak kapan dia tidur di sofa kamar ini?" Aldian terperanjat saat matanya tertuju pada sebujur tubuh yang terbaring di sofa.
Aldian menghampiri Haliza di sofa dan bermaksud ia bangunkan untuk sholat subuh.
"Liza, bangun. Kenapa kamu bisa tidur di sini?" Tangan Aldian menggoyang pelan tubuh Haliza. Haliza perlahan bergerak tapi kembali tertidur lagi, kebangun semalam, benar-benar membuat Haliza sangat ngantuk di subuh hari.
"Liza, bangun. Ini sudah subuh, kamu harus segera ke kamar mandi kalau tidak ingin kesiangan sholat subuh," goyah Aldian sedikit kuat. Dan akhirnya Haliza bangun dan mulai mengumpulkan nyawanya.
"Mas Aldian," kejutnya melihat Aldian sudah berada di depan matanya.
"Mas, aku semalam mengetuk pintu tapi tidak ada respon. Dan akhirnya aku nekad buka pintu kamar ini lalu tidur di sofa. Maafkan aku, Mas. Semalam aku kebangun karena suara hujan dan dahan pohon nangka mengenai plafon." Haliza langsung meminta maaf dengan wajah yang segan.
"Jadi, kamu semalam masuk kamarku?"
"Iya, Mas, maafkan aku," balas Haliza seraya bangkit menuju pintu kamar dan keluar.
"Kenapa juga tidak tidur di ranjang dan memeluk aku?" balas Aldian di dalam hati yang belum menyadari kalau Haliza sudah pergi dari kamar itu.
Paginya, Haliza segera menuju dapur untuk membuatkan kopi buat Aldian. Demi meraih hatinya kembali, Haliza kini mulai memberikan perhatiannya walau hal kecil.
"Mas, kopinya." Haliza meletakkan cangkir yang berisi kopi panas itu di hadapan Aldian. Aldian menoleh sekilas lalu beralih menatap wajah Haliza. Aldian tahu ini salah satu cara Haliza untuk meraih hatinya.
"Terimakasih." Aldian membalas sembari meraih cangkir itu lalu mulai disruput perlahan karena masih sangat panas.
"Mas, boleh tidak aku hari ini ke luar? Aku mau membeli alat make up aku yang rusak sebulan lalu?" Pertanyaan Haliza mengingatkan Aldian pada kemarahannya kala itu, yang ngamuk sampai semua alat make up dan skincare Haliza berhamburan ke lantai sampai isinya ikut berhamburan juga.
Aldian termenung sejenak, dia sebenarnya tidak mau mengizinkan Haliza keluar sendiri, imbas dari keberadaan residivis yang sempat menghebohkan kota itu.
Aldian tidak menyahut, dia justru berdiri dan berjalan meninggalkan Haliza yang saat ini sedang butuh jawaban.
Saya Kasih dulu Bunga Kembang Sepatu Biar Semangat Si Author Manis ini Nulis nya ya 😁😁