Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEO BARU
DONE
Damian menatap layar komputernya, senyum tipis menghiasi wajahnya. Meskipun Annisa sebelumnya sudah menolak ide ini—bahkan menyebutnya gila—Damian tetap bertekad melanjutkan rencananya. Dia baru saja menyelesaikan perpindahan nama untuk perusahaan yang baru dia beli.
Perusahaan tempat Annisa bekerja.
Hari ini, ia akan memberi kejutan besar untuk Annisa dengan datang langsung ke kantornya sebagai CEO baru.
“Apa Annisa akan terkejut?” pikir Damian seraya membayangkan wajah istrinya. “Aku tidak sabar melihatnya.”
Bagi Damian, ini lebih dari sekadar ekspansi bisnis; ini adalah langkah nyata untuk membangun hubungan mereka. Ia ingin menunjukkan kepada Annisa bahwa ia bersedia untuk berusaha keras, bahkan jika harus menyesuaikan diri dengan dunia Annisa. Damian ingin Annisa tahu bahwa ia serius dalam membangun ikatan di antara mereka.
Ketika Damian tiba di kantor Annisa, semua mata tertuju padanya. Karyawan yang biasa melihatnya sebagai tamu atau orang luar kini menyadari bahwa Damian kini memiliki posisi penting di perusahaan. Beberapa rekan Annisa tampak berbisik, penasaran tentang kehadiran pria itu. Sementara itu, Damian hanya tersenyum sambil menuju ruang rapat, di mana ia tahu Annisa akan segera datang untuk rapat pagi.
Ketika Annisa memasuki ruangan, ia tertegun melihat Damian sudah duduk di kursi utama. Ekspresinya campur aduk antara terkejut dan bingung. Damian menatapnya dengan senyum lebar, lalu berkata, “Selamat pagi, Bu Annisa. Mari kita mulai pertemuan ini.”
Annisa tampak kebingungan, namun Damian hanya menatapnya dengan senyum penuh arti. Meskipun awalnya ia menolak, kini Annisa tak bisa menghindar lagi dari kenyataan bahwa Damian kini adalah CEO dan siap terlibat di dalam setiap langkah pekerjaannya.
“Astaga, dia benar-benar membeli perusahaan ini!” rutuk Annisa dalam hati.
Kabar tentang CEO baru yang tampan segera menyebar di seluruh kantor. Para karyawan mulai saling berbisik tentang Damian, CEO yang baru saja mengambil alih perusahaan. Banyak dari mereka terkesan dengan penampilan dan aura percaya diri Damian, dan tak sedikit pula yang penasaran dengan kehidupan pribadinya.
Saat istirahat makan siang di kantin, beberapa rekan kerja Annisa mulai membahas CEO baru tersebut.
“Eh, kalian tahu nggak? CEO baru kita ternyata lumayan muda dan keren banget!” ujar Gina dengan antusias sambil menyeruput kopinya.
“Iya, dan katanya dia punya pengalaman bisnis yang luar biasa juga,” timpal Donita sambil melirik ke arah Annisa yang tengah mendengarkan sambil tersenyum tipis.
Robert, yang juga ada di meja itu, ikut menimpali. “Keren, sih, tapi kayaknya dia orang yang serius. Pas tadi briefing, kayaknya nggak ada celah buat bercanda.”
Annisa hanya mendengarkan obrolan mereka tanpa banyak komentar. Sesekali ia hanya tersenyum sambil terus menyembunyikan kenyataan bahwa pria yang sedang jadi bahan pembicaraan itu adalah suaminya sendiri.
Gina yang penasaran dengan sikap tenang Annisa akhirnya bertanya, “Nis, kamu kok kalem banget? Biasanya kalau ada yang bahas atasan baru, kamu paling heboh.”
Annisa terkekeh pelan, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Ya, mungkin aku cuma ngerasa kalau dia CEO, pasti punya standar kerja yang tinggi. Jadi, harusnya kita lebih fokus aja buat bekerja dengan baik,” jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian mereka dari topik itu.
Namun, Firly yang duduk tak jauh dari mereka ikut menyindir dengan nada ringan, “Ah, jangan-jangan Annisa justru mau coba menarik perhatian si bos. Gimana, Nis? Mau coba saingan sama yang lain?”
Annisa hanya tertawa kecil. “Bukan begitu, Fir. Aku cuma ingin menjaga profesionalitas. Fokus bekerja, itu saja,” katanya, menjaga rahasia statusnya tetap aman.
Obrolan di kantin semakin ramai, dan Annisa hanya bisa tersenyum dalam hati. Ia tahu harus menjaga sikap dan profesionalisme agar status pernikahannya tetap menjadi rahasia di kantor.
Tak lama setelah mereka berbincang, Damian memasuki kantin bersama Jenny, manajer tim mereka. Jenny terlihat antusias di samping Damian, langkahnya sedikit melambat seolah memberi waktu lebih lama untuk berbicara dengannya. Wanita itu tersenyum manis, berusaha tampil anggun sambil sesekali tertawa kecil atas perkataan Damian, meski ia hanya bicara hal-hal ringan.
Annisa memperhatikan keduanya dari kejauhan, merasa campuran antara geli dan canggung. Meski ia tahu bahwa Damian berada di kantor untuk bisnis, melihatnya diapit dengan begitu banyak perhatian dari kolega, termasuk Jenny, menimbulkan sedikit rasa tak nyaman.
Gina yang duduk di sebelah Annisa langsung berbisik, “Wah, kelihatannya si bos cepat akrab, ya, sama Jenny. Lihat deh, Jenny kelihatan banget lagi berusaha menarik perhatian.”
“Iya, Jenny cantik dan muda. Kalau aku cowok juga pasti akan tertarik dengan dia.” Donita ikut menimpali.
Annisa tersenyum kecil, menahan diri untuk tidak memberikan reaksi berlebihan. “Mungkin Jenny cuma ingin menunjukkan sikap ramah pada CEO baru. Itu biasa.”
Tiara, yang duduk di seberang meja, mengangkat alis. “Ah, itu bukan sekadar ramah, Nis. Lihat aja, dia benar-benar ingin tampil elegan, padahal biasanya gaya dia nggak begitu. Kamu nggak tertarik untuk coba ngobrol juga sama Pak CEO?”
Annisa hanya menggeleng pelan. “Nggak, Ti. Aku pikir cukup profesional aja, fokus ke kerjaan. Toh, kita baru sekali ketemu di ruang rapat tadi.”
Saat itu, Damian dan Jenny melintas tak jauh dari mereka. Sesaat pandangan Damian bertemu dengan Annisa, yang segera mengalihkan pandangannya untuk menjaga rahasia hubungan mereka. Ia bisa merasakan tatapan penuh perhatian dari Damian, namun Damian segera mengalihkan fokusnya pada Jenny agar tidak menimbulkan kecurigaan. Damian kemudian memberikan senyum kecil ke arah rekan-rekan yang ada di kantin, sebelum kembali fokus pada obrolan ringan dengan Jenny.
Annisa menenangkan dirinya, berusaha bersikap seolah tak ada yang spesial. Meski dalam hati, ia merasa Damian sengaja memberikan kejutan dan membuat segala sesuatu di kantor ini menjadi sedikit lebih rumit.
•••
Annisa baru saja keluar dari toilet ketika tiba-tiba seseorang menarik tangannya dengan cepat dan membawanya ke arah tangga darurat. Refleks, Annisa mencoba memberontak, namun setelah menyadari bahwa yang menariknya adalah Damian, ia hanya bisa mengikuti langkahnya dengan hati-hati. Ia merasa gugup, takut ada yang melihat.
"Mas... apa yang kamu lakukan?" bisik Annisa sambil melirik ke sekeliling, memastikan tak ada orang yang melihat mereka di tangga darurat itu.
Damian menatapnya, senyumnya samar namun tegas. "Aku cuma ingin bicara sebentar. Jangan khawatir, nggak ada yang lihat."
Annisa mendesah, merasa kesal sekaligus canggung. "Tapi kenapa harus di sini? Kalau ada yang lihat, bisa runyam, Mas."
Damian menatapnya lembut. "Aku nggak tahan hanya melihatmu dari jauh di kantor, Nis. Tadi kamu kelihatan begitu sibuk dan aku… aku cuma ingin tahu kamu baik-baik saja."
Annisa menunduk, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. "Aku baik-baik aja, kok. Tapi kamu kan CEO, kamu seharusnya nggak sembarangan menarikku seperti ini."
Damian mengangguk, sedikit menyesal. "Maaf, aku cuma… merasa kita berjarak sekali di kantor. Mungkin ini bagian dari kejutan yang aku rencanakan, tapi ternyata nggak semudah itu untuk jaga rahasia soal kita."
Annisa tersenyum kecil, lalu berbisik, "Ya sudah, lain kali kalau mau bicara, mungkin lebih baik di luar kantor. Dan, jangan terlalu sering menatapku di depan orang-orang, nanti mereka curiga."
Damian tertawa pelan, mencoba menahan diri untuk tidak merespons berlebihan. "Baiklah, akan kuingat itu. Tapi janji, nanti kita bisa bicara lebih banyak ya?"
Annisa mengangguk, perlahan menghela napas lega saat Damian akhirnya melepaskan genggaman tangannya. “Sekarang kamu harus kembali dulu, nanti orang-orang curiga.”
Damian tersenyum, mengangguk sebelum melangkah pergi, meninggalkan Annisa yang masih merasakan debaran aneh di dadanya. Sambil berusaha mengatur napas, Annisa kembali berjalan ke arah mejanya, berharap tak seorang pun melihat pertemuan singkat mereka tadi.