Kembali lagi mommy berkarya, Semoga kalian suka ya.
Mahreen Shafana Almahyra adalah seorang ibu dari 3 anak. Setiap hari, Mahreeen harus bekerja membanting tulang, karena suaminya sangat pemalas.
Suatu hari, musibah datang ketika anak bungsu Mahreen mengalami kecelakaan hingga mengharuskannya menjalani operasi.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Mahreen, sebelum dia menandatangani surat persetujuan operasi.
"500 juta, Bu. Dan itu harus dibayar dengan uang muka terlebih dahulu, baru kami bisa tindak lanjuti," terang Dokter.
Mahreen kebingungan, darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Hingga akhirnya, pertolongan datang tepat waktu, di mana CEO tempat Mahreen bekerja tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tak pernah Mahreen duga sebelumnya.
"Bercerailah dengan suamimu, lalu menikahlah denganku. Aku akan membantumu melunasi biaya operasi, Hanin," ucap Manaf, sang CEO.
Haruskah Mahreen menerima tawaran itu demi Hanin?
Atau, merelakan Hanin meninggal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Perhatian Mahreeen
Malam itu, Mahreeen tidak bisa lagi menahan kekhawatirannya. Sudah berjam jam berlalu tanpa kabar dari Olaf atau Manaf sendiri. Pikirannya berkecamuk, dan akhirnya dia memberanikan diri untuk menghubungi Manaf melalui panggilan video (VC). Tangannya sedikit gemetar saat menunggu panggilan tersambung.
Setelah beberapa saat, wajah Manaf akhirnya muncul di layar. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, namun masih tampak berusaha tersenyum.
"Manaf! Kenapa kamu nggak kasih kabar? Aku khawatir sekali. Olaf bilang kamu sakit, tapi kamu nggak bilang apa apa padaku." ucap Mahreeen dengan nada khawatir.
"Aku nggak mau bikin kamu khawatir, Mahreeen. Cuma kelelahan biasa. Sekarang aku sudah lebih baik." jawab Manaf tersenyum lemah.
"Kamu jangan begini, ya. Aku ingin tahu kalau kamu sakit. Aku bisa datang kalau kamu butuh sesuatu." ucap Mahreeen menghela napas lega.
"Kamu datang ke sini? Itu ide bagus. Aku bisa lebih cepat sembuh kalau kamu yang merawatku." ucap Manaf menggoda.
"Jangan bercanda, Manaf. Aku serius. Kamu harus jaga kesehatan." ucap Mahreeen tersenyum kecil.
"Aku benar benar butuh perhatian, Mahreeen. Kamu tahu aku nggak bisa apa apa tanpa kamu sekarang. Buktinya, begitu jauh dari kamu, langsung sakit." ucap Manaf dengan nada manja.
"Ya ampun, Manaf. Kamu seperti anak kecil. Tapi aku senang kamu bisa bercanda lagi." ucap Mahreeen tersenyum, merasa hatinya meleleh.
Manaf tertawa kecil"Kalau begitu, beri aku perhatian lebih. Biar aku cepat sembuh. Setiap hari, ya? Jangan sampai aku sakit lagi."
"Janji. Aku akan jaga kamu dari jauh. Tapi kamu juga harus janji untuk nggak terlalu memaksakan diri." ucap Mahreeen tersenyum lembut.
Manaf menikmati perhatian Mahreeen. Dia menggunakan kesempatan ini untuk bermanja manja, sesuatu yang selama ini jarang dia lakukan karena kesibukannya. Percakapan mereka semakin intim, dengan Manaf yang terus menggoda Mahreeen agar lebih memperhatikannya. Meskipun Mahreeen merasa geli dengan kelakuan Manaf, dia senang melihat Manaf kembali ceria dan sehat.
***
Dua hari kemudian...
Setelah dua hari di rumah sakit, Manaf akhirnya diperbolehkan pulang. Namun, Mahreeen tetap menjaga komunikasi dengan VC setiap hari. Setiap malam, mereka berbicara lama, terkadang hanya untuk berbagi cerita ringan, terkadang untuk membahas hal hal lebih dalam. Perhatian Mahreeen begitu tulus, dan Manaf merasa dirinya semakin terikat dengannya.
"Kamu benar benar harus istirahat, Manaf. Jangan terlalu sibuk sampai jatuh sakit lagi." ucap Mahreeen.
"Iya, iya. Aku janji akan lebih hati hati. Tapi kamu tahu, aku masih butuh perhatianmu setiap hari." jawab Manaf tertawa kecil.
"Setiap hari? Kamu nggak bosan dengar suara aku?" tanya Mahreeen tidak yakin.
"Nggak akan pernah, Mahreeen. Suaramu yang bikin aku kuat." jawab Manaf menatap layar dengan serius.
Berakhirnya panggilan Video itu, semakin dekat keduanya dan mulai tumbuh rasa saling bergantung satu sama lain untuk terus memberikan kabar.
Pagi hari, Manaf mulai bekerja kembali ke kantornya. Farisa duduk dengan angkuh di kursi depan meja Manaf, tatapannya penuh tuntutan. Manaf, yang sudah lelah dengan drama yang terus terjadi di antara mereka, menghela napas berat, mencoba untuk tetap tenang meski emosi perlahan memuncak.
"Manaf, kamu tahu aku nggak datang cuma untuk bersenang senang. Aku butuh uang bulananku. Kamu sudah lama nggak kirim, dan kamu tahu kita punya perjanjian." ucap Farisa dengan nada sinis.
"Perjanjian itu sudah jelas, Farisa. Pernikahan kita hanya di atas kertas. Kita tidak pernah ada cinta di antara kita, dan kamu juga setuju dari awal bahwa ini hanya kontrak. Semua ini cuma soal uang untukmu. Dan aku sudah memberikan seperti perjanjian, tapi apa sekarang? Kamu terus saja meminta lagi uang padaku," ucap Manaf menatap tajam.
"Aku jelas tahu, Manaf. Aku mau memang demi uang dan hidup mewah. Jika kurang itu memang masih kewajibanmu, mau bagaimanapun aku masih istrimu walau hanya di atas kertas, atau mau aku bicara di luar sana tentang kita?" balas Farisa tersenyum dingin.
"Aku sudah penuhi semuanya, Farisa. Kita sudah hidup terpisah, dan aku tetap memenuhi kewajiban finansialku. Tapi jangan pikir aku akan terus terusan tunduk pada tuntutanmu." ucap Manaf suara mulai tegas lagi.
"Tunduk? Manaf, ini bukan soal tunduk. Ini soal kesepakatan. Kamu dapat citra baik sebagai suami di mata publik, dan aku dapat jaminan hidup. Itu yang kita sepakati sejak awal, kan? Jadi, jangan pura pura kalau sekarang kamu punya perasaan." jawab Farisa tertawa kecil, sarkastis.
"Kesepakatan kita tidak termasuk terus memeras aku setiap kali kamu kehabisan uang. Aku muak dengan semua ini. Kamu cuma datang setiap kali butuh, dan aku tahu kamu nggak pernah peduli soal pernikahan ini. Itu murni bisnis, dan aku sudah cukup lama terjebak dalam permainanmu." ucap Manaf menatap tajam, penuh amarah.
"Terserah kamu, Manaf. Tapi kamu masih terikat dengan perjanjian itu. Dan aku tidak akan pergi begitu saja tanpa mendapatkan apa yang sudah dijanjikan kepadaku." ucap Farisa tersenyum puas.
"Aku tahu apa yang sudah kita sepakati, Farisa. Tapi jangan pikir aku akan terus mengizinkanmu mempermainkanku. Pernikahan ini memang cuma kontrak, tapi aku akan memastikan tidak ada lagi yang bisa kamu dapatkan setelah ini." ucap Manaf dengan nada dingin.
Farisa menatap Manaf dengan tatapan licik, sementara Manaf hanya bisa menghela napas panjang. Dia tahu hubungan mereka tidak pernah berdasarkan cinta, hanya kontrak yang diatur keluarga mereka bertahun tahun lalu. Tapi sekarang, Manaf sudah tidak ingin lagi terjebak dalam pernikahan kosong yang hanya membawa tuntutan tanpa perasaan.
Aku akan mengakhiri ini secepat mungkin. Karena kamu hanya parasit bagiku, batin Manaf.
Namun, Farisa merasa ada yang aneh. Dia mulai curiga dengan kehidupan Manaf yang sekarang. Dalam hatinya, dia tahu Manaf pasti sedang menjalin hubungan lain, dan dia berniat mencari tahu lebih lanjut.
"Ambillah!" ucap Manaf ketus, memberikan sebuah cek dengan nilai yang sangat besar.
"Nah gitu, Manaf. Apa susahnya sih buat kamu uang segini ini," senang Farisa akhirnya dengan senyumannya.
"Keluarlah!" perintah Manaf.
"Terima kasih suamiku yang baik," puji Farisa yang keluar dari ruangan Manaf dari pada kena semprot lagi.
"Huf, wanita gila!! Kenapa dulu aku mau nikah sama dia??" lirihnya sendiri.
Bukan, bukan dia yang salah tapi aku sendiri. Jika saja Mama dan Papa tidak terus mendesak untuk menikah, ah entahlah nanti aku akan mengakhiri ini.
Mahreeen, dialah yang mampu menghilangkan penyakitku dan rasa traumaku dari dia. Dia adalah awal kenapa aku bisa berpenyakitan seperti ini. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau melihatnya lagi ataupun bertemu dengannya. Batin Manaf.
...****************...
Hi semuanya, bantu like dan komentar kalian ya... Masih dalam proses pengajuan mommy ini. Semoga saja lolos ya temen temen. Mohon dukungannya, terima kasih.
bentar lagi up ya di tunggu
Yang suka boleh lanjut dan kasih bintang ⭐⭐⭐⭐⭐
Dan yang ga suka boleh skip aja ya.
Terima kasih para raiders ku.