Istri Simpanan Tajir
Prank!!!
Gelas kopi Mahreeen pagi ini di kantin kantornya terjatuh saat akan di minumnya.
"Ada apa ini?" ucap Mahreeen yang mulai hatinya gelisah tertuju pada satu anaknya.
Hanin! Batin Mahreeen.
"Ada apa denganmu? Mukamu pucat sekali," tanya Poppy.
"Tidak, aku baik baik saja," elaknya. Namun pikirannya hanya tertuju pada satu anaknya.
Untuk meyakinkannya segera telp suaminya, Peroa tapi nihil. Hingga jam masuk kerja sudah mulai. Akhirnya dia hanya bisa bekerja lebih dulu. Saat siang hari ternyata suaminya memberkan pesan.
"Hanin kecelakaan, sekarang dia di rumah sakit pusat. Segera datanglah!" pesannya.
Tanpa basa basi lagi, Mahreeen langsung meminta izin karena anaknya kecelakaan. Suara denyut monitor medis di ruang ICU rumah sakit terus menggema di telinga Mahreeen. Di hadapannya, Hanin, anak ketiganya yang baru berusia lima tahun, terbaring tak berdaya dengan selang infus menempel di tubuh kecilnya. Dokter sudah memberinya penjelasan bahwa anaknya ada pendahan pada otaknya dan juga jantungnya ada penyempitan akibat kecelakaan itu kemarin. Hanin harus segera dioperasi atau nyawanya dalam bahaya.
"Biaya operasi sebesar 500 juta, Bu Mahreeen," ucap dokter dengan nada penuh simpati, namun tetap tak mampu menyembunyikan keseriusan situasi.
"Kami bisa menunggu beberapa hari dan paling lama seminggu tetapi operasi ini harus dilakukan secepatnya." lanjut dokter.
Angka itu berputar putar di kepala Mahreeen, seperti awan hitam yang terus membayanginya. Lima ratus juta. Rumah kecil peninggalan orangtuanya pun takkan mampu dijual dengan harga setengah dari jumlah itu. Lantas dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Mahreeen duduk di kursi tunggu, menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang.
Aki harus bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan agar bisa mendapatkan uang itu segera? Dalam hati Mahreeen.
***
Di rumah, Peros, suaminya, tidak memberikan solusi, hanya menambah masalah. Mahreeen sengaja telp anaknya untuk mengambil keperluannya, karena saat ini Hanin di jaga olehnya.
"Mahreeen, aku butuh uang buat rokok," pinta Peros terdengar dari seberang telepon.
"Rokok? Hanin sedang di rumah sakit, Peros! Uang kita habis buat biaya awal rumah sakit!" ucap Mahreeen hampir tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa suaminya begitu tidak peduli?
"Aku juga punya kebutuhan, Mahreeen. Apa kamu pikir semua ini cuma urusanmu saja?" ucap Peros dengan nada tidak peduli, bahkan terdengar malas.
Mahreeen memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Sudah berapa kali Peros meminta uang dengan alasan sepele seperti ini? Uang untuk rokok, makan, atau bahkan untuk berjudi. Mahreeen tahu, setiap uang yang dia berikan kepada suaminya pasti berakhir di meja judi. Namun, di sisi lain, dia tidak punya kekuatan untuk melawan. Peros selalu bisa memanipulasinya dengan kata kata dan ancaman halus.
"Aku tak punya uang, Peros," jawab Mahreeen akhirnya, suaranya melemah.
"Semua sudah habis untuk biaya Hanin. Dia butuh operasi, Peros. Lima ratus juta... aku tidak tahu harus mencari dari mana." bingung Mahreeen saat ini.
Peros tertawa sinis di ujung telepon.
"Pinjam dari kantormu. Kamu kan kerja di sana, pasti bisa pinjam. Apa gunanya kamu jadi pekerja kalau tidak bisa bantu keluarga sendiri?" Perintahnya yang main suka suka.
Mahreeen terdiam. Pinjam uang dari kantor? Gajinya saja tak cukup untuk kebutuhan sehari hari, apalagi harus melunasi pinjaman sebesar itu. Namun, di bawah tekanan Peros, dia merasa tidak punya pilihan lain.
"Aku akan coba tanyakan...," ucap Mahreeen menyerah, meski hatinya penuh dengan ketakutan dan kecemasan.
Malam itu, Mahreeen duduk di samping tempat tidur Hanin, mengelus lembut rambut anaknya yang mulai menipis karena sakit. Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya mengalir. Dalam hati, dia berdoa tanpa henti, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan anaknya.
Ya Tuhan, tolong aku... batin Mahreeen merintih.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Jika aku tak mampu menyelamatkan Hanin, bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri?
Mahreeen teringat hari hari penuh cinta saat anak anaknya masih kecil. Bagaimana mereka dulu begitu bahagia, dan dia mampu mengurus mereka dengan segala keterbatasannya. Namun kini, dengan suami yang tak mau bertanggung jawab, dia merasa hidupnya hancur. Anak anaknya yang lain, meski sudah mulai mandiri, tetap membutuhkan kasih sayangnya, tetapi fokus Mahreeen sepenuhnya tertuju pada Hanin yang sedang berjuang untuk hidup.
"Hanin, Sayang Ibu, Ibu janji akan berusaha mencari uang itu supaya kamu bisa sembuh dan sehat lagi ya," lirihnya di depan Hanin.
Air matanya yang jatuh terus hingga membuat Mahreeen tertidur di bangku samping bangkar Hanin.
Pagi harinya, Peros datang ke rumah sakit dengan wajah kusut.
"Sudah kamu pinjam uang dari kantor?"** tanyanya tanpa basa basi.
"Belum. Aku belum sempat," jawab Mahreeen dengan suara bergetar.
"Apa susahnya? Kamu tinggal minta saja, toh kamu kan pekerja di sana. Kalau perlu, katakan saja kamu butuh uang untuk operasi anak. Mereka pasti akan memberi!" ucap desak Peros tanpa empati.
"Aku tak bisa begitu saja, Peros. Itu jumlah yang besar. Kamu tahu bagaimana sulitnya..." terpotong ucapan Mahreeen.
"Sulit? Kamu tak tahu sulit, Mahreeen. Kamu pikir aku suka hidup seperti ini? Kamu harus bisa dapat uang itu, apapun caranya. Kalau perlu, jadi pekerja rodi di sana, aku tak peduli. Yang penting, dapat uangnya!" ucap Peros memotong ucapan Mahreeen, matanya penuh tuntutan dan tanpa sedikitpun rasa tanggung jawab.
Mahreeen menatap Peros dengan penuh kekecewaan. Di dalam hatinya, ia merasakan sakit yang luar biasa. Suaminya lebih memandang dirinya sebagai alat pencari uang, bukan pasangan hidup yang harus dijaga dan dihormati. Ia semakin tertekan dengan beban yang tak kunjung hilang.
Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini, batin Mahreeen berbisik. Hidupku hancur, suamiku tak peduli, dan anakku sedang di ambang kematian.
Mahreeen tahu, dia harus segera membuat keputusan. Hanin tak bisa menunggu lebih lama, dan dengan suaminya yang tak memberikan solusi, hanya dia yang bisa menyelamatkan anaknya. Namun, berapa lama lagi Mahreeen mampu bertahan dengan kondisi seperti ini?
Dalam keheningan malam itu, dengan perasaan tak menentu, Mahreeen akhirnya memutuskan untuk menemui atasannya di Omar Corp esok hari. Mungkin ada jalan keluar, meski ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ya Allah, hamba ini mengadu dan meminta pertolonganmu. Mudahkan lah jalanku untuk mendapatkan uang itu, aku hanya peduli dengan anakku. Walau aku tahu ini aku memaksa padamu Rob! Pada siapa lagi aku meminta??? Pada siapa yang bisa memberikan semua pertolongan jika bukan Robbku!!!
Sholatnya di pertigaan malam di samping tempat tidur Hanin di rumah sakit.
"Ibu janji, kamu akan sehat walau Ibu harus berkorban," lirihnya yang memandang Hanin.
...****************...
Hi semuanya!!!
Karya terbaru mommy lagi ya, jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Suka lanjut, kalau ga suka tinggalkan saja ya.
Love you alla sekebon buat yang baca karya mommy ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments