Rachel, seorang CEO muda yang sukses, hidup di dunia bisnis yang gemerlap dan penuh tekanan. Di balik kesuksesannya, ia menyimpan rahasia besar—ia hamil dari hubungan singkat dengan mantan kekasihnya, David, yang juga merupakan pengusaha terkenal. Tak ingin skandal mengancam reputasinya, Rachel memutuskan untuk menghilang, meninggalkan kariernya dan kehidupan glamor di kota besar. Ia memulai hidup baru di tempat terpencil, bertekad untuk membesarkan anaknya sendiri, jauh dari perhatian publik.
Namun, anaknya, Leo, tumbuh menjadi anak yang luar biasa cerdas—seorang jenius di bidang sains dan matematika. Dengan kecerdasan yang melampaui usianya, Leo kerap membuat Rachel terkejut sekaligus bangga. Di usia muda, Leo mulai mempertanyakan asal-usulnya dan mengapa mereka hidup dalam kesederhanaan, jauh dari kenyamanan yang seharusnya bisa mereka nikmati. Ketika Leo secara tak sengaja bertemu dengan David di sebuah kompetisi sains, masa lalu yang Rachel coba tinggalkan mulai terkuak, membawa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 - Langkah di Ambang Bahaya
Malam di pegunungan terasa begitu sunyi, hanya sesekali suara angin menderu membawa dingin yang menusuk tulang. Adrian memandang Nathan yang tertidur di kursi belakang mobil. Wajah bocah itu terlihat lelah setelah perjalanan panjang mereka. Di sampingnya, Riko sibuk dengan laptop yang memantulkan cahaya redup di wajahnya.
> Adrian, berbisik: "Apa yang kita hadapi di sana, Riko?"
Riko, tanpa mengalihkan pandangan dari layar: "Ini bukan sekadar laboratorium. Tempat ini penuh dengan teknologi keamanan tingkat tinggi. Aku menduga mereka tidak hanya menjaga sesuatu di sana... mereka juga mengurung sesuatu."
Adrian memandang ke depan, ke jalan setapak kecil yang menuju lokasi misterius di peta. Nalurinya mengatakan bahaya semakin dekat, tapi hatinya tahu mereka tidak punya pilihan. Nathan pantas mendapatkan jawaban.
---
Mereka meninggalkan mobil di tengah hutan dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Nathan menggenggam erat tangan Adrian, sementara Riko berjalan beberapa meter di depan dengan senjata siap di tangannya. Setiap langkah terasa seperti bom waktu, menunggu ledakan yang tidak terduga.
> Nathan, pelan: "Ayah, apakah Ibu benar-benar di sana?"
Adrian, dengan tenang: "Aku tidak tahu, Nak. Tapi apa pun yang kita temukan, aku akan memastikan kau aman."
Nathan mengangguk, meskipun matanya menyiratkan kebingungan yang mendalam.
> Nathan: "Aku melihat bayangan tadi malam. Seperti mimpi... atau ingatan. Aku melihat Ibu berbicara dengan seseorang. Tapi aku tidak mengenali wajahnya."
Riko, menoleh: "Bayangan itu mungkin lebih dari sekadar mimpi, Nathan. Kau punya sesuatu yang mereka inginkan. Mungkin kenanganmu adalah kunci untuk memecahkan teka-teki ini."
---
Setelah berjalan selama hampir satu jam, mereka tiba di sebuah area terbuka. Di depan mereka, berdiri bangunan beton besar yang tampak seperti benteng kecil. Cahaya lampu-lampu merah berkedip di sepanjang pagar listrik yang mengelilinginya.
> Adrian, mengamati sekitar: "Ini bukan sekadar laboratorium. Ini lebih seperti penjara."
Riko: "Kita harus masuk tanpa terdeteksi. Kamera ada di mana-mana."
Riko menunjukkan peta yang ia unduh dari laptopnya, memberi tahu mereka tentang titik buta keamanan di sisi barat bangunan. Dengan hati-hati, mereka menyelinap melalui semak-semak, menghindari kamera dan sensor gerak.
Namun, saat mereka hampir mencapai pagar, Nathan tiba-tiba berhenti.
> Nathan, dengan nada panik: "Ayah, aku mendengar sesuatu..."
Adrian, berbisik: "Hanya angin, Nak. Jangan takut."
Nathan menggeleng keras.
> Nathan: "Tidak, Ayah. Itu suara seseorang memanggilku. Suara Ibu."
Adrian dan Riko saling memandang dengan raut terkejut. Mereka tahu Nathan punya kemampuan luar biasa, tapi apakah itu nyata, atau hanya permainan pikiran yang dirancang oleh musuh?
---
Setelah berhasil melewati pagar, mereka menemukan pintu masuk ke bangunan tersebut. Namun, pintu itu terkunci dengan kode keamanan. Riko segera bekerja dengan alat pembobol elektroniknya.
> Riko: "Berikan aku waktu dua menit. Setelah ini, kita masuk dan tidak ada jalan mundur."
Nathan berdiri di samping Adrian, tatapannya terpaku pada pintu logam di depan mereka.
> Nathan: "Ayah, aku merasa ini tempat yang benar. Tapi kenapa aku merasa takut?"
Adrian, menenangkan: "Karena ini penting, Nathan. Ketika sesuatu penting, kita selalu merasa takut. Tapi kau tidak sendirian."
Pintu akhirnya terbuka dengan bunyi "klik". Mereka masuk ke dalam, disambut oleh lorong panjang yang remang-remang. Bau antiseptik menyengat hidung mereka.
> Riko, berbisik: "Aku tidak suka ini. Terlalu sepi."
Adrian: "Karena mereka menunggu kita. Ini perangkap."
---
Tiba-tiba, lampu di lorong menyala terang, membuat mereka semua tertegun. Suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Seorang pria tinggi dengan jas hitam muncul, diikuti oleh beberapa pria bersenjata.
> Pria itu, tersenyum dingin: "Selamat datang, Adrian. Sudah lama sekali kita tidak bertemu."
Adrian, dengan rahang mengeras: "Marcus. Aku seharusnya tahu kau ada di balik semua ini."
Marcus tertawa kecil, matanya menatap Nathan dengan intensitas yang membuat anak itu gemetar.
> Marcus: "Anak ini luar biasa. Aku tahu dia akan datang mencariku. Dan kau, Adrian, tidak mengecewakan. Kau membawanya langsung ke tempat yang aku inginkan."
Nathan bersembunyi di belakang Adrian, tapi Marcus melangkah maju, mengulurkan tangan.
> Marcus: "Nathan, kau tahu kenapa kau spesial, bukan? Kau punya sesuatu yang dunia inginkan. Otakmu adalah keajaiban, dan kami ingin memahaminya."
Adrian langsung mengangkat pistolnya, mengarahkannya ke Marcus.
> Adrian: "Kau tidak akan menyentuhnya. Kalau kau ingin sesuatu, hadapi aku."
Marcus, tenang: "Ah, selalu menjadi pahlawan. Tapi kau lupa, Adrian. Aku tidak bermain sendiri."
Tiba-tiba, dari sisi lain lorong, seorang wanita muncul. Nathan membeku saat melihat wajahnya.
> Nathan, dengan suara gemetar: "Ibu?"
---
Wanita itu berjalan mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya.
> Wanita itu: "Nathan, sayang... Aku senang kau di sini."
Adrian tertegun, pandangannya bergantian antara wanita itu dan Nathan.
> Adrian: "Tidak mungkin. Kau... kau seharusnya mati."
Wanita itu: "Kematian adalah ilusi, Adrian. Aku harus melakukannya untuk melindungi Nathan. Tapi sekarang, waktunya dia tahu kebenaran."
Nathan berdiri di tengah mereka, bingung dan ketakutan.
> Nathan: "Apa yang terjadi? Ibu... Ayah... Aku tidak mengerti!"
Marcus tertawa kecil, menikmati kekacauan yang terjadi.
> Marcus: "Kau akan mengerti, Nathan. Kau adalah kunci untuk masa depan. Dan kau akan memutuskan di sisi siapa kau berada."
Adrian mengarahkan pistolnya ke Marcus, tapi sebelum dia bisa menembak, wanita itu menghalanginya.
> Wanita itu, dengan suara tegas: "Tidak, Adrian. Jika kau mencintai Nathan, kau akan membiarkan dia membuat pilihannya sendiri."
Ketegangan memuncak saat Nathan menatap kedua orang tuanya, sementara Marcus terus mengawasinya dengan senyum licik.
Nathan kini berada di tengah permainan yang lebih besar dari dirinya. Siapa yang akan dia percayai? Dan apakah kebenaran yang tersembunyi tentang dirinya akan mengubah segalanya?