Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: "Nyanyian di Tengah Badai"
Hujan turun deras malam itu, menghantam atap rumah kecil tempat Leonel dan Mila berlindung. Suara tetesan hujan menggema di seluruh ruangan, namun bagi Leonel, itu seolah hanya latar belakang dari kekacauan dalam pikirannya. Setelah penampilannya tadi, meskipun Mila tersenyum, Leonel bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu—sebuah kesedihan yang dalam, seolah hatinya telah hancur berkali-kali oleh dunia yang terlalu keras padanya.
Di luar, angin menderu kencang, mengguncang pohon-pohon di sekitar rumah. Leonel, yang duduk di depan jendela kamarnya, memandangi hujan yang turun seperti tirai gelap yang memisahkan dunianya dengan kenyataan. Pikirannya melayang pada kejadian sore itu, saat Arga datang dengan amarah yang membara dan merampas segalanya. Leonel merasa tak berdaya, seolah ia tak lebih dari anak kecil yang hanya bisa berdiri diam di tengah badai.
Mengapa aku tidak bisa melakukan sesuatu? Leonel mengepalkan tangannya, marah pada dirinya sendiri. Ia teringat kata-kata Arga yang tajam, yang seolah menorehkan luka dalam di hatinya. Leonel sadar, ia hanyalah anak muda tanpa kuasa, tapi di dalam dirinya, ada api kecil yang tak mau padam. Ia ingin melindungi Mila, ingin melakukan sesuatu, apa pun itu.
Ketukan pintu yang lembut memecah lamunannya. Mila berdiri di sana, wajahnya lembut namun matanya menyiratkan kepedihan. "Leonel, kau tidak bisa tidur?" tanyanya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Leonel menoleh, menatap Mila yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya sedikit gemetar. "Tidak, aku... aku hanya berpikir," jawabnya pelan.
Mila masuk ke dalam kamar, duduk di kursi di sebelahnya. Mereka berdua terdiam, hanya suara hujan dan angin yang mengisi keheningan di antara mereka. Namun, dalam keheningan itu, Leonel merasakan ada yang berbeda pada Mila—sebuah beban yang ia sembunyikan, lebih berat dari sebelumnya.
"Aku tidak ingin melihatmu menderita lagi," kata Leonel tiba-tiba, suaranya dipenuhi ketulusan. "Aku ingin melakukan sesuatu, Mila. Aku tidak bisa hanya berdiri dan menonton."
Mila menatap Leonel dengan senyum lelah, lalu menghela napas panjang. "Leonel, kau sudah melakukan banyak hal untukku. Kehadiranmu saja sudah membuat hari-hariku lebih baik. Tapi aku... aku tidak ingin kau merasa bertanggung jawab atas semua ini."
"Kau tidak layak diperlakukan seperti itu oleh Arga," lanjut Leonel, suara yang semula tenang kini dipenuhi emosi. "Aku... aku merasa tidak berdaya. Aku ingin membantu, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."
Mila menunduk, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Arga bukanlah orang jahat, Leonel. Ia hanya terjebak dalam kemarahan dan kekecewaan. Kadang-kadang, aku berpikir bahwa aku bisa mengubahnya, tetapi setiap hari, aku mulai kehilangan harapan itu sedikit demi sedikit."
Hati Leonel terasa perih mendengar pengakuan Mila. Ia tahu Mila telah berjuang keras, tetapi melihatnya hancur seperti ini, membuat tekad Leonel semakin kuat.
Tiba-tiba, suara keras dari luar pintu depan membuat mereka berdua terlonjak. Pintu itu dibanting terbuka, dan sosok Arga muncul, basah kuyup oleh hujan, wajahnya dipenuhi amarah. Mata Leonel segera bertemu dengan tatapan liar Arga.
"Leonel!" teriak Arga, suaranya serak. "Keluar dari rumah ini sekarang juga! Kau pikir kau bisa tinggal di sini dan mencampuri urusan rumah tanggaku?"
Leonel berdiri, tubuhnya gemetar namun hatinya dipenuhi keberanian. "Aku tidak akan pergi," jawabnya tegas, meskipun suaranya bergetar. "Aku tidak akan membiarkanmu terus menyakiti Mila."
Arga mendekat dengan langkah berat, amarahnya seolah menyatu dengan badai yang bergemuruh di luar. "Kau pikir kau siapa, hah? Kau hanya seorang bocah! Aku bisa menghancurkanmu dengan sekali pukulan!"
Mila segera berdiri di antara mereka, tangannya mengangkat seolah ingin menghentikan Arga. "Arga, tolong! Jangan lakukan ini! Leonel tidak bersalah."
Namun, Arga tidak mendengarkan. Amarahnya sudah tak bisa dikendalikan lagi. Dengan tangan terkepal, ia maju ke arah Leonel. Pada detik itu, waktu seolah melambat. Leonel bisa merasakan detak jantungnya berdentam keras di telinga, tapi ia tidak mundur.
Sebelum Arga sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba, suara biola Leonel bergema di seluruh ruangan. Jari-jarinya dengan cepat mengambil biola yang ada di sudut kamar dan memainkan melodi yang penuh dengan emosi. Tangannya bergerak cepat, seolah ia menuangkan seluruh perasaannya ke dalam alunan nada yang indah namun memilukan. Suara biola itu menghentikan Arga di tempatnya.
Mila menatap Leonel dengan mata yang berkaca-kaca, sementara Arga berdiri diam, tatapannya penuh kebingungan. Melodi itu, meskipun sederhana, mampu meredakan badai di dalam rumah itu. Hujan di luar masih turun, tetapi suasana di dalam rumah terasa berubah.
Setelah beberapa menit, Leonel menurunkan biolanya, napasnya terengah-engah. "Aku mungkin tidak bisa menghentikanmu, Arga," katanya pelan, "tapi aku bisa mencoba untuk membuat sesuatu yang baik dari semua ini. Aku tidak ingin kita terus hidup dalam kebencian."
Arga berdiri terpaku, tatapannya kosong. Ia tampak lelah, seolah seluruh amarahnya tiba-tiba menguap begitu saja. Setelah beberapa saat, ia menunduk dan tanpa berkata apa-apa, berbalik dan pergi ke kamar, meninggalkan Leonel dan Mila di ruang tamu yang sunyi.
Mila mendekat, menyentuh bahu Leonel dengan lembut. "Leonel, kau... kau menyelamatkan kita malam ini."
Leonel menoleh, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Mila. Aku hanya ingin kita bahagia."
Mila tersenyum lemah, lalu memeluk Leonel erat. "Kita akan menemukan jalan keluar, Leonel. Aku yakin kita bisa."
Di tengah hujan yang terus mengguyur, dua jiwa yang terluka itu menemukan harapan baru. Meskipun badai masih bergemuruh di luar, di dalam hati mereka, sebuah nyala kecil mulai tumbuh, memberikan mereka kekuatan untuk menghadapi hari-hari mendatang.