Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Beberapa saat kemudian, Satrio dan Ekot tiba di rumah Petua Adat. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Di depan rumah itu, tampak beraneka buah-buahan dan sayuran segar tersusun rapi, seolah menanti perayaan besar. Di antara tumpukan hasil bumi itu, Djaya terlihat sibuk merapikan beberapa buah dengan teliti, tangannya yang kuat bekerja cekatan.
"Salam, Paman Djaya," sapa Ekot dengan ramah.
Djaya menoleh dan tersenyum tipis. "Ah, Ekot. Salam," balasnya. "Kalian pasti datang untuk bertemu dengan ayahku, bukan?"
Ekot mengangguk. "Betul, Paman."
Djaya menatap mereka sesaat sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Bantu aku merapikan ini dulu, setelah itu kalian bisa menemui ayahku."
Satrio dan Ekot saling berpandangan, seolah berkomunikasi tanpa kata. Mereka lalu mengangguk, menyetujui permintaan Djaya.
Tanpa ragu, mereka mulai membantu pria kekar dengan rambut sebahu itu. Di bawah sinar matahari, ketiganya bekerja dengan penuh semangat, menyusun buah-buahan dan sayuran satu per satu, hingga deretan hasil bumi itu tampak tertata sempurna di depan rumah Petua Adat.
Setelah mereka menyelesaikan susunan di keranjang buah terakhir, Ekot tersenyum puas. "Nah, Paman. Ini yang terakhir," ujarnya dengan nada lega.
Djaya mengangguk, menatap kedua pemuda di hadapannya dengan pandangan lebih lembut. "Terima kasih. Kalian sangat membantu," ucapnya tulus, lalu menarik napas dalam-dalam seolah hendak membuka diri. "Aku juga ingin meminta maaf... atas sikapku waktu lalu, Gageo," tambahnya, suaranya terdengar tulus.
Satrio, sedikit terkejut, mengangguk perlahan. "Ah... iya, Paman. Aku pun begitu," jawabnya, menerima permintaan maaf itu dengan lapang dada.
Djaya tersenyum singkat sebelum melanjutkan, "Akhir-akhir ini, kondisi Petua Adat memang sedang kurang sehat. Kalau kalian ingin menemuinya, silakan. Aku masih harus menyelesaikan sisa pekerjaan ini."
Setelah memberi salam, Satrio dan Ekot akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah Petua Adat, meninggalkan Djaya yang kembali fokus pada pekerjaannya.
Begitu memasuki rumah, Satrio merasakan aura yang berbeda. Ruangan itu, dengan dinding kayu tua yang berderit pelan, dipenuhi oleh benda-benda bernilai adat tinggi. Di sisi kiri, terdapat satu set pakaian adat yang tertempel sempurna pada dinding, seakan menjadi simbol kehormatan leluhur. Di sisi kanan, dua tombak gagah dan sebuah busur panah yang dihias ukiran rumit tergantung kokoh, memberi kesan kekuatan yang terpancar dari benda-benda tersebut. Di sudut ruangan, tampak sebuah altar kecil yang dihiasi beberapa perhiasan dan aksesori milik wanita, tersusun rapi dengan ketelitian yang tampak penuh hormat.
Suasana sakral di dalam ruangan itu membuat Satrio dan Ekot berjalan lebih pelan, menghargai setiap benda yang seakan menyimpan cerita masa lalu.
Ekot menatap Satrio, memberi isyarat dengan anggukan kecil ketika mereka tiba di depan sebuah kamar dengan pintu kayu yang tampak kokoh, namun usang. Tanpa banyak bicara, Ekot mengulurkan tangannya dan mulai mendorong pintu itu. Suara derit pelan terdengar, seperti sebuah panggilan dari masa lalu. Udara seketika menyerbu, membawa aroma khas dari ramuan herbal dan dupa, yang sudah lama menyatu dengan kayu ruangan.
Ketika pintu terbuka sepenuhnya, tampak sebuah ranjang kayu sederhana di tengah kamar. Di atasnya, terbaring seorang pria tua dengan wajah keriput penuh wibawa, Petua Adat desa. Tatapannya tak bergerak, namun aura kekuatannya masih terasa kuat dan penuh kewibawaan.
“Salam, Petua Adat,” ucap Ekot dengan nada penuh hormat sambil menundukkan bahunya. Mereka kemudian duduk di atas selembar karpet kasar yang terbuat dari kulit binatang, tepat di hadapan ranjang.
Petua Adat tak banyak bergerak, namun matanya yang sayu tampak mengamati mereka dengan keheningan yang sarat makna. Seulas senyum samar muncul di wajahnya yang lelah, seakan kenangan lama mulai terbangun kembali di benaknya.
“Waktu memang begitu cepat,” suaranya parau, namun dalam, menggema penuh rasa rindu. Ia menatap Ekot dengan sorot mata yang hangat. “Kau dulu, sering berlarian di depan rumah ini, tertawa riang tanpa beban..”
Petua Adat memandang Ekot dalam-dalam, seolah menembus lapisan wajahnya yang kini tak lagi menyimpan senyum riang masa kecil. "Tapi sekarang, mengapa kau terlihat penuh dengan beban di pundakmu, Nak?" ucapnya, suaranya serak namun penuh wibawa. "Apakah kau masih sanggup tertawa dengan wajah itu?"
Ekot diam, merasa tertohok oleh ucapan sang Petua. Di sampingnya, Satrio pun memilih bungkam, tubuhnya kaku, menjaga sikap penuh hormat di hadapan lelaki yang memancarkan aura penghormatan tinggi itu.
Petua Adat memecah keheningan yang mengendap di antara mereka. "Nah, Ekot. Apa yang ingin kau tanyakan dari kakek tua sepertiku ini?" tanyanya perlahan, memberikan Ekot kesempatan untuk berbicara.
Ekot menarik napas dalam, lalu menundukkan bahunya sekali lagi sebelum bersuara. "Maaf, Petua Adat. Sebelum saya bicara lebih jauh, izinkan saya memperkenalkan kawan saya ini." Ia melirik Satrio. "Pemuda yang kini bersama saya, namanya Ageo. Beberapa hari lalu, aku bertemu dengannya di--"
Petua Adat mengangkat tangannya perlahan, menghentikan ucapan Ekot. "Sudahlah, Ekot. Aku sudah mengetahui tentangnya. Djaya yang menyampaikan hal itu," ujarnya tenang. Tatapannya kini beralih pada Satrio, penuh dengan ketajaman yang tak terduga. "Jauh menerpa badai. Hilang tenggelam di bawah malam. Kau datang tanpa diundang, Anak Muda," suaranya bergetar, seraya mengamati Satrio dari ujung kepala hingga kaki. "Berkatalah. Apa tujuanmu datang ke desa ini?"
Jantung Satrio berdetak tidak teratur, seperti petir yang menyambar hutan di malam yang sunyi. Wajahnya tertunduk, bukan karena ragu, melainkan karena ia sedang memilah kata-kata yang tepat, yang paling sederhana dan hati-hati. Sekali salah bicara, bisa saja ia pulang dengan tangan kosong, dan niatnya untuk mengetahui lebih dalam tentang desa ini akan berakhir sia-sia.
Dengan napas yang begitu halus, seolah-olah takut mengganggu ketenangan di ruangan itu, Satrio akhirnya membuka suara. "Izin, Petua. Aku hanyalah anak alam. Badai menjadi tantangan, malam pun menjadi teman. Berhari-hari aku tinggal di bawah naungan hutan, menghadap ujian dan keheningan. Hingga akhirnya, takdir membawa aku tiba di desa ini. Namun, aku masih ragu akan takdir itu. Begitu banyak pertanyaan yang aku tidak mengerti," ucapnya, mencoba mengungkapkan keinginan dengan kata-kata yang sejujur mungkin.
Petua Adat menatap Satrio dengan mata yang tajam, namun tak lama, ia berbalik arah, memalingkan wajahnya ke atap rumbia yang usang. Matanya menatap kosong, seperti mencari sesuatu yang jauh di luar jangkauan, seolah mencoba menemukan keyakinan dari perkataan Satrio yang masih menggantung di udara.
"Anak muda," akhirnya suara Petua Adat terdengar lagi, serak namun penuh makna. "Takdir tidak bisa dipertanyakan. Karena takdir selalu memiliki jalannya sendiri. Kau tidak akan bisa merubah takdir, tapi kau bisa memperbaiki takdirmu sendiri," kata Petua Adat, suaranya lembut namun penuh ketegasan.
Sejenak, keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Waktu seperti terhenti, dan suasana menggantung di udara, seolah menguji kesabaran kedua pemuda yang kini tengah menunggu dengan penuh harap dan keraguan.
Satrio terdiam sejenak, merasakan suasana yang semakin berat di dalam ruangan itu. Ia menyadari, bila Petua Adat tidak akan memberikan jawaban, sebelum ia mengenal dirinya lebih dalam.
Dengan suara yang agak bergetar, Satrio mencoba kembali berkata. "Ketika usiaku delapan tahun, setiap malam aku selalu berharap melihat sosok ayahku tiba di depan rumah. Tapi takdir berkata lain. Bertahun-tahun sudah bergulir, namun ayahku tak pernah lagi kembali. Hingga akhirnya tersiar kabar, jika ayahku telah tewas dalam perjalanan terakhirnya. Tak ada bukti apapun yang menguatkan itu semua. Mereka hilang begitu saja, bagai ditelan bumi. Pada akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengikuti jejaknya, berharap menemukan jawaban. Dan benar saja, takdir membawaku ke desa ini. Walau aku tak berharap banyak, jejaknya masih terasa hangat di desa ini," Satrio menyelesaikan kalimatnya dengan rasa hampa yang dalam.
Petua Adat terdiam, matanya menatap Satrio dengan tajam, namun dalam tatapan itu terdapat hal yang lebih dalam, sesuatu yang hampir tak terungkapkan. Seolah ia sedang menggali kenangan dari setiap kata yang Satrio ucapkan, mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi di balik kisah yang disampaikan dengan begitu tulus. Wajahnya tak bergerak, namun ekspresinya begitu paham, seolah mengenali rasa kehilangan yang sama.
Ekot yang sebelumnya juga diam, kini menatap Satrio dengan penuh kebingungan. Sesaat, Ekot terbawa kembali ke masa lalu, dan merasakan kepingan kenangan dibalik cerita Satrio.
"Kau mengikuti jejak ayahmu, anak muda. Takdir seringkali memanggil kita melalui jalan yang tak kita mengerti. Kau bukan satu-satunya yang dituntun ke desa ini, meskipun jalanmu mungkin berbeda. Apa yang kau cari, bukan hanya kebenaran, tapi sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang mungkin bisa ditemukan di dalam dirimu sendiri," ujar Petua Adat. Kata-katanya terhenti sejenak, seperti memberi waktu bagi Satrio untuk mencerna makna lebih jauh.
“Aku berpendapat, Bila takdir terus berulang, mengisi tiap zaman dengan jalan yang sama. Kini aku berada pada lingkaran takdir itu. Bahkan aku merasa, sedang mengisi dua takdir dalam satu zaman," ucap Satrio.
Petua Adat mengernyitkan kening, memandang Satrio dengan penuh pertimbangan. “Takdir mana yang akan kau pilih, wahai anak muda?” tanyanya, suaranya lembut namun mengandung kekuatan.
“Sepertinya, takdir itu tak memberi pilihan lain bagiku,” ujarnya, meski ada keraguan di balik kata-katanya.
Petua Adat menghela napas dalam, mengusap janggutnya yang sudah memutih. “Lantas, apa yang akan kau cari untuk mengurangi beban itu?”
Satrio menunduk sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat. “Sejujurnya, aku tak merasa terbebani oleh takdir itu. Aku hanya ingin mencari jawaban… dan semoga saja, Petua Adat memiliki jawabannya.”
Petua Adat terdiam. Raut wajahnya menyiratkan kegetiran yang dalam, seolah kata-kata Satrio sedang ia pertimbangkan.
Petua Adat menghela napas, seakan menarik napas dari kedalaman kenangan yang telah lama terkubur. Mata tuanya yang penuh keriput memandang ke arah Satrio, dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. “Apa yang ingin kau tanyakan, Anak Muda?”
Satrio tersenyum tipis, menundukkan kepala dengan rasa hormat. “Terima kasih, Petua. Aku hanya ingin tahu, tradisi kuno apa yang sudah sejak lama berlangsung di sini?”
Petua Adat terdiam sejenak, sebelum menghela napas berat. “Terlalu banyak bayang-bayang masa lalu. Tapi rasanya seperti baru kemarin kami melakukannya,” gumamnya dengan suara bergetar. “Saat usiaku sepertimu, aku, keluargaku, dan semua warga desa selalu memberi penghormatan kepada leluhur-leluhur kami. Ada sebuah gua yang menjadi tempat sakral bagi kami. Setiap tahunnya, seluruh warga, tanpa terkecuali, membawa semua hasil bumi ke sana. Hari itu seperti perayaan besar bagi kami. Kami bergembira, merasa bersatu dengan leluhur… semuanya larut dalam kebahagiaan.”
Satrio mendengarkan dengan saksama, tatapannya tak berpaling sedikit pun dari Petua Adat.
Petua Adat memperhatikan ekspresi Satrio, lalu mengangkat alisnya sedikit. “Apakah cerita itu sudah cukup lengkap untukmu, Anak Muda?”
Satrio tersenyum kecil, namun ada kilatan penasaran di matanya. “Tentu, Petua Adat. Tapi, apakah ada… maksudku, persembahan lain? Atau mungkin sesuatu yang dijaga oleh warga desa?”
Petua Adat terdiam sejenak, menatap ke kejauhan seolah mencari kepastian dari masa lalu. “Hanya itulah persembahan kami,” jawabnya akhirnya. “Dan hanya gua itulah yang kami jaga pada saat itu.”
Alis Satrio bertaut, sedikit demi sedikit kebingungan mulai memenuhi pikirannya. Tatapannya berkelana, seperti sedang mengurai sesuatu yang hampir-hampir sirna dari harapannya.
lanjut nanti yah