Sebuah pulpen langganan dipinjam Faiq kini tergeletak begitu saja, pemuda yang suka menggodanya, mengusiknya dengan segala cara, ia tidak pernah kehabisan akal untuk mengerjai Vika.
Vika memandanya dengan harap si tukang pinjam pulpen itu akan kembali. Ia memelototi pulpen itu seolah memaksanya membuka mulut untuk memberitahu dimana keberadaan Faiq.
••••••••
Goresan Pena terakhir ini
Kini tinggalah kenangan
Yang pernah kita ukir bersama
Sekarang kau tak tahu dimana
Tak ada secarik balasan untukku
Akankah titik ini titik terakhir
Yang mengakhiri kisah kita?
Kisah kau dan aku
-Vika Oktober 2017
⏭PERHATIAN CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR, BILA ADA KESAMAAN TOKOH MAUPUN TEMPAT, DLL. MERUPAKAN MURNI KETIDAK SENGAJAAN⏮
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kepik Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakek
silahkan razia typo dan lain-lain, karena pasti akan ada banyak typo kedepannya, silahkan berkomentar.
...|Happy Reading|...
...••★••...
Vika menutup pagar rumah Eyangnya setelah berterimakasih karena Faiq mau menemaninya jalan-jalan. Gadis itu sedikit berlari menghampiri Eyangnya yang tengah meminum teh bersama Bu Jumi. "Assalamualaikum," Vika langsung menyalami tangan Eyangnya, "Eyang kenapa nunggunya di luar? Nanti Eyang bisa sakit. Yuk, masuk."
"Wa'alaikumussalam. Enggak apa-apa Eyang sengaja ngeteh di luar sama Bu Jum, langitnya lagi cerah, udah berhari-hari Eyang nggak lihat bintang."
"Bintangnya banyak ya, padahal tadi sempet hujan."
"Lah hujan lokal? Di rumah kering tuh dari tadi." Vika tersenyum kecut, apesnya dia gak boleh main lama-lama.
"Eyang aku jadi inget waktu masih tinggal di rumah kakek banyak banget bintangnya, udaranya masih bersih bahkan dari rumah kakek Vika bisa lihat tiga gunung sekaligus."
"Oh ya? Gunung apa aja?"
"Ada Gunung Slamet, Gunung Sindoro sama Gunung Sumbing Eyang, kalau pagi hari dan cuacanya cerah gunung-gunung itu kelihatan jelas banget Eyang. Biasanya kalau kakek bosan kami jalan-jalan bahkan bisa sampai laut yang jaraknya lumayan jauh."
"Oh itu alasanya kamu kuat jalan dari perpustakaan tujuh kilo meter?" Eyang Sinta tertawa kecil, kemudian wanita paruh baya itu mengelus punggung cucu manisnya. "Kamu kangen Kakek kamu? Gimana kalau besok kamu izin sekolahnya, nanti eyang minta Faiq nganter kamu ke sana."
"Eh, Eyang, apa enggak ngerepotin Kak Faiq? Dari Jakarta ke Jawa Tengah kan jauh, sekitar 8 jam kalau nggak kejebak macet."
"Enggak pa-pa, lagi pula dia juga bosan kemarin pas liburan kan dia enggak kemana-kemana lagipula besok hari jumat jadi bisa tiga hari kalian ke sana."
"Ya Sudah kalau kak Faiq mau nganter aku mau-mau aja, tapi kalau dia enggak mau nggak perlu dipaksa. Masuk yuk, Eyang, Bu Jum." Vika menggandeng Eyangnya sedangkan Bu Jum membawa nampan yang berisi teh dan cemilan yang mereka makan bersama tadi.
****
Paginya Vika sudah siap di depan pintu gerbang bersama Eyang Sinta, Bu Jum dan juga ranselnya. Kemarin malam Eyang Sinta menelepon Bu Sekar untuk meminta izin agar Faiq menemani Vika pulang ke kampung halamannya. Ya, benar saja Faiq langsung setuju, ternyata pria itu juga sedang ingin traveling karena waktu libur kenaikan kelas dirinya sama sekali tidak keluar rumah kecuali balapan pada malam harinya.
Mobil Faiq kini sudah berhenti tepat di depan Vika, Faiq menyalami kedua wanita paruh baya itu. Walaupun Bu Jum hanya pembantu rumah tangga Faiq tetap menghormatinya, dia sangat menjunjung tinggi martabat wanita. "Eyang titip Vika, Ya! Makasih loh udah mau nganter Vika ke rumah kakeknya."
"Iya sama-sama Eyang, kalau gitu Faiq sama Vika pamit dulu. Assalamualaikum." Faiq masuk kedalam mobilnya setelah kedua wanita paruh baya itu menjawab salamnya begitupun dengan Vika. Mereka berangkat sekitar jam delapan pagi butuh waktu sekitar 8 jam untuk sampai di rumah kakek Vika jika terjebak kemacetan di jalan.
"Gue enggak hafal jalan, lo hafal gak?" Vika menganggu mantap, dia sangat yakin hafal jalan menuju rumah kakeknya di Jawa, "Serius? Nanti tinggal kesasar lagi." Vika berdecak sebal ketika secara tak langsung Faiq mengingatkan kejadian saat dia kesasar hingga 7 kilo meter jauhnya, bahkan saat itu kondisinya persis seperti kucing yang ditelantarkan. "Kalau Kakak enggak percaya buka aja google maps."
"Kalau lewat tol mah gue hafal, paling nanti kalau udah sampai di jawa tengah baru gue buka google maps." Vika hanya mengangguk kemudian memasukan earphone kedalam lupang telinganya, Faiq tiba-tiba saja menarik kabel earphone itu. "Iss, kenapa sih?"
"Jangan dengerin musik sendiri, ajak ngobrol gue kenapa?! Kalau gue ngantuk gara-gara bosan gimana, trus kecelakaan lo mau tanggung jawab?"
"Emang mau ngobrol apa?"
"Terserah, cerita waktu lo belum pindah sekolah juga boleh."
"Enggak ada yang bagus, hari-hari aku di sekolah lama itu monoton, enggak ada yang seru. Ya mungkin bagi mereka seru karena-" Vika menghela napas berat, melihat itu Faiq jadi tahu semua yang dialami gadis di sebelahnya sangat lah susah. "Yaudah nggak usah cerita, nyalain aja musik di tape." Vika menuruti kemauan Faiq, langsung saja dia menyalakan musik.
Perjalanan mereka hanya diiringi musik karena kecanggungan yang semakin mengikis kesadaran mereka akan satu sama lain, Vika lebih memilih memejamkan matanya menghayati musik yang melantun merdu, sedangkan Faiq dia memfokuskan diri terhadap kendaraan yang lalu lalang. Sekitar 7 jam waktu yang mereka tempuh, akhirnya mereka sampai di batas kota.
" Vika, bangun!" ujar Faiq sambil mengguncang-guncang bahu Vika perlahan. Vika membuka kedua matanya perlahan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. "Sudah sampai Kak?"
"Belum? Lo hafal kan?"
"Masih jauh Kak, ini malah kejauhan kalau lewat rute ini."
"Tadi lo tidur mulu sih." Faiq berdecak kesal.
"Kenapa enggak bangunin aku?" tanya Vika dengan polosnya.
"Enggak enak mau bangunin." Ia kemudian melajukan mobilnya kembali. "Kak Faiq enggak cape? Kita istirahat dulu, aku tahu rumah makan yang enak di sini."
"Dimana?"
"Masih lurus lagi kak, nanti di depan ada rumah makan." Benar seperti yang Vika ucapkan barusan, di samping kanan jalan ada rumah makan. Faiq langsung saja memarkirkan kendaraan roda empat di tempat yang sudah disediakan tukang parkir.
"Turun," Faiq segera melepas sabuk pengamannya, "masakan disini beneran enak?" tanya Faiq sembari jalan ke dalam rumah makan. "Iya, apalagi ayam bakarnya, mau duduk di mana Kak?"
"Pojok."
"Kakak kenapa sih, aku perhatiin suka duduk di pojokan." Vika menarik kursinya, ia jadi teringat anak balita kemarin, tata letak meja di rumah makan ini mirip seperti di rumah masakan padang yang kemarin Vika datangi bersama Faiq.
"Biar nggak diliatin orang." Mereka segera memesan makanan begitu pelayan menghampiri mereka berdua, tak butuh waktu lama makanan yang mereka pesan segera datang.
"Enak ayam bakarnya, Kak?" tanya Vika disela kegiatan makannya. "Iya, Enak. Uhuk uhuk."
"Aduh Kak, makannya pelan-pelan." Vika menyodorkan segelas air putih yang ia pesan sebelumnya kepada Faiq yang langsung ia terima. "Kakak ini kayak enggak pernah makan ayam bakar aja."
"Sering, ekhem, tapi baru kali ini gue ngerasain ayam bakar yang sesuai sama lidah gue." ujar Faiq setelah meminum air yang Vika berikan. "Baguslah kalau gitu." Mereka melanjutkan makan mereka dengan tenang hingga makanan mereka habis. Selepas membayar makanan yang barusan mereka makan, mereka langsung melanjutkan perjalanan, kali ini Vika menemani Faiq dengan tersadar tidak seperti sebelumnya yang memilih tidur sepanjang perjalanan.
Sepanjang perjalan mereka melihat kebun bambu yang membentang panjang di sisi jalan, ada sawah bahkan Sungai Serayu yang mengalir deras. "Di sini pemandangannya masih asri yah, seger mata gue liat yang hijau-hijau gini."
"Iya kak, rencananya aku mau ajak Kakak ke pantai nanti kalau sudah sampai di rumah Kakek, pantainya nggak terlalu jauh jadi kita bisa lari sore sekalian."
"Boleh, udah lama juga gue enggak joging. Masih jauh rumah kakek lo?"
"Masih, Kak kita mampir ke pekuburan Kakek dulu ya."
"Dimana?"
"Itu depan." Faiq langsung saja menepikan mobilnya di samping gerbang, mereka berjalan beriringan menuju pemakaman kakek Vika yang tak jauh dari gerbang. "Assalamualaikum Kek, ini Vika." ujar Vika dia langsung duduk di tepi kuburan Kakeknya. "Kek, Vika bawa temen Vika, namanya Faiq. Kak Faiq ini tetanggaan juga loh sama Eyang Sekar." suara Vika makin bergetar, dia mencabuti rumput liar yang tumbuh subur di kuburan kakeknya, tanpa diperintah Faiq juga ikut mencabuti rumput liar itu, "Kek, Vika kangen Kakek, Kakek yang tenang ya di sana. Maafin Vika yang nggak becus ngurus Kakek waktu sakit, maafin Vika yang sering bikin Kakek cemas." Punggung Vika bergetar hebat, Faiq yang melihat itu langsung mengusap punggung yang biasanya tegap itu, kini punggung itu terlihat sangat ringkih sekali seperti akan langsung terbang jika tertiup angin.
"Udah jangan nangis lagi, lebih baik lo doain Kakek lo." Vika mengangguk pelan, kemudian mendoaakan kakeknya begitupun yang dilakukan oleh Faiq.
Setelahnya gadis itu berpindah ke makam sebelah, lebih tepatnya neneknya yang bahkan tak pernah ia lihat seperti apa rupanya.
•••••
...*...
...*...
...*...
...TBC...
...Thanks for Reading 💙🌻...
...Jangan lupa like dan komen ya🫶...
...Luv You All💙🌻...
^^^🐞Kepik senja^^^