Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Melepaskanmu
Mungkin diantara mereka, orang-orang sekeliling Jagat. Hanya Aza saja yang tak berniat menyaksikan tayangan pelepasan pasukan garuda ke Kongo, mengingat dirinya yang sibuk dengan diri sendiri, emang rada-rada egois calon dokter satu ini.
Pulang sore---pulang sore, Aza habiskan untuk membaca di perpustakaan, terkadang ia juga mengobrol santai dengan para dosen demi menambah ilmu dan pengalamannya.
"Hay mas," sapa Aza pada Angga yang memang sedang menantinya di parkiran rumah sakit, "lama nunggu? Maaf ya..." ia tersenyum setengah tak enak hati.
Angga seharusnya sudah pulang sejak tadi, jam kerjanya sudah selesai. Niat hati mengajak Aza bertemu dan menghabiskan waktu bersama di detik-detik sebelum kepergian Aza. Tapi gadis ini justru mengajaknya kencan di rumah sakit saja, sekalian Aza yang menemui teman Angga, apoteker rumah sakit.
Tak dipungkiri, Angga terlalu banyak membantu untuk Aza. Bahkan ia sering direpotkan Aza. Seperti sekarang, ia menyuapi Aza dan dirinya sendiri sementara gadis itu sedang berbincang di ruang istirahat apoteker dengan Yayu.
Yayu tak kuasa menahan tawanya, "kaya punya bayi kamu, Ngga."
"Iya bayi gede aku ini mbak Yu."
Aza terkekeh menerima suapan Angga, "kalo dosis buat anak yang ukuran kiloan berat badannya di bawah normalnya anak, berapa mbak?" tanya Aza lagi. Yayu, ia cukup dibuat senang ketika Angga memintanya meluangkan waktu untuk bertemu dengan Aza, memberikan sedikit ilmunya untuk si calon nakes itu tentang apa yang telah ia pelajari di sekolah dan kampus dulu. Ditambah Angga mengiming-iminginya dengan imbalan voucher makan di resto jepang milik tantenya.
"Itungannya begini Za...." jelasnya.
Yayu benar-benar menjadi guru privat Aza sehari, hari ini.
"Hebat kamu Za, salut. Baru jadi calon dokter udah mau-maunya ikut kaya beginian..."
"Mau gantiin pahlawan bertopeng aku tuh mbak, cuma di bidang kesehatan. Kalo pahlawan bertopeng kan mesti pake caw watt di luar, aku maunya pake jas putih." jawab Aza mengundang tawa Yayu, sementara Angga, ia sudah terbiasa dengan sifat absurd Aza, hal inilah yang membuatnya jatuh cinta pada Aza.
Jarang sekali gadis pintar, cantik, tak pernah macam-macam dalam artian pergaulan tapi humoris. Bahkan Aza dapat merebut hati keluarganya termasuk oma, tapi entahlah...ia sendiri kesulitan merebut hati keluarga Aza. Justru kini, ia mendengar jika sang kekasih sudah dijodohkan oleh ayah dan bundanya.
Ngaler ngidul ngomongin obat-obatan, dosis dan menyamakan argumen antara apoteker dan calon dokter sampe sempet mereka nyemil serta makan besar, akhirnya perbincangan harus disudahi mengingat waktu yang sudah hampir magrib.
"Makasih banget loh mbak Yu, berguna banget cemilannya buat aku..." ucap Aza dikekehi wanita dengan satu anak itu, "gaya banget nyebut cemilan. Bukan makan besar to? Aku tuh buat dapetin ini sekolah mahal, Za."
Aza tergelak dan mengangguk, "makanya, ini bakal jadi amal ibadah mbak Yu nantinya kalo udah innalillahi. Ilmu yang berguna,"
"Eh, sembarangan." Yayu menepuk lengan Aza meskipun sambil tertawa, "eh tapi iya deh. Ya udah, aku pamit deh, anak aku udah nungguin di rumah, suami juga udah jemput. Ngga mungkin kan aku ngintilin kalian ngapel..." selorohnya berpamitan di depan rumah sakit, dimana suaminya sudah melambaikan tangan di atas motor di sebrang jalan.
"Makasih loh mbak, udah mau direpotin pacar aku. Besok ya..." alis Angga naik turun yang langsung diokei mbak Yayu.
"Siap. Aku pulang ya Ngga, Za...sukses disana, jaga kesehatan dan diri...kita ini nakes, garda terdepan perang sama penyakit. Aku do'ain, Aza calon dokter sukses biar sering traktir aku voucher makan gratis," tawanya dibalas tawa Aza dan Angga.
"Oh, iya. Semoga kalian juga langgeng, sampe pelaminan..." do'a mbak Yayu sejenak melunturkan senyuman Aza dan Angga, hal yang pasti akan dipertanyakan kabulnya, "aamiin." Angga beramin kencang, sementara Aza hanya berkomat-kamit dan tersenyum getir saja.
"Ya udah ah. Dadah..." wanita yang belum cukup tua itu menyerbu sang suami di sebrang sana bersama tatapan Aza yang tak lepas hingga ia memakai helm dan menghilang, sambutan tangan Angga menyadarkan Aza, "kok ngga bilang amin sama do'a mbak Yayu? Apa aku amin sendiri?" tanya nya, Aza menggeleng tak setuju, "aku bilang amin kok...mas nya aja yang ngga denger."
Assalamu'alaikum Aza. Bagaimana kabarnya malam ini? Semoga dalam keadaan sehat dan baik. Maaf untuk perkenalan yang kurang baik kemarin, insyaAllah lain pertemuan saya akan memperkenalkan diri dengan baik. Saya ijin pamit, besok saya harus melaksanakan tugas negara (luar) dan kemungkinan akan lama. Semoga dek Aza sehat selalu disana.
Terbersit ingatan pesan semalam, saat Jagat berpamitan padanya. Sekarang apa? Aza dilemakah? Jika Angga membantunya itu wajar, toh Angga sudah menjadi kekasihnya dua tahun belakangan. Sementara Jagat...bahkan mereka baru sedetik berkenalan atas paksaan Aza, namun ia dengan sukarelanya membantu Aza.
Pokoknya ngga mau tau, bunda ngga mau sampe kehilangan calon mantu idaman kaya Jagat, ya baik, ya soleh, ya sabar....
"Mau nonton?" tawar Angga mengalihkan perasaan yang mulai tak enak, Aza mengangguk.
Keduanya berangkat selayaknya pasangan kekasih, duduk nempel berdua di atas motor, udah kaya amplop sama lipatan uang kondangan.
"Hati-hati kamu disana, dek. Jaga kesehatan." Angga tak pernah melepaskan tangan Aza yang melingkar di perutnya. Rasanya getir saja, ditinggal kekasih berjuang di medan perang dalam waktu yang cukup lama menurutnya. Aza menaruh dagunya di pundak Angga, "mas juga disini jaga kesehatan. Kalo sempet dan bisa, aku bakalan hubungin mas."
Angga membawa sebelah tangan Aza dari perutnya ke depan bibir lalu mengecupnya, ditemani angin malam ia terbangkan rasa getir merindu pada gadis dibelakangnya, "mas bakalan rindu kamu."
Aza mengabsen kembali barang bawaannya yang mencapai dua koper dan satu tas ransel.
"Ada yang kurang?" bunda menghampiri Aza, "obat-obatan pribadi?" sembari menyerahkan setoples kecil sambal terasi dan bawang goreng untuk bekal Aza disana, "kalo kepepet, ngga ada teman nasi." Aza menerimanya dengan perasaan haru, "bunda sehat-sehat disini." Bunda mengangguk dengan mata yang sudah becek, ditinggal anak satu-satunya berasa ditinggal kekasih hati.
"Kamu yang harusnya sehat-sehat disana. Jangan nunggu sampe lapar, disana ngga akan ada yang nyuapin kamu."
Aza tertawa kecil, kebiasaannya yang selalu menunda perut lapar sehingga membuat orang-orang disekitarnya terkhusus bunda harus memaksanya dengan cara menyuapi anaknya itu. Aza mengangguk cepat.
"Besok jam berapa harus udah ada di rumah sakit?"
"Jam 5, jadi jam 4 aku berangkat. Nanti ada pelepasan secara simbolis dulu dari pemerintah.
/
Aza berangkat dengan celana kargo berwarna cream dan kaos putih yang dilapisi kemeja kotak-kotak merah---hitam tanpa ia kancingkan. Rambutnya terikat satu di belakang menampilkan pahatan paras cantiknya, jelas ia begitu cantik luar dalam, meskipun berpenampilan tomboy begini.
Bukan hanya bunda dan ayah, tapi ibu dan bapak ikut hadir melepas Azalea di pelataran rumah sakit milik pemerintah itu. Bahkan tak kurang-kurangnya, presiden ditemani menteri kesehatan ikut melepas keberangkatan para pasukan pejuang kesehatan ini.
Orang nomor satu di negri ini masih komat-kamit memberikan kalimat penyemangatnya untuk para nakes yang akan berjuang ini, padahal matahari sudah mulai naik menghangatkan bumi. Diapit oleh penjagaan ketat, takut jika ada serangan yang tak diketahui.
Pesawat militer bersama pasukan pengawalan dari tentara negri dan kepolisian siap mengangkut para nakes ini sampai di medan laga.
Bagi Aza, ini adalah suatu pencapaian besar, tidak semua orang atau tenaga medis bisa sepertinya. Lebih tepatnya, yang masih menjadi mahasiswa, calon dokter bisa berada di posisinya saat ini. Bersalaman dengan orang nomor wahid di nusantara. Mungkin setelah ini, Azalea tak akan mencuci tangannya seminggu.
Aza sudah berbaris rapi bersama para tenaga medis lainnya, meski tak sebanyak jumlah pasukan perdamaian. Aza terlihat begitu sumringah sambil berdadah ria ke arah dimana bunda dan ayah berada, juga ibu dan bapak.
"Bangganya saya, pak Lukman. Punya anak mantu sama-sama abdi negara yang punya andil, meskipun hati seringnya sulit melepas...tapi ada kebanggan tersendiri di depan orang lain." Ujar bapak pada ayah bunda.
Ayah tersenyum dan tertawa kecil, "iya pak. Ngga berasa, Aza sudah besar, bikin bangga...perjuangan yang bukan main lelahnya, dibalas dengan prestasi membanggakan...tapi belum tuntas rasa lega saya kalau belum menitipkan Aza pada orang yang tepat." lirihnya pada bapak.
"Sama..." angguk bapak memantik tawa diantara mereka. Bunda tak bisa untuk tak menatap pasukan berseragam loreng yang siap membawa Aza'nya ke pangkalan udara dan ada perasaan mencelos melepas Aza jauh untuk pertama kalinya.
Dari jaraknya yang tak begitu jauh, Angga menatap Aza yang juga melihatnya dan melambaikan tangan, tak sedetik pun Angga melewatkan kesempatan melihat Aza.
Gemuruh riuh melepas pada nakes ini mengisi pelataran rumah sakit dari sanak saudara. Tak terkecuali Aza.
Bunda sudah memeluk Aza erat, seolah enggan melepas, "hati-hati, pulang lagi dengan kondisi sehat wal'afiat...kasih kabar selalu kalau ada waktu." Wanita ini sudah menangis sesenggukan.
"Iya bun."
"Sehat nak." kini giliran ayah yang memeluknya, "ini yang Aza mau, neng. Maka bertanggung jawablah atas pekerjaan yang kamu sukai." Aza mengangguk cepat dalam pelukan ayah, begitupun ibu dan bapak.
"Neng Aza sehat-sehat."
"Iya ibu, pak..."
Angga yang sejak tadi menunggu moment melepas Aza akhirnya menemukan titik dimana Aza sudah naik ke dalam truk reo, tanpa di kerubungi oleh keluarganya lagi.
"Bang, sebentar!" pinta Angga pada prajurit yang menjaga jalan masuk truk.
"Sebentar saja." mohonnya dengan sorot mata yang teramat memohon.
"Hanya sebentar bang." diangguki Angga. Lelaki itu langsung naik dan mencari Aza, matanya tertumbuk pada gadis yang juga melihatnya. Angga langsung memeluk Aza, "jaga diri baik-baik. Kalau sekiranya membahayakan, hubungi aku, bilang sama dokter Alteja...nanti aku yang usahakan kamu untuk pulang."
Aza mengangguk sembari terisak, mungkin setelah ini mereka akan benar-benar berpisah, Aza tak bisa lagi janji pada Angga.
"Janji kamu bakalan pulang. Setelah ini, aku bakalan bener-bener minta kamu sama om tante...." ucap Angga.
Aza hanya mengangguk-angguk saja dalam pelukan Angga.
*Selamat tinggal cinta*...."makasih. Mas udah sering aku repotin." Angga menggeleng, "karena aku sayang kamu, Za."
Semakin berat hati Aza, jujur saja ini tak mudah untuknya. Apakah kepergian ini adalah pelarian untuknya?
Angga melepas Aza dan mengurai pelukannya, "selamat bertugas, dokter Azalea. Aku melepasmu untuk mengabdi...."
Sejenak keduanya terdiam dengan ucapan berpamitan Angga yang melepas Aza.
Namun kemudian Aza tertawa kecil, "masih belom, mas."
"Bang, bisa turun?" teguran seorang prajurit memaksa keduanya untuk segera mengakhiri pertemuan terakhir mereka.
"Bye."
Angga mengecup kening Aza untuk yang terakhir.
.
.
.
.
.
semoga Pasukan Khusus bisa menyelamatkan dr.Dimas dan mereka pulang dengan selamat.
meresmikan hubungan dan lanjutkan perjuangan menjaga tiap jengkal ibu Pertiwi
...