Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhiri Semuanya
Lalita tiba di kota tempat tinggalnya saat malam telah menjelang. Dari bandara, dia langsung check in di sebuah hotel dan berencana akan tinggal di sana selama beberapa hari ke depan. Sengaja Lalita tak pulang ke rumahnya ataupun ke rumah orang tuanya. Dia butuh ruang untuk sendiri dulu, setidaknya selama proses perceraiannya berjalan. Meski begitu, saat ini tentu dia berencana untuk menemui papanya terlebih dahulu.
Setelah membersihkan diri, Lalita memaksa dirinya untuk makan sesuatu. Meski dia tak merasa lapar sedikit pun, tapi calon anak yang ada dalam kandungannya membutuhkan asupan makanan. Lalita tak mau menjadi calon ibu egois yang hanya mementingkan perasaannya sendiri tanpa peduli pada kondisi kehidupan lain yang ada bersamanya saat ini. Dia harus tetap sehat agak calon anaknya juga sehat.
Setelah dirasa cukup memulihkan kembali kondisi tubuhnya selepas melakukan perjalanan jauh, barulah Lalita pergi menuju rumah papanya dengan menggunakan sebuah taksi. Ada perasaan tak nyaman yang datang setibanya Lalita di halaman rumah Arfan, mungkin karena hatinya belum begitu siap jika nanti dia mesti mendengarkan hal mengejutkan lainnya. Namun, sebisa mungkin Lalita berusaha untuk menguatkan diri. Dia mesti meminta penjelasan pada sang papa secepatnya agar tak ada lagi hal yang mengganjal di kemudian hari.
Dahi Lalita sedikit mengernyit saat melihat ada mobil Erick terparkir di halaman rumah. Mungkinkah saat ini Erick juga sedang ada di dalam? Lalita menghela napasnya. Sebenarnya, dia belum mau bertemu dengan lelaki yang akan segera menjadi mantan suaminya itu. Tapi jika memang Erick sedang menemui Arfan, mau tidak mau Lalita mesti melihat wajah Erick lebih cepat daripada yang dia rencanakan.
Lailta pun menguatkan tekadnya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Namun seorang pelayan yang menyambut kedatangannya tampak memperlihatkan raut wajah serba salah, sehingga membuat Lalita merasa ada yang tidak beres.
"Papa ada?" tanya Lalita berbasa-basi pada pelayan tersebut.
"Ada, Non ...." Pelayan itu menjawab dengan agak tertahan.
"Kenapa?" Lalita bertanya sembari menautkan kedua alisnya.
"Engg, itu .... Ada Tuan Erick ....."
Lalita kembali menghela napasnya. Ternyata benar sedang ada Erick di sana.
"Ya sudah, saya mau langsung temui Papa."
"Tapi, Non ...." Pelayan itu lagi-lagi terlihat hendak mengatakan sesuatu, tapi kembali tertahan. Lalita pun semakin heran dibuatnya. Segera dia melangkah menuju ke ruang keluarga yang berada agak ke bagian dalam, tapi belum sampai dia ke sana, langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar suara teriakan Arfan yang menggelegar.
Lalita membeku sejenak. Terdengar kembali kalimat-kalimat murka dari mulut Arfan. Mata Lalita juga membeliak karena mendengar suara pukulan, disusul suara erangan Erick. Tak lama kemudian, teriakan Larisa juga terdengar. Apakah yang sedang terjadi? Apakan saat ini Arfan sedang memuk*li Erick?
Segera Lalita melangkahkan kakinya kembali, lebih cepat daripada sebelumnya. Mulutnya langsung ternganga begitu dia tiba di ruang keluarga. Sebuah pemandangan yang benar-benar membuatnya terperangah tak percaya langsung menyambutnya. Arfan yang selama ini dia kenal sebagai sosok yang penuh kasih sayang, saat ini benar-benar sedang memuk*li Erick tanpa ampun.
"Papa!" Lalita langsung berteriak histeris, membuat Arfan yang hendak kembali memberikan bogem mentah kepada Erick, langsung menahan tangannya. Lelaki itu menoleh dan terkejut saat mendapati putri kesayangannya sudah berdiri tak jauh dari tempatnya menghaj*r Erick sembari menatap ke arahnya dengan tatapan tak percaya.
"Lita?" Cengkraman Arfan di kerah baju Erick pun terlepas tanpa sadar, sehingga membuat tubuh Erick sedikit terhuyung ke belakang.
Larisa tampak langsung bergegas bangkit dan membantu Erick berdiri, sedangkan Riani masih tetap terdiam di sudut ruangan dengan wajah yang telah beruraian air mata. Sebuah pemandangan yang benar-benar terlihat kacau.
"Apa yang Papa lakukan?" tanya Lalita sembari melangkah perlahan. Ekspresi wajahnya jelas memperlihatkan raut sedih, terkejut dan entah apalagi.
"Lita .... Papa ... hanya sedang memberikan pelajaran untuk lelaki tak tahu diri ini," sahut Arfan akhirnya. Dia jelas terlihat panik, pasalnya, sekejam apapun lelaki itu pada orang lain, dia tetap menjaga agar dirinya terlihat baik di mata sang putri.
"Pelajaran apa yang Papa berikan dengan cara mem*kul orang?" tanya Lalita lagi.
"Dia pantas mendapatkan itu, Lita. Dia sudah menyakitimu dan membuatmu hidup menderita. Dia bahkan pantas untuk dilenyapkan dari muka bumi ini!" Arfan yang sudah terlanjur emosional akhirnya tak bisa mengontrol kata-katanya di hadapan Lalita.
Lalita menggeleng sembari menatap Arfan sedih. Dia kembali melangkah mendekati sang papa. Dan sesampainya di hadapan lelaki itu, Lalita pun langsung menjatuhkan dirinya di lantai dan bersimpuh di kaki Arfan.
"Aku mohon, hentikan semuanya, Pa. Cukup sampai di sini saja," ujar Lalita kemudian dengan suara parau yang bergetar hebat.
Terang saja, semua yang melihat hal itu terkejut dibuatnya.
"Lita?" Mata Arfan membeliak tak percaya. Putrinya yang ceria, manis dan penuh percaya diri, bagaimana bisa saat ini bersimpuh di kakinya dan terlihat seperti orang yang nyaris putus asa.
"Semua hal gila yang Papa lakukan untukku, tolong hentikan. Aku tidak mau Papa terus menjadi orang jahat karena ingin membuatku bahagia. Jadi, kumohon, hentikan semua ini." Lalita memohon sembari memegang kedua kaki papanya. Air matanya jatuh tak tertahankan meskipun sekuat tenaga dia berusaha untuk tak menangis lagi.
Arfan kehabisan kata-kata. Dia tak masalah dikatakan jahat oleh siapa saja. Tapi jika yang mengatakannya adalah Lalita, tentu saja itu hal yang berbeda. Terasa seperti ada semacam benda tajam yang menghujam dadanya saat ini.
"Apa Papa marah karena aku menggugat cerai Erick? Jika iya, aku harus beritahu Papa jika aku menggugat cerai Erick bukan karena dia sudah menyakiti dan membuat hidupku menderita, tapi karena aku mengetahui sebuah kebenaran. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang membuat Erick tersiksa. Itu keputusanku yang kubuat setelah memikirkannya dengan benar. Tolong Papa hargai itu ...." Lalita kembali memohon.
"Dia sudah bersikap sedemikian buruk padamu, jadi tidak perlu membelanya, Lita?" tanya Arfan sedikit geram.
"Dia dipaksa menikahiku. Papa, Mama dan Kak Risa pasti tahu hal itu lebih dari siapapun." Lalita menyahut.
Tentu saja Arfan terkejut mendengar itu. Hanya dia yang belum tahu kalau Lalita telah mengetahui segalanya.
"Aku tidak sedang membela siapapun, Pa. Aku hanya meminta Papa untuk mengakhiri semua ini. Berbohong ataupun dibohongi, keduanya sama-sama melelahkan. Cukup sudah, Pa. Jangan diteruskan lagi," pinta Lalita.
"Erick, Kak Risa, Mama, mereka semua manusia yang punya perasaan dan keinginan sendiri, bukan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati. Tolong jangan lagi memaksa mereka untuk melakukan apapun hanya untuk membuat aku merasa senang. Aku tahu kalau Papa sangat menyayangiku, tapi kumohon jangan korbankan orang lain lagi demi aku." Lalita terisak lirih.
Arfan kembali terdiam dan hanya bisa menatap Lalita dengan nanar.
"Aku tidak mau lagi hidup dalam sandiwara orang-orang, Pa. Apalagi dari orang-orang yang aku sayangi. Aku lebih suka orang-orabg jujur padaku, meski itu mungkin akan membuatku merasa sakit ...."
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/