Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akar Jantung Asrul
Sesampainya didepan pintu gerbang istana negeri akhirat, Siti Adawiyah dihentikan oleh dua orang penjaga.
"Berhenti! Dilarang berkeliaran di sekitar sini! Pergilah menjauh dari sini sebelum habis.."
"Habis apanya Broo.."
Salah satu penjaga berkomentar.
"Habis kesabaranku lah..."
Jawab penjaga yang satu lagi.
"Saya mau masuk ke dalam.."
Siti Adawiyah menunjukkan rasa hormatnya.
"Apakah engkau membawa undangan? Mana undangannya." Seorang penjaga mengulurkan tangannya.
"Saya hanya mengantarkan obat untuk Jenderal Umar. Apakah perlu membawa undangan hanya untuk mengantarkan obat?"
Siti Adawiyah mengeluarkan sebuah kantong dari jubahnya.
"Tidak bisa! Hari ini adalah hari yang sangat penting, siapapun pengunjung yang tidak memiliki undangan dilarang masuk!"
Penjaga tersebut menuding dengan senjata yang dipegangnya.
"Saya kemari atas perintah ayah saya. Ayah saya adalah tabib istana negeri akhirat. Namanya Jena. Apakah kalian tidak mengenalnya?"
Siti Adawiyah bersikeras untuk masuk ke dalam istana.
"Jena? Siapa Jena? Aku tidak mengenalnya! Pergi sana! Jangan memaksaku mengotori tangan hanya untuk urusan yang tidak penting!"
Penjaga itu terlihat semakin arogan.
Dengan enggan, Siti Adawiyah terpaksa meninggalkan pintu gerbang istana negeri akhirat. Sambil berjalan lesu, Siti Adawiyah berjalan dan tidak sengaja menyentuh kayu pohon tua yang terlihat angker, bahkan tidak ada seorangpun yang berani berjalan didekat kayu pohon tua itu.
Tiba-tiba dahan pohon tua yang di sentuh Siti Adawiyah tersebut bersinar dan sinarnya menyebar meliputi seluruh bagian pohon tua tersebut, kemudian seluruh bagian pohon tua itu menjadi abu dan berterbangan, lalu keluar seekor burung yang sangat besar. Burung tersebut langsung terbang tinggi meninggalkan tempat itu.
Kedua penjaga terkejut mendengar suara menggelegar dan terlihat oleh mereka seekor burung yang berukuran sangat besar sedang terbang menjauh.
"Ayo cepat kita lihat apa yang terjadi!"
Kedua penjaga berlarian menuju sumber suara, hal ini menjadi kesempatan bagi Siti Adawiyah untuk menyusup masuk ke dalam istana.
Di dalam aula istana, Siti Adawiyah berjumpa dengan para jenderal negeri akhirat.
"Aku sangat penasaran. Apakah jenderal Umar kali ini akan berhasil melewati ujian sambaran petir sebanyak tujuh kali? Dua tahun berturut turut beliau hanya sanggup menghadapi tiga sambaran petir, itupun beliau harus kehilangan kedigdayaan selama dua puluh tahun."
"Aku malah tidak habis fikir. Bagaimana mungkin Panglima Jenderal Asrul dengan mudah melewati ujian sambaran petir sebanyak tujuh kali tanpa cedera sedikitpun. Apakah karena beliau putra Khalifah Taimiyah atau karena ilmu yang diberikan oleh Guru Besar Gus Mukhlas telah sempurna diterimanya."
"Bukankah jenderal Ali juga murid Guru Besar Gus Mukhlas? Tetapi perbedaan kemampuan mereka berdua sangat signifikan."
Siti Adawiyah mendekati para jenderal dan bertanya.
"Maaf tuan-tuan, apakah kalian mengetahui dimana Jenderal Umar?"
Baru saja Siti Adawiyah bertanya, rombongan pengawal Jenderal Umar keluar dari aula utama.
"Sangat kebetulan sekali.. Itu didepan adalah Jenderal Umar."
Jenderal Usman menunjuk seorang pria paruh baya yang berpostur tubuh pendek dan berkulit gelap.
"Apakah tidak ada kandidat lain yang lebih baik sehingga Khalifah harus memilih dia?"
Siti Adawiyah menunjukkan kekecewaannya.
"Nona, kriteriamu cukup bagus. Akupun berfikir demikian."
Jenderal Ali menanggapi.
Siti Adawiyah mengeluarkan sebuah kantong dan ditunjukkan kepada Jenderal Usman.
"Tuan, Bukankah tuan mengenal Jenderal Umar? Tolong berikan obat ini kepadanya. Katakan kepadanya bahwa obat ini dari tabib Jena. Maafkan saya, saya ada pekerjaan lainnya."
Belum sempat Jenderal Usman berkata-kata, Siti Adawiyah langsung pergi meninggalkan tempat itu. Siti Adawiyah sangat terburu-buru karena dari kejauhan dilihatnya ada dua orang penjaga yang mengejarnya bergerak menuju tempat dia berdiri.
Jenderal Usman menggaruk kepalanya. "Bagaimana bisa makhluk dari alam dunia berada di negeri akhirat?"
Jenderal Ali berkata kepada Jenderal Usman.
"Saya penasaran. Bagaimana cara makhluk dari alam dunia bisa masuk ke negeri akhirat."
Dari kejauhan, dua penjaga gerbang berlari mendekat.
"Lihat disana! Itu perempuan yang menyusup tadi! Kejar dia!"
Siti Adawiyah berlari sekuat tenaga, dua penjaga mengejarnya seraya melempar tombak kearah Siti Adawiyah.
"Aah..."
Siti Adawiyah terkena lemparan tombak itu, menyebabkan dirinya terjatuh ke jurang yang diselimuti kabut tebal.
Siti Adawiyah mendarat di dasar jurang. Berkat ilmu Kanuragan yang telah diajarkan oleh Jena, Siti Adawiyah tidak mengalami cedera yang serius.
Di dekat tempat dia terjatuh, Siti Adawiyah melihat sebuah goa dan berinisiatif untuk bersembunyi disana agar tidak diketahui oleh kedua penjaga yang mengejarnya.
Tidak lama setelah Siti Adawiyah masuk kedalam goa, kedua penjaga sampai di depan pintu goa.
"Son.. Bukankah goa ini adalah goa tempat Panglima Jenderal Asrul berkholwat?"
"Ya. Benar. Tempat ini adalah tempat yang paling terlarang! Siapapun yang memasuki tempat ini, akan dihukum oleh Khalifah.. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum ada yang mengetahui kalau kita berada disini."
Kedua penjaga itu bersujud kearah goa dan langsung meninggalkan tempat tersebut.
Didalam goa, Siti Adawiyah melihat ada seseorang yang sedang duduk bersila.
"Ups.. Maaf tuan, aku telah mengganggu ritual tuan dalam berkholwat."
Setelah Siti Adawiyah memberi hormat, dalam hatinya merasa penasaran.
"Apakah begini kehidupan warga negeri akhirat? Apakah setelah tidak menyukai lagi kehidupan dunia, lantas menyendiri hingga mati?"
Siti Adawiyah memberanikan diri mendekati pria itu.
"Pria ini lumayan tampan, usianya pun tidak terlalu tua. Tapi sayangnya dia sudah mati."
Siti Adawiyah melihat ada sebuah liontin pada genggaman tangan pria itu, lalu Siti Adawiyah mengambilnya.
"Liontin ini sungguh cantik. Sayang sekali sedikit kotor karena berdebu."
Siti Adawiyah menyeka batu giok berwarna hijau pada liontin tersebut, tiba-tiba keluar seberkas sinar keluar dari batu giok dan sinar itu langsung bergerak menuju dada pria tersebut. Ternyata sinar tersebut adalah akar Jantung Asrul.
Betapa terkejutnya Siti Adawiyah ketika melihat pria itu membuka matanya.
"Engkau masih hidup? Tetap ditempat! Jangan bergerak, atau aku akan memanggil pasukanku untuk membuatmu mati kembali!"
Pria itu masih memelototi Siti Adawiyah dan melihat liontin yang dipegang Siti Adawiyah.
"Apa lihat-lihat! Ini liontin milikku! Aku tidak akan memberikannya kepadamu!"
Siti Adawiyah langsung berlari keluar goa dengan membawa liontin yang dipegangnya.
Sementara itu, di podium pelaksanaan ujian Panglima baru, Jenderal Umar sedang menerima sambaran petir yang ke empat. Tiba-tiba datang seekor burung besar mendekati podium.
"Serang burung itu! Itu adalah burung tunggangan raja Iblis!"
Beberapa jenderal berteriak histeris.
"Tunggu! Wahai saudara-saudaraku sesama makhluk abadi! Biarkan saya sendiri yang menghadapinya!"
Jenderal Umar maju kedepan dengan posisi menyerang.
Setelah bertukar serangan beberapa jurus, akhirnya burung besar tersebut terbang menjauh.
"Kejar burung itu! Jangan biarkan dia hidup!"
Jenderal Umar berteriak dengan marah.