Mungkin ada banyak sekali gadis seusianya yang sudah menikah, begitulah yang ada dibenak Rumi saat ini. Apalagi adiknya terus saja bertanya kapan gerangan ia akan dilamar oleh sang kekasih yang sudah menjalin hubungan bersama dengan dirinya selama lima tahun lamanya.
Namun ternyata, bukan pernikahan yang Rumi dapatkan melainkan sebuah pengkhianatan yang membuatnya semakin terpuruk dan terus meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan. Di masa patah hatinya ini, sang Ibu malah ingin menjodohkannya dengan seorang pria yang ternyata adalah anak dari salah satu temannya.
Tristan, pewaris tunggal yang harus menyandang status sebagai seorang duda diusianya yang terbilang masih duda. Dialah orang yang dipilihkan langsung oleh Ibunya Rumi. Lantas bagaimana? Apakah Rumi akan menerimanya atau malah memberontak dan menolak perjodohan tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon safea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21
Siang ini cuacanya cukup bagus dan Rumi juga kebetulan mendapatkan tugas untuk mengawasi anak-anak yang sedang bermain di taman sana.
Sama seperti hari-hari biasanya, tempat ini akan selalu ramai oleh para murid. Ada yang sedang bermain, memakan camilan yang mereka bawa dari rumah atau sekedar duduk saja tanpa melakukan apapun.
"Miss Rumi!" Tangan Rumi langsung terangkat tinggi dan ikut melambai ke arah seorang anak perempuan yang sedang menunggu giliran di atas seluncuran sana.
"Hati-hati ya bermainnya, jangan dorong-dorongan." Semua anak yang berada di atas sana langsung menjawabnya dengan sangat kompak.
Perhatian Rumi teralihkan pada segerombolan anak perempuan yang berada di bawah pohon sana. Mereka terlihat sedang mengerubungi sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh kedua mata Rumi.
Ah, rupanya itu Joyie dan juga teman-temannya. Tapi tunggu, sepertinya ada yang salah di sana. Kenapa ekspresi wajah Joyie terlihat sedih begitu?
Rumi semakin dibuat kebingungan saat melihat semua anak-anak tadi pergi begitu saja meninggalkan Joyie di bangku taman sana seorang diri.
Hal itu tentu saja membuat Rumi tidak menunggu lebih lama lagi untuk segera menghampiri gadis kecil yang pernah mengaku kalau ia sangat menyukai Rumi.
"Joyie nggak ikut bermain dengan teman-teman yang lain?" Kepala Joyie yang sejak tadi hanya menunduk dengan dalam lantas mendongak.
Tidak ada mata berbinar seperti yang biasanya Rumi lihat ketika kedua bertemu, justru yang Rumi lihat saat ini hanyalah kesedihan. Ada apa ini? Apa Joyie telah dirundung oleh teman-temannya?
"Tidak, Miss Rumi." Nada bicaranya juga sangat berbeda dengan yang biasanya. Kemana perginya Joyie yang penuh dengan kebahagiaan itu?
"Boleh Miss Rumi tau kenapa Joyie nggak mau ikut main?" Semoga saja Joyie mau mengatakan apa alasan di balik itu semua agar nantinya Rumi pun bisa mengetahui harus memberi saran seperti apa.
"Mereka semua sejak tadi hanya membicarakan tentang Mama mereka, Miss." Senyuman yang berusaha Rumi pertahankan sejak tadi itu pun akhirnya runtuh begitu saja.
Tak perlu dijelaskan lebih rinci lagi, Rumi sudah mengetahui kemana obrolan yang semulanya ringan ini akan bermuara. Ia juga sudah paham kenapa Joyie nampak begitu sedih.
"Joyie kan tidak punya Mama seperti mereka, jadi Joyie tidak tau harus membicarakan apa." Rasanya sedih sekali mendengar ucapan seperti ini keluar dari mulut seorang anak seusia Joyie.
"Miss Rumi, kenapa ya Joyie tidak bisa punya Mama seperti yang lainnya? Joyie kan juga anak baik, sama seperti mereka." Oh tidak, kalau sudah seperti ini bagaimana cara Rumi menjelaskannya pada Joyie kecil.
Dan juga, Rumi tidak tahu dengan jelas apakah Ibunya Joyie ini sudah meninggal ataukah hanya bercerai dengan Tristan. Rumi hanya tidak mau salah bicara kali ini dan malah membuat Joyie semakin bersedih nantinya.
"Iya benar, Joyie memang anak baik. Tapi Joyie tau tidak, seharusnya Joyie merasa lebih senang karena punya Daddy yang sangat sayang pada Joyie." Mari kesampingkan pembahasan tentang Ibu, dan bahas apa yang Joyie miliki saat ini.
"Teman-temannya Joyie yang lain juga punya Daddy kan? Tapi mereka malah lebih sering diantar atau dijemput sama Mamanya mereka, dan Joyie malah selalu dengan Daddy." Dengan matanya yang masih menyendu, Joyie sedang berusaha untuk mencerna setiap kalimat yang Rumi sampaikan padanya.
"Daddynya teman-teman Joyie pasti sibuk makanya tidak sempat mengantar atau menjemput ke sekolah. Daddynya Joyie juga seperti itu, tapi lihat. Daddy masih bisa datang untuk menjemput Joyie di sekolah dan pergi makan siang bersama Joyie meskipun sedang sibuk." Berhasil, Rumi telah berhasil mengembalikan binar di mata bulat Joyie dengan penjelasannya tadi.
"Berarti Daddy hebat sekali kan, Miss Rumi?" Tanpa merasa ragu ataupun berpikir sebanyak dua kali, Rumi segera menganggukkan kepalanya dengan cepat.
"Benar! Daddynya Joyie yang paling hebat." Katakan selamat tinggal pada raut sedih, karena sekarang Joyie sudah kembali tersenyum seperti biasanya.
"Oh iya, Miss Rumi punya sesuatu." Teringat dengan permen yang dia bawa dari rumah, Rumi lantas segera merogoh saku celananya untuk mengeluarkan makanan manis itu.
"Ini untuk Joyie." Anak kecil mana yang tak suka dengan permen? Kalau Joyie sih malah suka sekali.
"Terima kasih, Miss Rumi!" Lihat saja betapa semangatnya gadis kecil itu saat menerimanya dari Rumi.
"Miss Rumi mau tidak kalau menjadi Mamanya Joyie? Jadinya nanti Joyie mempunyai Daddy dan Mama." Sungguh, permintaan seperti ini tidak pernah Rumi bayangkan sebelumnya.
Baru juga beberapa hari yang lalu Bundanya ingin mengenalkannya pada Tristan, dan sekarang malah anaknya Tristan sendiri yang menginginkannya untuk menjadi Ibu sambung. Kegilaan macam apa ini?
......................
"Iya, akan kita bahas sekembalinya saya ke kantor." Sambungan telepon itu lantas Tristan sudahi begitu saja kala melihat sudah banyak sekali murid lainnya yang keluar melewati gerbang.
Hal itu juga yang membuat Tristan langsung keluar dari mobilnya dan segera mendekat ke arah gerbang sana. Ia hanya tak ingin Joyienya berjalan terlalu jauh nanti.
"Eh ganteng banget? Dia orang tua murid juga kah, atau cuma kakaknya?" Ada banyak sekali bisikan yang Tristan dengarkan saat dirinya melewati para Ibu-ibu yang sedang bergerombol di sana.
"Udah segede itu nggak mungkin lah kalo kakaknya, jeng." Dan yang Tristan dengar setiap harinya selalu sama saja.
Kalau bukan karena terpana akan ketampanan wajah Tristan, pasti karena sibuk menerka murid mana yang memiliki wali semenakjubkan ini.
Sudahlah, Tristan sudah tak mau memikirkannya sama sekali. Lebih baik ia fokus memperhatikan setiap murid yang keluar, jangan sampai ia tak bisa menemukan Joyie nanti dan malah membuat tuan putri bertubuh gempal itu jalan seorang diri ke arah mobil.
Kerutan di dahi Tristan langsung sirna begitu menemukan entitas kecil yang selalu saja tersenyum dengan lebar di seberang sana. Bukan hanya wajah gemas Joyie yang membuat kerutan itu menghilang, tangan yang sedang putrinya genggam juga menjadi salah satu alasannya.
Tangan kecil Joyie sedang menggenggam tangan Rumi dengan sangat erat. Wanita itu pun melakukan hal yang sama dengan Joyie, tersenyum dengan lebar sembari memberikan sapaan pada murid lain yang memang dikenalnya.
"Daddy!" Panggilan dengan suara melengking itu berhasil membuat Tristan kembali memfokuskan pandangannya pada Joyie setelah puas memperhatikan betapa cantiknya Rumi ketika tersenyum.
"Hari ini pulang bersama Miss Rumi ya? Miss Rumi juga mau ajak Joyie makan di restoran Jepang yang enak, kami mau makan ramen bersama." Pemandangan menggelikan macam apa ini?
Kenapa hanya melihat dua perempuan berbeda generasi ini membuat Tristan merasakan ada ribuan kupu-kupu yang sedang mengepakan sayap di dalam perutnya? Perasaan aneh macam apa ini?
"Saya yang traktir hari ini, Pak." Senyuman Rumi hari ini juga rasanya sangat berbeda, atau ini hanya hayalan Tristan saja?
"Baiklah, kalau begitu mari." Tidak, jangan sampai Tristan malah mempermalukan dirinya sendiri di depan Rumi yang justru begitu menakjubkan di kedua matanya.
"Ayo Miss Rumi cepat! Kita tinggalkan saja Daddy di sini." Dengan kakinya yang teramat pendek, Joyie malah berlari dengan tawa yang menggelegar. Nampaknya gadis kecil itu sedang merasakan kebahagiaan yang sangat besar.
Bukannya merasa kesal, Tristan justru tengah terkekeh di belakang sana sembari melangkah. Sesekali ia menggelengkan kepala dengan pelan karena tak habis pikir dengan apa yang sudah Joyie katakan barusan.
Sepertinya sekarang Tristan sangat paham kenapa Ibunya sangat ingin Tristan menikah kembali, karena beliau ingin melihat kebahagiaan seperti ini.
Kalau sudah seperti ini, apakah Tristan masih akan menolaknya? Meskipun ia telah melihat gambaran yang sangat jelas dengan kedua mata tajamnya?
semangat berkarya kak🥰
kalau Kaka bersedia follow me ya ..
maka Kaka BS mendapat undangan dari kami. Terima kasih