Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Fight (2)
Semua orang terperangah. Tidak pernah ada yang membayangkan bahwa seorang Rembulan Saraswati yang terkenal cool dan angkuh itu menikah dengan sosok Embun Sanubari? Pria pendiam yang sangat baik dan lemah lembut sekaligus pria tampan berwajah menyenangkan yang semakin dilihat semakin mempesona.
Dania, Qeency, dan Stefi menatap Saras dengan tatapan tajam. Saras dapat merasakan tatapan itu menembus punggungnya meski ia sedang berdiri membelakangi sahabat-sahabatnya itu.
Saras menghela napas berat. Ia melirik Sanu yang kini tengah memandangnya dengan tatapan khawatir. Bibir suaminya itu bergerak kaku dan berkata "Maaf" tanpa suara.
Orang-orang di kerumunan itu masih bergumam gaduh, beberapa gadis di antaranya menjerit tak percaya. Mereka seolah menolak fakta bahwa Sanu dan Saras telah menikah. Hal itu bagai sambaran petir bagi para gadis-gadis sosialita yang mencari pria kaya untuk menjadi pacarnya. Bagi mereka, seorang Rembulan Saraswati terlalu cantik, rupawan, dan sempurna untuk bisa mereka kalahkan.
Di tengah keriuhan itu, beberapa lelaki kekar berjalan masuk dan membelah kerumunan. Mereka mendorong siapapun yang ada di depan mereka dengan kasar hingga membuat orang-orang di sekelilingnya menatap mereka dengan kesal.
Salah satu dari lelaki kekar itu menarik baju Radit, hendak menghajarnya, "Beraninya kau menyakiti Dany? Kau sentuh dia, maka seluruh anggota tim basket kampus akan menyerbu kalian!" ujar lelaki itu dengan lantang.
Radit melepaskan bajunya dari genggaman pria itu dengan kasar, mendorong dada bidangnya yang berotot dengan pandangan meremehkan, "Silahkan saja, aku bisa menyewa seribu petarung sekaligus untuk menghabisi kalian sekarang juga."
Para lelaki kekar itu saling melempar pandangan, sementara beberapa orang di kerumunan nampak menahan tawa. Mencari gara-gara dengan Radit yang merupakan putera sulung keluarga Bratayudha sama saja menggali kuburan untuk dirimu sendiri.
Ramon yang sejak tadi menggosok dagu dengan senyum terkembang pun turut maju ke arah kerumunan itu. Di hadapannya ada Dany yang masih tersungkur dengan Saras yang nampak membantu menyeka darah di sudut bibirnya. Sanu yang berdiri di dekat Radit pun nampak menatap Saras dan Dany dengan sorot mata pilu. Di sebelahnya Radit terlihat sudah siap melayangkan bogem mentah ke wajah rekan basket Dany. Ia mengerling, pestanya malam ini benar-benar kacau balau!
Ramon bersiul kemudian masuk ke tengah kerumunan, "Ladies and Gentlemen, tenangkan diri kalian." ujarnya dengan lantang. Ia mengisyaratkan ke arah DJ untuk menurunkan volume musiknya.
"Daripada kita menyaksikan keributan seperti ini, kurasa akan sangat seru jika kita menyaksikan sebuah pertandingan yang fair, bukan begitu?" Ramon menatap ke arah Sanu dan Dany bergantian. Dua lelaki gagah itu nampak sama-sama bingung dengan maksud ucapan Ramon.
"Bagaimana kalau....." Ramon menggantung kalimatnya, membuat semua orang yang ada di pesta itu terdiam dan harap-harap cemas. "Bagaimana kalau kita melihat Embun Sanubari bertanding basket satu lawan satu dengan Dany Sancaka? Siapapun pemenangnya, maka dialah orang yang berhak memiliki Saras!" ujarnya lagi, dengan suara lantang.
Semua orang di kerumunan bersorak, menyetujui usulan gila Ramon. Mereka semua tidak sabar menantikan pertandingan antara seorang pemain basket profesional dengan seorang pemuda tampan super kaya raya yang dikatakan serba bisa itu. Semua orang menjerit-jerit penuh semangat seraya menyerukan nama Dany dan Sanu.
Saras yang mendengar itu merasa sangat tertohok. Ia tahu bahwa Sanu memiliki tubuh atletis yang lima kali lipat lebih bagus dan seksi dari tubuh Dany, tetapi bagaimanapun juga Dany adalah seorang atlet basket profesional! Sanu pasti akan kalah dari mantan kekasihnya itu. Dalam hati kecil Saras, ia tidak ingin mempermalukan Sanu di hadapan banyak orang. Tanpa perlu bertanding sekalipun, ia tetap istri Sanu, ia tetaplah milik suaminya itu.
Saras bangkit dan berdiri menatap Ramon dengan tajam. Ingin rasanya ia mencakar wajah Ramon karena dengan entengnya menjadikan dirinya sebagai bahan taruhan, "Apa kau sudah gila?"
Ramon mengangkat bahunya sembari melirik ke arah kerumunan. "Uuuuuu" desis orang-orang di kerumunan itu dengan serentak.
"Tenanglah cantik, biarkan dua lelaki ini menyelesaikan urusannya secara jantan." bisik Ramon dengan senyum aneh mengembang di bibirnya.
Saras memutar kedua bola matanya dengan jengah, sepertinya ia tidak bisa menyuruh Ramon membatalkan ucapannya.
Saras lantas menatap ke arah Sanu. Suaminya itu nampaknya sejak tadi memandanginya dengan tatapan sayu. Saras menyadari hal itu. Ia menyadari bahwa ekspresi Sanu menunjukkan seolah dia terluka. Entah apa yang membuatnya bereaksi seperti itu, yang jelas Saras tidak ingin ia ikut campur dalam pertandingan bodoh yang dicetuskan Ramon.
"Jangan terima tantangan itu," Saras menatap Sanu dalam-dalam, wajahnya nampak memohon.
Sanu terdiam sejenak. Ia membuang muka ke kiri kemudian berkata, "Apa aku tidak boleh memperjuangkanmu?"
Saras meremas ujung dress nya, kenapa ekspresi terluka itu lagi yang ditunjukkan Sanu!
"Tentu saja aku ingin.. Um, maksudku.. tidak. Aduh," Saras menyentuh bibirnya, ia seperti kehilangan akal untuk berkata-kata dengan benar. "Kamu tidak perlu melakukannya, lagipula aku sudah menjadi istrimu." Saras berujar pelan. Seluruh orang di kerumunan itu bergumam tak percaya. Ternyata memang benar mereka sudah menikah.
"Tetapi aku ingin memperjuangkanmu. Aku juga ingin membuktikan kalau aku pantas untuk kamu," Sanu mengangkat wajahnya, ekspresi pilu itu masih nampak di sana.
Saras menarik napas dalam, "Tapi aku takut kamu akan kalah," bisiknya dengan pelan hingga hanya Sanu yang bisa mendengarnya.
Mendengar ucapan istrinya membuat Sanu mengulas sebuah senyum tipis, senyum indah yang entah kenapa justru sarat akan kesedihan. "Aku tahu kamu khawatir, tetapi aku mohon percayalah padaku."