Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Kembali ke Masa Kecil dengan Tamiya
Hari itu terasa berbeda. Setelah semua kejadian aneh yang menimpa Blokeng, semangatnya mulai bangkit kembali. Dia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan dan melupakan masalah yang telah mengganggu pikirannya. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalanya: membeli tamiya. Ya, mainan mobil mini yang pernah menjadi favoritnya di masa kecil.
Dengan penuh semangat, Blokeng berjalan menuju toko mainan di dekat alun-alun. Suasana di luar cukup ramai, tetapi di dalam hatinya, ada rasa nostalgia yang menghangatkan. Dia teringat saat-saat bahagia saat bermain tamiya dengan teman-teman sebayanya. Saat-saat tanpa beban, tanpa tanggung jawab, dan tanpa kekhawatiran.
Sesampainya di toko, suara derit pintu menyambutnya. “Selamat datang!” sapa pemilik toko yang sudah cukup tua. Blokeng hanya mengangguk sambil melihat-lihat rak yang penuh dengan berbagai jenis tamiya. Ada mobil balap, mobil off-road, dan bahkan yang bisa dimodifikasi.
“Wah, banyak banget pilihan!” gumam Blokeng sambil mengamati setiap detail dari mobil-mobil mini tersebut. Tanpa sadar, senyum lebar terbentuk di wajahnya. Dia merasa seolah-olah kembali ke masa kecilnya, saat ia tidak perlu memikirkan masalah-masalah dewasa yang rumit.
“Eh, mau beli yang mana?” tanya pemilik toko sambil tersenyum, menyadari kegembiraan Blokeng.
“Yang paling cepat, Pak!” jawab Blokeng penuh semangat.
Setelah beberapa menit memilih, akhirnya Blokeng memutuskan untuk membeli sebuah tamiya berwarna merah cerah dengan desain aerodinamis. “Ini pasti cepat!” ujarnya dengan antusias sambil membayangkan bagaimana ia akan memacu mobil mini itu di trek balap yang dibangunnya di halaman rumah.
Blokeng juga membeli beberapa aksesori tambahan, termasuk beberapa set ban dan cat untuk memodifikasi tamiya-nya. “Kalau sudah dimodifikasi, pasti bisa lebih keren dan cepat!” pikirnya.
Dengan kantong penuh, Blokeng keluar dari toko dengan senyum di wajahnya. Saat ia berjalan pulang, terlintas di benaknya keinginan untuk mengundang teman-teman bermain tamiya bersamanya. “Kenapa tidak? Ini bisa jadi cara untuk menghibur diri dan menjalin kembali persahabatan yang sempat pudar,” ujarnya dalam hati.
Sesampainya di rumah, Blokeng langsung menuju ke ruang tamu. Ia membuka kotak tamiya yang baru dibelinya dengan penuh antusias. “Ayo kita modifikasi!” serunya sambil meraih cat dan peralatan yang dibeli.
Sambil bekerja, Blokeng teringat Rina. Dia ingin mengajak Rina untuk ikut bermain. “Mungkin dia mau ikut,” pikirnya. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Rina, “Hey, Rina! Aku baru beli tamiya. Mau ikut main dan modifikasi bareng?”
Tidak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Rina membalas dengan semangat, “Wah, seru! Aku mau! Kapan kita mulai?”
Blokeng merasa hatinya berbunga-bunga. Rencananya untuk bermain tamiya tidak hanya menyenangkan, tetapi juga menjadi momen yang bisa ia habiskan bersama Rina. “Besok sore, di rumahku. Aku sudah siapin trek balapnya!” jawabnya.
Setelah itu, Blokeng kembali fokus pada tamiya-nya. Ia melukis dan memodifikasi sesuai imajinasinya, menghabiskan waktu berjam-jam tanpa merasa bosan. Dalam proses itu, dia merasa lebih tenang dan terhibur.
Ketika hari beranjak malam, Blokeng akhirnya selesai dengan tamiya-nya. Ia melihat mobil mini itu dengan bangga. “Siap untuk balapan!” teriaknya. Dia membayangkan betapa serunya saat Rina dan teman-temannya datang untuk bermain bersama.
Saat malam tiba, Blokeng merasa excited menantikan esok hari. Dia tidur dengan penuh mimpi indah, membayangkan bagaimana balapan seru yang akan terjadi dan momen-momen berharga bersama Rina dan teman-temannya.
Malam itu, tanpa ia sadari, semangat dan kebahagiaan yang didapatnya dari tamiya ini akan membawa warna baru dalam hidupnya, mengubahnya menjadi lebih baik. “Siapa bilang hal-hal sederhana tidak bisa membuat hidup lebih berarti?” ujarnya dalam hati sambil terlelap.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Blokeng sudah tidak sabar untuk menunjukkan tamiya barunya kepada Rina dan teman-temannya. Sore itu, dia sudah menyiapkan trek balap kecil di halaman rumahnya, menggunakan kardus bekas dan beberapa batu kecil sebagai rintangan. Semangatnya membara, dan dia membayangkan betapa serunya balapan yang akan berlangsung.
Rina datang dengan senyum ceria di wajahnya. “Wah, Blokeng! Ini trek balapnya ya? Keren!” teriaknya saat melihat tampilan trek yang telah Blokeng buat. Blokeng merasa bangga dan senang dengan pujian itu.
Mereka berdua mulai menyiapkan tamiya masing-masing. Rina juga membawa tamiya miliknya yang berwarna biru cerah, dan mereka berdua mulai saling bersaing dalam modifikasi. “Ayo kita balapan!” ajak Blokeng penuh semangat.
Setelah menyiapkan semua, mereka memulai balapan pertama. “3… 2… 1… Mulai!” teriak Blokeng sambil menekan tombol remote tamiya-nya. Mobil mereka melaju kencang, berputar dan melawan gravitasi pada trek yang telah dibangun. Kegembiraan memenuhi udara, mereka tertawa dan bersorak-sorai.
Namun, tanpa disadari oleh mereka, tamiya Blokeng yang berwarna merah cerah meluncur terlalu cepat. “Whoa! Blokeng, hati-hati!” teriak Rina, tapi sudah terlambat. Mobil itu melewati batas trek dan langsung jatuh ke selokan yang berada di samping halaman.
“Tidak!” teriak Blokeng, sambil berlari menuju selokan. Dia melihat tamiya-nya tenggelam dalam genangan air berlendir yang kotor. “Gila, ini selokan!” pikirnya sambil merasa putus asa.
Rina berlari mengikuti Blokeng, dan keduanya melihat mobil itu terjebak di dalam lendir yang menjijikkan. “Wah, tamiya kamu sepertinya butuh pertolongan, Blokeng!” candanya, berusaha menghibur.
“Ini bukan saatnya bercanda, Rina! Tamiya ini baru beli! Gimana cara ambilnya?” Balas Blokeng dengan nada frustrasi. Dia merogoh sakunya dan mengambil alat pancing kecil yang ada, berharap bisa menjangkau mobil itu.
“Kalau aku bantu, aku mau ikut main, ya!” ujar Rina, mencandanya. Dia mengulurkan tangan untuk membantunya, tapi dengan cepat Blokeng menolak. “Enggak, jangan! Nanti kamu kotor!”
Namun, Rina tidak menghiraukan peringatan Blokeng dan ikut berusaha menarik tamiya itu. Dalam usaha mereka, tangan Rina yang bersih tanpa sadar menyentuh lendir yang ada di selokan. “Aduh! Jijiik!” serunya sambil melompat mundur.
Tiba-tiba, saat Blokeng hampir meraih tamiya, kakinya terpeleset di pinggir selokan yang basah. “Whoa!” teriaknya, tubuhnya hampir terjatuh ke dalam selokan. Dengan refleks cepat, dia berpegangan pada Rina. “Kamu jangan dorong aku!” ujarnya, setengah tertawa dan setengah panik.
Mereka berdua tertawa, situasi yang awalnya konyol itu justru membawa kedekatan yang lebih. “Oke, kita harus berpikir lebih kreatif,” kata Rina sambil menatap tamiya yang terjebak di dalam selokan. “Coba kita cari tongkat atau kayu yang bisa dijadikan jembatan untuk mengeluarkannya!”
Blokeng mengangguk setuju dan mereka mulai mencari-cari di sekitar halaman. Beberapa menit kemudian, mereka menemukan sebatang kayu kecil yang cukup panjang. Dengan semangat, mereka berdua mulai merencanakan bagaimana cara mengekstrak tamiya dari selokan.
Dengan hati-hati, Blokeng menempelkan ujung kayu itu ke tamiya dan perlahan-lahan menariknya. “Hampir, hampir!” teriak Rina. Dan akhirnya, tamiya itu berhasil keluar dari selokan, tapi dengan kondisi yang sangat kotor. “Yay! Kita berhasil!” Blokeng bersorak.
Setelah berhasil mengeluarkan tamiya, mereka berdua tertawa lepas. Namun, saat Blokeng melihat tamiya-nya, wajahnya langsung berubah. “Aduh, kotor banget! Sekarang aku harus membersihkannya!” keluhnya.
“Ayo, kita bersihkan bareng! Ini kan jadi pengalaman seru!” ajak Rina, dan mereka berdua pergi ke kran air untuk mencuci tamiya yang telah terkena lendir.
Ketika mereka membersihkan tamiya, mereka saling bercerita, berbagi tawa, dan merencanakan balapan selanjutnya. Semua kesedihan dan kekecewaan yang sempat menghampiri Blokeng seolah sirna seiring tawa yang mereka bagi.
Rina pun mulai bercerita tentang pengalamannya bermain tamiya di masa kecil. “Dulu, aku pernah punya tamiya yang sangat cepat. Tapi sayang, aku kehilangan saat balapan. Tapi itu adalah pengalaman yang sangat menyenangkan,” katanya dengan mata berbinar.
Blokeng tersenyum mendengarnya. Dia menyadari bahwa meski tamiya-nya kotor dan mengalami banyak halangan, momen ini justru menjadi salah satu kenangan yang paling berharga.
Dengan semangat baru, mereka pun kembali ke trek balap dan mempersiapkan diri untuk balapan kedua. “Sekarang kita mulai dari awal, ya! Dan jangan sampai ada yang jatuh ke selokan lagi!” Blokeng berjanji, membuat Rina tertawa.
Dengan penuh keceriaan, mereka melanjutkan permainan tamiya yang membawa kembali kenangan indah masa kecil, membuat mereka lebih dekat dan semakin akrab. Tanpa mereka sadari, pertemuan yang awalnya penuh tantangan ini telah menjadi sebuah momen berharga yang akan mereka ingat selamanya.