Samuel, pria berusia 38 tahun, memilih hidup melajang bertahun-tahun hanya demi satu tujuan—menjadikan Angelina, gadis 19 tahun yang selama ini ia nantikan, sebagai pendamping hidupnya. Setelah lama menunggu, kini waktu yang dinantikannya tiba. Namun, harapan Samuel hancur saat Angelina menolak cintanya mentah-mentah, merasa Samuel terlalu tua baginya. Tak terima dengan penolakan itu, Samuel mengambil jalan pintas. Diam-diam, ia menyogok orang tua Angelina untuk menikahkannya dengan paksa pada gadis itu. Kini, Angelina terperangkap dalam pernikahan yang tak diinginkannya, sementara Samuel terus berusaha memenangkan hatinya dengan segala cara. Tapi, dapatkah cinta tumbuh dari paksaaan, atau justru perasaan Angelina akan tetap beku terhadap Samuel selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kak Rinn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arthur nekat datang kerumah Samuel
Samuel sedang bersandar di sofa sambil menghela napas, ia menatap langit-langit, perasaan gelisah sudah menghantuinya sejak dua bulan terakhir ini.
Sementara Angelina hampir memasuki usia tiga bulan kehamilan, ia tahu banyak rintangan dalam rumah tangganya. Tapi penemuan bingkai foto bersama Irene membuat Samuel semakin gelisah.
"Apa Irene masih hidup?" pikirnya. Ia teringat beberapa tahun lalu, Irene menghilang begitu saja. Samuel merasa putus asa mencarinya, namun tak ada kabar sama sekali. Hingga akhirnya ia bisa move on dan bertemu dengan Angelina, gadis cinta pertama dan terakhirnya. Namun, kini dengan kembalinya ingatannya tentang Irene, segala perasaan yang ia coba kubur mulai terungkit kembali.
Samuel menundukkan kepala, berusaha mengendalikan pikirannya. Ia sudah memilih Angelina, dan ia tidak boleh dibiarkan terjebak oleh masa lalu. Tapi, kenapa perasaan ini terus menghantui?
Kring!
Suara notifikasi ponsel di samping laptop membuyarkan lamunan Samuel. Ia menunduk, meraih ponselnya, dan membuka layar. Sebuah pesan masuk dari nomor baru:
Samuel, sudah lama tidak bertemu
Alis Samuel berkerut, matanya menatap layar dengan penuh tanda tanya. Siapa yang mengirim pesan ini? Ia mencoba mengingat-ingat, tapi tak satu pun nama muncul di benaknya.
Namun, sebelum sempat membalas, suara Angelina dan Ningsih terdengar memasuki mansion.
"Samuel," sapa Angelina dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
Samuel segera tersenyum, meletakkan ponsel di meja, dan berdiri mendekati istrinya. Ia melirik sekilas ke arah Ningsih yang tampak membawa banyak belanjaan.
"Sudah terpenuhi semua pesanan yang kau mau, istriku?" tanyanya lembut sambil menatap wajah Angelina yang cerah.
Angelina tersenyum lembut, mengangguk pelan, lalu meraih tangan kekar Samuel dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih sudah mengizinkan aku keluar lagi."
Samuel terkekeh kecil, kemudian melingkarkan lengannya di tubuh kecil Angelina, menariknya ke dalam pelukan hangat yang penuh kasih.
"Apapun itu, asalkan kau bahagia, istriku," balas Samuel dengan suara rendah namun penuh keyakinan.
Sementara itu, Ningsih hanya tersenyum tipis melihat kemesraan majikannya. Ia pun beranjak menuju dapur untuk menyiapkan makan siang, memberikan ruang bagi pasangan itu untuk menikmati momen mereka.
Drtt.
Ketika Samuel dan Angelina masih saling berpelukan, suara ponsel di meja berbunyi lagi, meskipun bukan panggilan telepon.
Samuel dan Angelina menoleh ke arah ponsel itu. "Tunggu sebentar," ucap Samuel sambil melepaskan pelukannya dengan lembut.
Ia berjalan mendekati meja, mengambil ponsel yang masih bergetar. Nama pengirim tak dikenal muncul di layar.
"Siapa itu?" tanya Angelina dengan nada curiga, matanya memperhatikan Samuel yang tampak tegang.
Samuel dengan cepat menekan tombol untuk menolak pesan itu, lalu menyelipkan ponselnya ke dalam saku celananya. "Bukan siapa-siapa, istriku. Hanya urusan kantor," ucapnya, meski jelas ada nada keraguan dalam suaranya.
Angelina mempersempit matanya. "Apa itu benar? Kalau cuma urusan kantor, biar aku lihat," pintanya, merentangkan tangan seakan meminta ponsel Samuel.
Samuel menegang sesaat, berusaha tetap tenang. "Sayang, kau tidak perlu repot-repot memikirkannya. Lagipula, kau harus istirahat setelah pergi seharian."
Angelina mendengus kecil, tapi tidak memaksa. "Huh, baiklah. Tapi kalau aku tahu kau berbohong, aku tidak akan tinggal diam."
Samuel menatap Angelina sejenak, memperhatikan setiap detail perubahan sikapnya. Ia tahu betul bahwa Angelina kini semakin menunjukkan rasa sayang yang lebih besar padanya—tidak lagi dingin seperti dulu. Perubahan itu membuat hati Samuel menghangat, tetapi juga diliputi rasa bersalah yang perlahan menggerogoti dirinya.
Melihat Angelina memilih mengalah dan tidak memaksa untuk melihat ponselnya, Samuel merasa hatinya terhimpit oleh kebohongan yang baru saja ia ucapkan. Dia percaya padaku, dan aku malah membohonginya... pikir Samuel, kecewa pada dirinya sendiri.
Namun, ada sesuatu yang mengusiknya di sisi lain. Rasa penasaran terhadap nomor tak dikenal itu terus membayangi pikirannya. Pesan singkat dan panggilan yang tiba-tiba muncul seolah menjadi misteri yang sulit diabaikan.
Siapa sebenarnya orang ini? Mengapa dia muncul sekarang?
***
Miya dan Roy serta Arthur sedang berbincang di ruangan, sudah hampir tiga bulan Angelina tidak berkunjung ke rumah mereka semenjak kejadian itu.
"Bu, Arthur ingin izin bekerja, jika begini terus Arthur merasa tidak enak." ujar Arthur
"Kerja apa? Kau saja belum lulus SMA!" sahut Miya dengan mata tajam.
"Tch! Itu karena aku juga mengikuti perintahmu, Bu! Untuk mengurangi beban di rumah ini, lebih baik aku keluar sekolah! Sekarang kenapa kau malah memojokkan aku!?" Arthur frustasi.
"Semua ini gara-gara ibu! Kenapa harus berlaku kasar pada kakak Angelina!? Bukankah dia juga putrimu?" lanjut Arthur.
Sementara Roy sudah muak dengan rumahnya yang sekarang sering terjadi keributan, kali ini ia akan bertindak.
"Sudah cukup kalian semua! Aku sudah muak dengan pertengkaran ini yang terus menerus."
Keheningan. Miya juga menyadari, karena perilaku kasarnya terhadap Angelina membuat hidupnya berantakan dan juga mengobarkan putranya, sementara Roy sudah lama menganggur karena tak ada perusahaan yang mau menerimanya.
"Aku akan pergi ke tempat Angelina!" seru Arthur tiba-tiba, membuat semua orang di ruangan menoleh padanya.
"Apa maksudmu!? Kau hanya akan mempermalukan keluarga ini, Arthur!" bentak Miya dengan nada tinggi.
Arthur menatap ibunya dengan penuh kemarahan. "Mempermalukan apa? Aku tidak akan memasang wajah penuh belas kasihan seperti yang selalu Ibu lakukan!" ujarnya tajam, lalu tanpa menunggu tanggapan, ia langsung berlari keluar rumah.
Miya hanya bisa terdiam, rasa bersalah dan amarah bercampur aduk di hatinya. Ia melirik Roy, berharap mendapat dukungan, tetapi Roy hanya menggelengkan kepala dan akhirnya pergi, meninggalkannya dalam keheningan.
Arthur terus melangkah tanpa henti, melewati jalanan berdebu di bawah terik matahari hingga sinarnya mulai meredup. Ia bahkan tak peduli keringat membasahi wajah dan tubuhnya.
"Semoga saja Om Samuel mau menerima orang sepertiku," gumamnya lirih, menatap lurus ke depan dengan napas terengah-engah. "Setidaknya, kalau aku jadi pelayan di mansionnya, aku bisa punya uang. Itu lebih baik daripada terus-terusan begini."
Arthur mengepalkan tangannya, berusaha menguatkan hati. Dalam pikirannya, masa depan keluarganya bergantung pada langkah yang sedang ia ambil. Meski ia tak tahu bagaimana reaksi Samuel atau Angelina nanti, ia tetap yakin bahwa hanya keberanian ini yang bisa mengubah nasibnya.
Sesampainya di gerbang mansion, Arthur menghentikan langkahnya. Ia terdiam, matanya membelalak memandangi megahnya bangunan di hadapannya. Pagar tinggi dengan desain elegan, taman luas yang terawat sempurna, serta bangunan utama yang berdiri megah dengan dinding putih berkilauan, membuatnya terpana.
"Mewah sekali," gumam Arthur dengan suara hampir tak terdengar. Ia menelan ludah, merasa kecil di depan kemegahan itu.
"Pasti Angelina hidup enak di sini..."lirihnya. "Dimanjakan oleh Om Samuel."