Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Mobil siapa ini?" Pandu turun dari mobilnya lalu mengecek mobil yang dengan gagah parkir di sebelahnya.
Pandu bergegas masuk ke rumah ingin tahu siapa pemilik mobilnya. Langkah kakinya terhenti saat di ruang tamu tidak ada orang.
Pandu melanjutkan langkah kakinya, melewati ruang keluarga, lalu mengecek ke ruang makan siapa tahu mereka ada di sana. Namun, nihil tidak ada siapa-siapa di sana.
"Nada," panggilnya melemah saat istrinya sedang salat.
Selepas salam Nada menadahkan kedua tangannya sebentar lalu mengusapkan ke wajahnya.
"Ada apa Mas?" tanya Nada sembari melipat mukenanya.
"Mobil siapa di depan?" tanya Pandu penasaran. Tangannya sibuk membuka jas dan dasinya tapi matanya fokus ke arah sang istri.
"Punyaku," katanya seraya mengambil laptop. Ia masuk ke selimut untuk mengecek kerjaanya.
"Kamu bercanda? Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membeli mobil?" Pandu percaya Nada membeli mobil semahal itu.
"Hadiah dari Mbak Nora sama Mas Rama, memangnya Ayu doang yang memiliki kakak," ucap Nada berbohong. Dia membeli mobil sebelum menikah dengan Pandu.
Namun, Nada belum pernah menunjukan kepada sang suami. Setelah dia menjual mobil untuk tambahan mobil yang dipakai Pandu. Nada tidak pernah menyetir sendiri. Dia harus menunggu Pandu atau naik taksi.
"Tidak bisa kah sehari tanpa menyebut Ayu? kasihan dia. Terus menjadi orang ketiga padahal dia tidak tahu apa-apa," wajah Pandu sangat lelah, telinganya rasanya mau meledak saat Nada menyebut nama adiknya terus.
"Karena dia memang orang ketiganya, berhenti memanjakan dia maka aku akan berhenti membahasnya," ucap Nada dengan menatap lekat sang suami.
Pandangan mereka sama-sama tajam, tidak ada yang mau mengalah satu sama lain.
"Apa salahnya aku memanjakan adikku?" Pandu membuka kedua tanganya.
"Aku punya kakak juga, bagaimana kalau aku pelukan, ciuman dengannya. Apa kamu biasa saja?" suara Nada semakin tinggi.
"Apa yang menjadi permasalahannya? Kalian kan saudara," jawab Pandu tampak tidak keberatan dengan ucapan Nada.
Nada menganggukan kepala, "Baiklah, kamu yang mengatakan ini ya."
Pandu menarik handuk pergi ke kamar mandi, "Apa sih maunya istriku."
...----------------...
Pandu melihat dari ujung kaki sampai ujung kepala Nada. Dia dandan rapi, wajahnya sangat cantik. Berbeda dengan hari-hari biasanya.
"Kamu mau ke mana?" Pandu menaruh sendok lalu berjalan mendekati Nada.
"Bertemu klien," jawabnya santai. Nada yang dulu telah kembali perempuan karir. Aura kecantikannya muncul berkali lipat.
"Klien apa?" Pandu bingung dengan ucapan Nada, pikirannya langsung negatif kepada istrinya.
"Tentu saja klien perusahaanku. Aku berangkat dulu, sudah terlambat," katanya sembari mencium tangan Pandu.
Pandu berjalan di belakang Nada, ia menarik tangan sang istri sehingga langkahnya terhenti. "Kamu bekerja lagi?"
"Ya, aku bekerja lagi. Ada masalah?" tanya Nada yang jawabanya dia tahu. Pasti Pandu sangat bermasalah jika Nada kembali bekerja.
"Tentu saja, apa yang ingin kamu cari. Jangan-jangan kamu mencari lelaki lain?" tuduh Pandu.
Nada tersenyum sampai kelihatan semua deretan giginya, "Aku mencari uang, jangan asal menuduh."
Gelak tawa dari Pandu memenuhi ruang tamu yang sepi, "Uang, memangnya aku tidak memberikanmu uang. Nada, berhenti bertingkah!"
"Mas Pandu tersayang, uangmu itu buat kebutuhan Shanum saja kurang. Kalau kamu mau aku berhenti kerja, berikan gajimu full," tantang Nada.
Dia akan membiarkan perusahaan kembali di pegang sahabatnya selama dia diberikan uang bulanan yang semestinya.
"Kamu mau menunjukan kalau dirimu hebat!" Pandu berkacak pinggang.
"Mas, aku tidak mau membuktikan apa-apa, aku hanya mau menafkahi diri sendiri," ujarnya sembari mengambil tasnya.
Sebenarnya tanpa berangkat ke kantor pun Nada mendapatkan hasil dari kantornya, tapi dia mulai suntuk dengan Pandu serta keluarganya.
Dia akan menunjukan kepada ibu mertuanya, jika dia memiliki uang sendiri. Dia bukan perempuan yang bisa di rendahkan begitu saja.
Pandu mengacungkan jari telunjuknya."Nada, berhenti atau ...,"
"Atau apa?" potong Nada. "Kamu tidak akan memberikan uang bulanan? Itu sudah biasa," ucapnya lalu meninggalkan Pandu yang kesal.
Nada duduk di mobilnya, menatap pintu rumah yang terbuka. Dia tidak mau seperti ini, dia ingin menjadi istri yang patuh dengan suaminya.
Namun, Pandu yang tak kunjung sadar membuat dia harus melakukannya.
"Nada, berhenti melow. Kamu harus bisa membuat suamimu sadar," kata Nada lalu bersiap bertemu denyan kliennya.
Nada berjalan cepat menuju kafe yang sudah diatur untuk meeting. Dia sudah terlambat sekitar 10 menit.
"Maaf Pak, saya terlambat." Nada menundukan kepalanya.
"Nada?" ujar lelaki berbaju setelan jas hitam.
"Ya," jawabnya sembari mengangkat kepalanya.
Lelaki itu tersenyum manis, "Kamu lupa denganku?"
Nada menatap dengan lekat, mencoba mengingat pemuda tampan di depannya.
"Kau sungguh sudah melupakanku?" ujarnya dengan hembusan napas panjang.
Nada meringis sembari mengusap tengkuknya, "Maaf, aku benar-benar lupa."
Lelaki itu berdiri lalu mengulurkan tangannya, "Hugo dwi Marwan."
Nada mendelik mendengar nama yang sangat familier di telingannya. Jantungnya berdegup dengan kencang.
"Kamu, Hugo teman sekelas waktu SMA?" tanya Nada, di takut salah. Di dunia ini nama tak hanya satu.
"Iya Nada Almahira," jawabnya sembari mengusap kepala Nada.
Nada memundurkan kakinya, rasanya tidak mungkin bisa bertemu lagi dengan orang yang dulu sering dia sebut di sepertiga malamnya.
"Kamu kaget ya?" katanya sambil tertawa kecil.
Nada tersipu malu, bagaimana tidak kaget dia bertemu dengan cinta pertamanya yang berubah semakin tampan. Perasaan yang tak pernah tersampaikan karena malu.
"Duduk dulu, kita ngobrol dulu saja. Soal kontrak gampang." Hugo mempersilahkan Nada untuk duduk.
Nada menganggukan kepala, mulutnya rasanya berat untuk berucap.
"Kamu sudah menikah ya?" Hugo mulai menanyakan hal pribadi. Dia mengesampingkan masalah pekerjaan.
"Iya, aku sudah memiliki seorang putri," jawabnya dengan jujur. Meskipun, dia sangat senang tapi dia tidak bisa berbohong untuk mengaku lajang.
"Pasti putrinya cantik sepertimu," puji Hugo kepada Nada.
Wajah Nada memerah, "Kamu bisa saja. Bagaimana denganmu?"
"Aku masih sendiri, belum ada yang cocok untuk menjadi ibu dari anak-anakku," jawabnya dengan malu-malu.
"Masa sih?" Nada tidak percaya orang setampan dan sekaya Hugo belum memiliki istri.
"Beneran, semenjak lulus sekolah aku terlalu sibuk belajar," ucapnya dengan senyum malu.
"Tahu kamu belum menikah sampai saat ini, aku tidak akan menikah," batinnya.
"Nada, Nada, istigfar, apa yang kau pikirkan?" batin Nada sembari menggelengkan kepala.
"Masa orang sesukses kamu satu orang pun tidak ada yang mau dekat." Nada masih saja tidak percaya dengan ucapan Hugo.
"Ada sih, cuma belum ada yang sreg. Jadi ya mau gimana lagi?" ujarnya dengan menyeruput minumannya.
Dia menaruh cangkir menatap Nada, lantas berkata lirih, "Maunya sama kamu, sayang sudah kedahuluan orang."