Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Mabuk Rasa
Adara menggigit bibirnya pelan sambil menatap segelas anggur merah yang berkilau di tangannya. Malam itu, dia terjebak di salah satu acara gala perusahaan yang diadakan oleh Arga Pratama. Sebagai sekretaris pribadinya, kehadirannya adalah kewajiban, meskipun dia tak pernah merasa nyaman di tengah keramaian seperti ini. Gaun hitam elegan yang membalut tubuhnya membuatnya terlihat memukau, namun Adara tak bisa mengabaikan detak jantungnya yang terus berpacu setiap kali tatapan Arga mengarah padanya.
Arga sendiri berdiri tak jauh dari sana, mengenakan setelan hitam yang rapi, dengan aura dinginnya yang begitu mendominasi ruangan. Para tamu, baik pria maupun wanita, berlomba-lomba mendekatinya, mencoba menarik perhatiannya. Namun, Arga tetap tenang, berbicara secukupnya, dengan senyuman kecil yang tampak dibuat-buat.
Adara menarik napas panjang. Ia tahu malam ini akan panjang. Kehadirannya di sini bukan sekadar menjadi bayangan di belakang Arga. Ada sesuatu dalam tatapan bosnya yang berbeda sejak tadi pagi. Sebuah intensitas yang sulit dia abaikan, seolah ada hal penting yang ingin dikatakan, namun selalu tertahan.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Adara?" Sebuah suara berat memecah lamunannya.
Adara menoleh. Arga berdiri di sampingnya, terlalu dekat hingga dia bisa merasakan wangi maskulinnya yang khas. Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, mencoba membaca ekspresi di wajah Adara.
"Tidak, Tuan Pratama," jawab Adara sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Kupikir kau terlihat tegang," Arga berkomentar, mengambil segelas anggur dari pelayan yang lewat. "Acara seperti ini memang membosankan. Kalau bukan karena kewajiban, aku juga tak akan datang."
Adara hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa tubuhnya semakin kaku di bawah tatapan intens Arga.
"Tapi aku senang kau ada di sini," tambah Arga tiba-tiba, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan.
Kata-katanya membuat Adara menahan napas. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons, jadi dia memilih memalingkan wajah, menatap kerumunan tamu di ruangan.
"Terima kasih, Tuan," jawabnya akhirnya, mencoba tetap profesional meskipun hatinya terasa berdebar lebih cepat.
Namun, sebelum Arga bisa melanjutkan, salah satu investor utama perusahaan mendekat, menyela percakapan mereka. Arga mengangguk sopan, lalu melangkah menjauh untuk berbincang dengan pria paruh baya itu.
Adara menghela napas lega. Dia merasa seolah terlepas dari tekanan yang tak terlihat, namun pada saat yang sama, dia merasakan kekosongan aneh. Tatapan Arga selalu berhasil membuatnya merasa istimewa, tetapi juga bingung.
Waktu berlalu, dan suasana pesta semakin meriah. Beberapa tamu sudah mulai berdansa di lantai dansa, sementara yang lainnya tenggelam dalam obrolan ringan di sudut-sudut ruangan. Adara memutuskan untuk mencari udara segar.
Dia melangkah keluar ke balkon, meninggalkan keramaian di belakangnya. Angin malam menyapu wajahnya, membawa ketenangan yang dia butuhkan. Adara bersandar di pagar balkon, menatap lampu-lampu kota yang berkilauan di kejauhan.
"Melarikan diri dari pesta, ya?"
Suara Arga muncul lagi, membuat Adara terlonjak. Dia menoleh, dan melihat pria itu berdiri di ambang pintu balkon, dengan gelas anggur di tangannya.
"Maaf, Tuan. Saya hanya butuh sedikit udara segar," jawab Adara sambil menundukkan kepala.
Arga melangkah mendekat, lalu berdiri di sampingnya. "Kau tidak perlu meminta maaf, Adara. Aku juga merasa lebih nyaman di sini daripada di dalam."
Adara tidak mengatakan apa-apa. Mereka berdiri dalam keheningan untuk beberapa saat, menikmati pemandangan malam yang tenang.
"Kau tahu, kadang aku berpikir hidup ini seperti segelas anggur," kata Arga tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.
Adara menoleh padanya, bingung. "Maksud Anda, Tuan?"
Arga tersenyum tipis. "Anggur bisa terasa manis atau pahit, tergantung bagaimana kau menikmatinya. Tapi jika kau terlalu banyak meminumnya, kau akan mabuk, kehilangan kendali."
Adara menatapnya, mencoba memahami makna di balik kata-katanya. "Apakah Anda sedang berbicara tentang diri Anda, Tuan?"
Arga menghela napas panjang, menatap jauh ke depan. "Mungkin saja. Aku sering merasa seperti itu. Mabuk oleh kekuasaan, oleh kesuksesan, dan... oleh rasa yang tidak seharusnya kumiliki."
Kata-katanya membuat Adara terdiam. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang ingin Arga sampaikan, namun pria itu tampaknya masih ragu untuk mengatakannya.
"Adara," panggil Arga tiba-tiba, membuat gadis itu menoleh.
"Ya, Tuan?"
Arga menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca setiap pikirannya. "Jika kau merasa ada sesuatu yang salah... apa kau akan tetap tinggal?"
Adara tertegun. Pertanyaan itu terlalu mendalam, terlalu tiba-tiba. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
"Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan," jawabnya akhirnya, mencoba menghindari pandangan pria itu.
Namun, Arga tidak menyerah. Dia mendekat, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa langkah. "Kau tahu apa yang kumaksud, Adara. Aku mabuk rasa... dan rasa itu ada padamu."
Jantung Adara terasa berhenti sejenak. Kata-kata Arga begitu jelas, begitu tegas, dan tidak meninggalkan ruang untuk salah paham.
"Tuan, saya—"
Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, Arga mengangkat tangannya, menghentikannya. "Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu apa yang kurasakan. Apa yang selalu kurasakan sejak pertama kali kita bertemu."
Adara merasa seluruh tubuhnya gemetar. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin menyangkal, tapi hatinya tahu bahwa dia merasakan hal yang sama.
Namun, mereka tidak bisa melanjutkan percakapan itu. Suara tamu-tamu yang mulai mencari-cari keberadaan Arga memaksa mereka untuk kembali ke kenyataan.
Arga menghela napas panjang, lalu melangkah mundur. "Kita harus kembali. Malam ini belum selesai."
Adara hanya mengangguk, mengikuti langkah Arga dengan hati yang masih kacau. Mabuk rasa. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di benaknya sepanjang malam, mengisi pikirannya dengan keraguan dan harapan yang bercampur menjadi satu.