Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Berbagi Rahasia
Ruangan kerja Arga senyap saat Adara mengetuk pintu dengan ragu. Suara ketukan tangannya terdengar sangat pelan, nyaris tidak terdengar, tapi itu sudah cukup membuat Arga mengangkat wajahnya dari berkas-berkas yang menumpuk di mejanya.
"Masuk," suara beratnya terdengar.
Adara melangkah masuk dengan hati-hati, membawa secangkir kopi yang disiapkannya khusus untuk bosnya. Meski Arga terkenal tegas dan berwibawa, ada sesuatu dalam tatapannya hari ini yang membuat Adara ingin tahu. Mungkin lelah, atau bahkan sedikit rapuh. Ia tak pernah melihat sisi itu sebelumnya.
"Kopi, Pak," kata Adara sambil menaruh cangkir di meja.
Arga melirik kopi itu, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, Adara."
Ia jarang mengucapkan terima kasih, dan itu membuat Adara tertegun sejenak. Tatapan matanya seolah menyimpan ribuan kata yang tak terucap. Ada sesuatu di dalam diri Arga yang terasa… lain.
"Adara," panggil Arga setelah beberapa detik keheningan.
"Ya, Pak?"
"Bisakah kau duduk sebentar? Ada yang ingin kubicarakan."
Adara menatapnya ragu, tapi kemudian ia mengangguk dan duduk di kursi di depan meja Arga. Tak ada hal yang mendesak dalam agendanya saat ini, dan jika bosnya ingin bicara, maka itu sesuatu yang sangat jarang terjadi. Biasanya mereka hanya berbicara soal pekerjaan. Arga tak pernah berbicara hal pribadi, apalagi membuka percakapan.
"Begini," kata Arga sambil melipat tangannya di meja, tampak berpikir keras sebelum melanjutkan. "Aku tahu hubungan kita hanya sebatas pekerjaan, dan aku jarang berbicara hal-hal pribadi. Tapi kadang-kadang, aku merasa perlu bicara dengan seseorang yang bisa mendengar tanpa menghakimi."
Adara mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang serius. "Saya di sini mendengarkan, Pak. Kalau ada yang bisa saya bantu…"
Arga menarik napas panjang, memandang keluar jendela. "Kau tahu, Adara, semua orang melihatku sebagai orang yang dingin, perfeksionis, dan kadang tanpa perasaan. Mereka hanya melihat posisiku sebagai CEO dan menilai dari luar."
Adara terdiam. Ia juga sempat berpikir demikian, tapi setelah beberapa bulan bekerja bersama Arga, ia bisa merasakan bahwa di balik sikap dinginnya, ada sisi yang lebih dalam dan rapuh yang berusaha ia sembunyikan.
"Namun, tidak ada yang tahu bagaimana aku sampai ke posisi ini," lanjut Arga dengan suara rendah. "Semua orang berpikir bahwa semua ini hanya masalah kerja keras atau keberuntungan, padahal sebenarnya lebih rumit dari itu."
Adara menunggu dengan sabar, tidak ingin memotong ceritanya. Untuk pertama kalinya, ia bisa melihat sisi Arga yang jauh berbeda dari yang ia kenal.
"Aku kehilangan ayahku saat masih kecil," lanjut Arga, dengan mata yang tampak menerawang jauh. "Dia meninggal dalam kecelakaan, dan seketika itu juga, hidupku berubah total. Ibu yang semula adalah wanita lemah lembut dan ceria, berubah menjadi wanita keras dan dingin. Dia selalu menekanku untuk menjadi sempurna, menjadi seseorang yang bisa menggantikan posisi ayahku dalam keluarga."
Adara terhenyak mendengar cerita itu. "Saya tidak pernah tahu tentang ini… maaf, Pak, saya—"
"Tidak apa-apa," potong Arga sambil tersenyum tipis. "Itu bukan salahmu. Sejak kecil, aku terbiasa mengendalikan emosiku, menyembunyikan rasa sakit di balik sikap tegar. Aku belajar bahwa kelemahan hanya akan membawa penyesalan."
Mendengar itu, Adara merasa tersentuh. Ia bisa memahami sedikit tentang alasan mengapa Arga terlihat begitu keras selama ini. Tekanan dari ibu dan kehilangan yang dialaminya tentu telah membentuk dirinya menjadi seperti ini.
"Saya tidak pernah menyangka bahwa Bapak telah melalui begitu banyak hal," kata Adara lembut. "Pasti sulit tumbuh dengan harapan yang begitu tinggi."
Arga tersenyum kecut. "Kadang, orang tidak tahu betapa sulitnya menjadi diri yang diinginkan orang lain. Semua yang kulakukan, semua prestasi yang kuraih, semuanya untuk memenuhi harapan orang-orang di sekitarku. Tapi, di balik semua itu, aku kehilangan diriku sendiri."
Adara menatapnya dengan penuh simpati. "Saya pikir, kadang-kadang kita semua berada dalam situasi seperti itu, Pak. Selalu mencoba membahagiakan orang lain, hingga lupa siapa diri kita sebenarnya."
Arga mengangguk, tatapannya masih kosong menatap ke luar jendela. "Adara, aku tidak tahu mengapa aku menceritakan semua ini padamu. Tapi… entah kenapa, aku merasa nyaman. Kau mengingatkanku pada seseorang yang dulu pernah ada dalam hidupku."
Jantung Adara berdetak lebih cepat mendengar pengakuan itu. Ia menatap Arga, berharap ia akan melanjutkan, dan ternyata ia tidak kecewa.
"Namanya Sofia," lanjut Arga dengan suara lembut. "Dia cinta pertamaku, satu-satunya orang yang membuatku merasa benar-benar dimengerti. Tapi… kami terpisah. Keluargaku tidak pernah menyetujui hubungan kami, dan akhirnya, dia pergi tanpa pesan. Aku pikir aku telah mengubur perasaan itu dalam-dalam, tapi ada saat-saat di mana kenangan itu muncul kembali."
Adara mendengarkan dengan seksama, merasa semakin mengenal pria yang selama ini hanya dilihatnya dari luar. "Maaf, Pak… pasti sulit mengingat semua itu."
Arga tersenyum pahit. "Itu sudah lama berlalu. Mungkin karena itu aku selalu sulit membuka diri pada siapa pun. Sofia adalah orang terakhir yang benar-benar mengenal diriku. Setelah dia pergi, aku merasa seperti tembok ini semakin tebal."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Adara tidak tahu harus berkata apa, tapi ia merasakan kesedihan yang dalam dalam suara Arga. Pria ini telah banyak terluka, lebih dari yang bisa dibayangkan orang lain.
"Saya juga punya rahasia, Pak," Adara akhirnya berkata dengan suara pelan, berharap bisa sedikit meringankan suasana.
Arga menatapnya, tampak terkejut. "Rahasia?"
Adara tersenyum kecil. "Tidak besar, tapi cukup penting. Sebenarnya… saya juga tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kita cintai. Saya pernah mengalami hal serupa."
Arga mendengarkan dengan penuh perhatian saat Adara melanjutkan, "Saya kehilangan ayah saya saat masih di sekolah menengah. Dia meninggal karena sakit, dan sejak itu saya berjanji pada diri sendiri untuk selalu kuat. Saya tidak ingin ibu melihat saya menangis, jadi saya belajar menahan semuanya sendirian."
Arga mengangguk pelan, seolah mengerti perasaan yang disampaikan Adara. "Itu pasti sulit."
"Ya," jawab Adara dengan lirih. "Kadang-kadang, kita berusaha keras menjadi kuat hingga lupa bagaimana rasanya menjadi lemah."
Keduanya terdiam lagi, namun kali ini, keheningan itu tidak terasa canggung. Mereka saling memahami tanpa perlu banyak kata. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan yang menghubungkan mereka dalam momen itu – keintiman yang hanya bisa tercipta ketika dua orang saling berbagi rahasia terdalam mereka.
"Terima kasih telah mendengarkan, Adara," kata Arga akhirnya, suaranya kembali berat. "Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bisa berbicara sejujur ini."
"Sama-sama, Pak. Terima kasih juga sudah berbagi. Saya merasa… lebih dekat dengan Bapak."
Arga tersenyum samar. "Mungkin kita bisa lebih sering berbicara seperti ini. Mungkin… aku butuh teman bicara di kantor ini."
Adara mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Meski dia tahu hubungan mereka masih bersifat profesional, percakapan itu membuatnya merasa bahwa ia telah melihat sisi lain dari Arga – sisi yang selama ini tersembunyi di balik sikap dinginnya.
Ketika Adara meninggalkan ruangan, ia tahu bahwa ia tidak lagi hanya seorang sekretaris bagi Arga. Mereka telah berbagi rahasia, dan itu membuatnya merasa menjadi bagian penting dalam hidup pria itu. Adara berjalan keluar dengan hati yang tak menentu, namun satu hal yang ia tahu pasti – hatinya kini mulai terikat pada pria yang pernah ia anggap hanya seorang bos dingin.