Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Balik Lamunan
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Elara Grey menahan napas saat dia menyadari bosnya, Aiden Valen, sedang melamun di seberang meja makan yang sangat panjang. Dia sudah berusaha bersikap normal, mencicipi hidangan yang terlihat begitu menggugah selera, namun tidak bisa mengabaikan atmosfer aneh yang menyelimuti ruangan. Tatapan Aiden terpaku di suatu tempat, jauh dari momen ini, dan Elara merasa semakin gelisah.
“Elara, tenang,” bisiknya pada dirinya sendiri sambil mencoba mengatur napas. Ia mengambil sepotong daging, tetapi keheningan yang melingkupi meja itu sangat menekan. Elara mencoba memecah suasana dengan memanggil nama Aiden, "Tuan Valen?" panggilnya pelan. Tapi Aiden tetap diam. Elara merasa tidak ada pilihan lain, dia menjatuhkan sendoknya dengan harapan suara itu akan memecah konsentrasi Aiden.
Tapi, tetap tidak ada reaksi.
Elara mengernyitkan kening, merasa jengkel sekaligus khawatir. Meja makan ini terlalu panjang untuk sekadar menghampiri Aiden tanpa terlihat aneh. Lalu, tiba-tiba ide lain muncul di benaknya. Dia dengan sengaja menjatuhkan gelas minumnya. Gelas itu jatuh ke lantai dengan suara yang keras, pecahan kaca berserakan di lantai marmer.
Aiden tersentak. Dia terlihat kaget, seolah baru sadar kembali ke dunia nyata. Tatapannya langsung berubah menjadi kemarahan. "Elara, apa yang kau lakukan? Kau benar-benar ceroboh!" suaranya dingin, penuh dengan kekecewaan.
"Kau benar-benar tidak berguna!" lanjut Aiden.
Elara menahan napas. Perkataannya menusuk hatinya, lebih dalam dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Hatinya tercekat, tidak tahu harus bagaimana menanggapi. Ini bukan pertama kalinya dia membuat kesalahan, tetapi baru kali ini seseorang mengatakan dia tidak berguna secara langsung.
“Maaf..... Tuan Valen,” kata Elara dengan suara bergetar. Dia bangkit dari kursinya dan berlutut di lantai, berusaha memunguti pecahan gelas dengan tangan telanjangnya. “Saya, saya akan bereskan ini.”
"Jangan!" seru Aiden, suaranya mendadak tajam dan tegang. “Jangan sentuh itu!”
Namun, Elara sudah memungut salah satu pecahan sebelum bisa menghentikan dirinya. Rasa sakit mendadak menyengat di jarinya, dan darah mulai mengalir dari luka di tangannya. Seketika, Aiden terdiam. Wajahnya berubah, dan Elara yang sedang menangis sambil memunguti pecahan kaca tak menyadari perubahan besar yang sedang terjadi di seberang meja.
Aroma darah menguar di udara, mengisi seluruh ruangan dengan aroma manis yang hanya Aiden bisa rasakan sepenuhnya. Instingnya sebagai vampir langsung terpicu. Matanya berubah menjadi merah tua, pupilnya menyempit, dan di balik bibirnya yang tertutup rapat, taringnya mendesak untuk keluar.
Aiden mengencangkan rahangnya, menahan desakan haus yang tiba-tiba bangkit dari dalam dirinya. Sudah berabad-abad sejak terakhir kali dia merasakan keinginan ini keinginan yang dia kubur dalam-dalam dengan segala disiplin yang dimilikinya. Dia meminum darah sapi selama bertahun-tahun, tapi aroma darah Elara memicu sesuatu yang lebih primal, lebih mendasar. Sesuatu yang sulit dilawan.
Dengan cepat, dia memalingkan wajah, berusaha menahan keinginannya. “Kevin!” panggilnya, suaranya serak. Seketika, Kevin muncul di pintu, siap membantu.
"Ya, Tuan?" tanya Kevin, yang melihat kegentingan di mata Aiden.
"Bawa Elara ke ruang tamu dan obati lukanya," kata Aiden dengan nada dingin. "Aku akan ke ruanganku."
Kevin, yang tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar terjadi, tidak mengajukan pertanyaan. Dia membantu Elara berdiri, yang masih menangis dengan luka di jarinya. Sementara itu, Aiden pergi dengan cepat, hampir seperti kabur dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Di ruang tamu, Kevin dengan hati-hati membalut tangan Elara, yang masih terisak pelan. Rasa sakit di jarinya tidak seberapa dibandingkan rasa sakit yang menyesakkan hatinya. Elara merasa seperti gagal bukan hanya sebagai pekerja, tapi juga sebagai pribadi. Perkataan Aiden tadi berulang kali terngiang di kepalanya, membuatnya merasa tak berharga.
Kevin, yang jarang melihat Elara dalam kondisi seperti ini, merasa kasihan. “Elara,” ucapnya lembut. “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?”
Elara hanya menggelengkan kepala, terlalu terluka untuk menjawab. "Aku ingin pulang," ucapnya pelan, nadanya penuh dengan keputusasaan.
Kevin menatapnya prihatin. "Biar aku antar kau pulang," tawarnya, tahu betul bahwa malam sudah larut dan tidak aman bagi seorang wanita untuk pulang sendiri.
Namun, Elara menggeleng keras. “Tidak. Aku bisa sendiri. Aku sudah memesan taksi. Aku tidak apa-apa.”
“Elara, ini sudah larut. Setidaknya biar aku antar sampai taksinya tiba.”
Tapi Elara tetap bersikeras. Dia menolak tawaran Kevin dengan halus namun tegas. Dia merasa, setelah semua yang terjadi malam ini, dia perlu ruang untuk merenung sendirian. “Aku berani. Aku tidak pernah takut. Aku sudah memesan taksi, Kevin. Tolong, biarkan aku pergi sendiri.”
Kevin akhirnya menyerah. “Baiklah, tapi hati-hati,” katanya, meski hatinya masih dipenuhi kekhawatiran.
Elara menghela napas lega saat akhirnya dia bisa meninggalkan rumah besar itu. Namun, saat dia melangkah ke luar, sesuatu yang ganjil terjadi. Tiba-tiba, dia melihat sosok Aiden di depan pintu, berdiri di tengah kegelapan malam. Elara tertegun, matanya membelalak. Bagaimana bisa Aiden yang tadi ada di dalam rumah sekarang berada di luar? Rasanya tidak masuk akal.
Dia mengucek matanya, mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat nyata. Tapi sosok itu tetap di sana, Aiden dengan tatapan dinginnya yang dalam, seolah-olah sedang menatap langsung ke jiwanya.
"Apa... bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Elara pelan, suaranya sedikit bergetar.
Aiden melangkah maju, kali ini dengan gerakan yang lebih halus dan penuh perhitungan. "Elara," ucapnya. "Aku ingin meminta maaf atas sikapku tadi. Aku terlalu banyak pikiran, dan perkataanku kasar. Aku... tidak seharusnya berbicara seperti itu padamu."
Elara diam. Ada sesuatu yang aneh dengan Aiden malam ini. Tidak hanya tatapan dinginnya yang membuat bulu kuduk Elara berdiri, tetapi juga cara dia mendekat, seperti seorang pemangsa yang mendekati mangsanya.
"Sebenarnya, aku akan mengantarmu pulang," lanjut Aiden, suaranya sedikit lebih lembut, meski masih ada ketegangan yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Elara menelan ludah, merasa canggung dengan situasi yang tiba-tiba berubah misterius ini. “Aku sudah memesan taksi,” jawabnya, mencoba mempertahankan ketenangannya.
“Taksi bisa menunggu,” Aiden berkata sambil mendekat. "Aku bersikeras, ini tanggung jawabku."
Elara melihat sekeliling rumah besar itu, yang tadi terlihat megah dan indah, namun sekarang terasa mencekam dan dingin. Suasana malam ini seolah berubah, seperti rumah itu sendiri menyembunyikan sesuatu yang gelap. Dan tatapan Aiden, meskipun penuh penyesalan, memiliki sesuatu yang jauh lebih dalam sesuatu yang tidak bisa Elara pahami.
"Baiklah, kalau begitu," ucap Elara akhirnya, setuju dengan Aiden. "Terima kasih, Tuan Valen."
Malam itu, Aiden mengantar Elara pulang, tetapi sepanjang perjalanan, ketegangan tetap ada di udara, membangun misteri yang belum terpecahkan di antara mereka. Elara tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ada sesuatu yang lebih besar dari yang dia bayangkan. Di dalam mobil, ketika sesekali Elara menoleh ke arah Aiden, dia bisa melihat sorot mata yang dingin dan misterius sorot mata yang mengingatkannya pada predator yang sedang menunggu saat yang tepat untuk memangsa.