Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Bukti
Di sebuah restoran yang terkenal dengan hidangan mahalnya, nampak beberapa anak muda sedang menyantap makanan yang mereka pesan. Mereka terlihat sangat bahagia karena bisa menikmati hidangan mahal tersebut.
"Kalau mau nambah, kalian tinggal pesan saja. Tudak usah sungkan. Semua, aku yang bayar," ucap seorang pria muda dengan angkuh.
"Siap, Bos," jawab beberapa orang yang seumuran dengan pria muda tersebut. Mereka nampak bersemangat mendapat perintah seperti itu.
"Sayang, aku boleh pesan makanan ini lagi tidak? Buat Mommy aku. Tadi aku tidak sengaja ngasih tahu makan disini sama kamu, gimana?" pinta seorang wanita begitu manja pada pria muda tersebut yang menjadi kekasihnya.
"Tentu, Sayang, silahkan. Buat kamu, apa sih yang enggak, Sayang. Kalau perlu pesan yang lain juga. Tante pasti senang," balas pria muda tersebut dengan entengnya.
"Wahh! Makasih, Sayang. Kamu memang kekasih terbaik yang aku miliki," wanita itu tanpa ragu menempelkan bibirnya pada pipi sang pria di hadapan teman-temannya.
Pria itu tersenyum lalu dia berbisik. "Tapi nanti malam, aku boleh minta jatah kan? Yang semalam masih kurang, Sayang?"
Wanita itu pun tersenyum senang. "Siap, Sayang. Mau sampai pagi lagi?"
Pria muda itu mengangguk antusias.
"Beruntung kamu, Sya, dipilih oleh Dave menjadi kekasihnya," celetuk salah satu orang yang ada di meja tersebut.
"Bukan Tasya yang beruntung, tapi aku yang beruntung mendapatkanya," ucap pria muda yang akrab dipanggil Dave. "Karena hanya Tasya yang siap menerimaku apa adanya."
"Siap menerima apa adanya? Maksudnya?" tanya wanita teman Tasya yang juga ada di sana.
"Seandainya aku jatuh miskin, dia janji akan selalu bersamaku. Jadi ya aku percaya, kalau dia memang cewek yang paling tepat untukku," ucap Dave sambil menatap Tasya penuh cinta, membuat semua yang ada di sana merasa iri sekaligus ikut senang.
"Kamu jatuh miskin? kayanya nggak akan mungkin deh, Dave," ucap salah satu temannya.
"Iya, secara kamu, kan, ahli waris Paragon Grup. Siapa yang nggak tahu sih, kekayaan perusahaan ayahmu itu," sahut yang lainnya.
Senyum Dave terkembang dan semakin terlihat sombong. "Kalian tahu aja," pria itu pun memanggil salah satu karyawan.
"Bungkuskan makanan yang sama seperti ini," titah Dave sok berkuasa sembari menyodorkan sebuah kartu.
Pelayan itu pun mengerti dan segera menerima kartu tersebut. Sepertinya pelayan tersebut juga sudah paham, pengunjung yang bernama Dave itu siapa.
Hingga beberapa saat kemudian. "Maaf, Tuan. Ada kartu lain tidak? Kartu ini tidak bisa digunakan," ucap pelayan yang sama.
Dave nampak terperanjat. "Tidak bisa digunakan?"
"Iya, Tuan. Kami sudah mencoba beberapa kali, tapi sama sekali tidak berfungsi."
Dave pun kembali mengambil dompetnya. "Nih, yang ini pasti bisa."
"Baik, Tuan," sang pelayan langsung pergi.
Namun hal yang sama terjadi lagi hingga empat kartu yang dimiliki Dave dicoba, tapi hasilnya tetap sama.
Dave pun berusaha untuk tidak panik karena dia memang tidak terbiasa mengalami hal seperti ini. Dia pun pamit sejenak untuk menghubungi seseorang, menanyakan hal tersebut.
"Apa, Mom? Semua kartu diblokir?" seketika wajah Dave nampak begitu panik.
"Sementara itu di tempat lain.
"Mom! Mommy!" teriak seseorang mencari orang tuanya begitu dirinya masuk ke dalam rumah.
"Mommy di sini!" teriak seorang wanita dari salah satu ruangan. Orang itu pun segera melangkah menuju ruangan tersebut.
"Mom, Mommy kenapa bikin malu aku sih?" tiba-tiba orang itu melayangkan protes pada wanita yang sedang berbincang dengan pria lain di sana.
"Bikin malu? Bikin malu bagaimana?" tanya sang Mommy yang tak lain adalah Victoria.
Anak itu mengambil dompetnya dan menunjukan empat kartu kredit. "Kenapa semua kartu ini tidak bisa digunakan?"
"Apa! Tidak bisa digunakan? Kok bisa?" Victoria nampak kaget dan matanya langsung menatap pria yang tubuhnya hanya terlilit handuk.
"Iya, tadi aku tidak bisa menggunakannya. Kenapa, Mom? Aku kan jadi malu sama kekasihku. Aku tuh udah janji mau membelikan cincin berlian pada Rosa. Eh malah kartunya sama sekali nggak berfungsi."
Victoria langsung menatap Bram. "Bram, bagaimana ini? Apa jangan-jangan Castilo sudah sudah bertindak?"
Pria yang tubuhnya terlilit handuk hanya diam tanpa bereaksi. Namun otak pria itu berpikir keras dan nampak begitu kesal pada sorot matanya.
#####
Di tempat lain, kala Erik memasuki ruang yang cukup luas, matanya terpaku dengan apa yang dia lihat saat ini.
"Sekarang anda percaya bukan, kalau anda adalah putra Tuan Castilo?" ucap Alex yang sedari tadi setia menemani Erik.
Erik menatap Alex sejenak, lalu kembali menatap sebuah foto berukuran besar yang terpasang di dinding ruang tersebut. Keraguan Erik semakin memudar kala menyaksikan foto dirinya yang masih bayi bersama Ibu dan Tuan Castilo.
"Kapan foto itu di ambil? Perasaan aku tidak pernah melihatnya?" tanya Erik. Dari dulu dia memang tidak pernah sekalipun melihat foto ayahnya.
"Foto itu diambil saat kamu berusia dua tahun," bukan Alex yang menjawab, tapi sepemilik rumah. Nampak, Castilo menuruni anak tangga sembari menatap kedua pria yang ada dalam ruangan tersebut.
"Satu-satunya foto yang Ayah bawa saat pergi meninggalkan kalian," ucap Castilo dengan perasaan yang cukup bergemuruh.
"Sebenarnya, foto kebersamaan kita sangat banyak, tapi semua terbakar tanpa meninggalkan sisa satupun."
Erik menatap Castilo dengan tatapan penuh tanya dan bimbang. Sementara Alex memilih pergi, agar kedua pria itu bisa berbicara dari hati ke hati.
"Apa kamu ingin marah sama Ayah?" Castilo membalas tatapan anaknya.
Erik berpaling, kembali menatap foto keluarga yang nampak bahagia. "Saya tidak tahu. Saya masih bingung saja dengan semua ini."
Castilo tersenyum lalu dia melangkah menuju sofa dan duduk di sana.
"Ibu mana?" Erik langsung mengedarkan pandangannya begitu teringat akan sosok ibunya yang tidak kelihatan.
"Ibu sedang istirahat. Dia lelah karena sedari tadi, dia marah-marah. Dari dulu, ibumu masih galak saja, Rik,"jawab Castilo lalu dia terkekeh untuk beberapa saat.
Tak lama setelahnya saat suara tawanya mereda, Castilo kembali menatap foto kebersamaan mereka.
"Maafkan Ayah, tentang kejadian tadi pagi."
"Kejadian tadi pagi?" Erik malah nampak bingung hingga dia kembali memikirkannya. "Oh, soal saya di kantor Tuan?"
"Aku ayahmu, Erik, jangan panggil aku Tuan," Castilo langsung tidak terima.
Erik tersenyum canggung. "Maaf, saya hanya..."
"Tidak apa-apa, Ayah mengerti," ucap Castilo memotong ucapan anaknya. "Jangan sampai Ibumu tahu, kalau aku tadi menampar dan menendangmu. Kalau tahu, bisa-bisa Ayah ...
"Bisa apa!" bukan Erik yang bersuara, tapi wanita yang telah melahirkan anak itu memotong ucapan Castilo dengan lantang.
Seketika wajah Castilo kembali memucat begitu mendengar suara Namira menggelegar. Erik juga sama kagetnya dan matanya melihat sosok Ibu yang kembali murka.