Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 Banyak Tahu Tentangnya
Biasanya Rania selalu bangun saat adzan subuh, sudah menjadi kebiasaan jadi sangat rajin. Ia menemani mbok Nina di dapur yang sedang memasukan bahan-bahan makanan yang dibelinya di pasar lemari khusus. Rania sudah menawarkan membantu, tapi langsung ditolak.
"Mbok sudah lama kerja di sini?" tanya Rania.
"Sudah lama, bahkan dari saat Tuan Candra masih kecil. Mbok yang jagain dia juga."
"Wah lama juga, berarti kalau gitu saat orang tua Mas Candra juga ada ya?"
"Iya, mereka meninggal empat tahun yang lalu karena kecelakaan pesawat saat pulang ke Indonesia."
"Ya ampun, kasihan," gumam Rania pelan.
"Betul, bibi juga merasa sedih mendengar kabar itu. Tapi yang namanya takdir, semua sudah direncanakan Tuhan."
"Iya mbok benar."
"Tapi untungnya Tuan Candra sudah dewasa, dia juga sudah menikah dengan Nyonya Livia. Tuan Candra juga terlihat sudah siap dan matang untuk melanjutkan bisnis keluarganya."
Rania mengangguk pelan dan berpikir jika Candra memang orang yang hebat. Pantas saja di usia yang masih terbilang muda, tapi sudah memiliki banyak bisnis. Ternyata warisan dari kedua orang tuanya.
"Oh iya bi, memangnya Mas Candra gak punya saudara?"
"Tidak, anak tunggal satu-satunya."
"Pantesan, jadi harapan ya?"
"Betul."
Rania yakin, beban yang ditanggung Candra pasti berat sekali. Ia memang mengagumi pria itu yang pekerja keras, ya walau dulu dirinya sempat diperkosa. Tetapi kan waktu itu pun Candra mabok, jadi setengah sadar. Jangan salah paham, bukan berarti Rania mentolerir.
"Gimana reaksi bibi pas denger Mas Candra menikah lagi?"
Bi Nina tersenyum kecut, "Sebenarnya bibi kecewa dan sedih, tapi setelah mendengar dia ingin tanggung jawab dari ulahnya, bibi mengerti."
"Bibi di sini hanya pekerja, tidak bisa ikut campur pada masalah atasan. Yang pasti bibi hanya berharap, semoga kalian selalu bahagia dan dijauhkan dari masalah."
Sekarang Rania jadi penasaran dengan yang dirasakan Livia mengenai ini, apakah harus Rania tanyakan nanti? Hanya saja Rania sedikit gugup, selain itu merasa segan dan malu. Apalagi sikap perempuan itu selalu dingin dengan menatapnya tidak suka.
"Aku juga gak pernah terbayangkan akan jadi seperti ini. Aku sempat takut dengan Mas Candra, sampai mengurung di rumah. Tapi saat tahu aku hamil, rasanya hidup aku benar-benar hancur. Aku merasa gak punya lagi semangat melanjutkan hidup."
"Ya Tuhan," lirih bi Nina sambil menatapnya kasihan.
"Semua orang merendahkan aku, mengatakan kalau aku wanita murahan. Tapi ternyata Mas Candra mau bertanggung jawab. Awalnya aku tidak mau, tapi melihat dia yang bersungguh-sungguh begitu membuat aku luluh juga."
"Maaf bibi memotong, bibi dengar Nona tidak tahu ya kalau sebelumnya Tuan sudah menikah?"
Rania mengangguk, "Iya aku tidak tahu, semua orang pun tidak tahu. Aku baru tahu saat datang kesini dan bertemu Livia, saat itu aku merasa aneh, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tapi tentu aku marah dan kecewa pada Mas Candra karena dia sudah bohong."
Tetapi sekarang Rania sudah mencoba untuk menerima jalan hidupnya ini, Ia harus bersabar demi masa depannya dan anaknya. Apakah Rania bodoh karena memilih bertahan? Tapi dirinya pun merasa tidak mampu untuk pergi, apalagi pernikahannya dengan Candra masih sangatlah muda.
"Aku belum sempat bicara dengan mbak Livia. Menurut bibi, istri pertama Mas Candra itu bagaimana orangnya?"
"Kalau boleh jujur, bibi tidak pernah bicara sesantai ini seperti dengan Nona Rania pada Nyonya Livia. Nyonya orangnya sangat serius, dia juga tidak suka menunjukan ekspresi lebih di wajahnya. Jadi bibi selalu segan dan selalu berusaha menuruti setiap perintahnya saja."
Ternyata begitu ya Livia itu, membuat Rania semakin gugup untuk bicara dengannya. Tetapi Rania pikir Ia memang harus bicara dengan Livia, sangat penasaran dengan kedatangan dirinya di keluarga ini.
"Rania, kamu sudah bangun?"
Kedatangan Candra membuat obrolan mereka terhenti. Pria itu terlihat sudah rapih dengan setelan jasnya, juga menenteng tas kerjanya. Saat berpakaian formal begitu, auranya terkesan kuat sekali. Begitupun ketampanannya yang semakin keluar.
"Nona Rania sudah bangun dari subuh juga Tuan, dia nemenin bibi di dapur," ucap bi Nina.
"Dia kerja?" tanya Candra.
"Tidak, hanya temenin bibi ngobrol. Nona sempat menawarkan untuk bantu-bantu, tapi bibi larang karena Tuan yang memberitahu bibi."
Candra mengangguk, "Tidak papa kalau mengobrol, asal jangan sampai dia kerja ya bi."
"Tenang saja Tuan."
Rania yang duduk di tempatnya sedikit merona karena merasa sikap Candra itu terlalu berlebihan tidak mau dirinya kelelahan. Padahal kalaupun bantu beres-beres, Rania tetap kuat dan bisa kok. Tahu sih pria itu hanya jaga-jaga, khawatir Ia kelelahan dan bayinya pun jadi terganggu.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Candra baru duduk di depannya.
"Belum, nungguin Mas."
"Ya sudah, ayo sarapan bareng."
Berbeda sekali dengan makan pagi yang biasa Rania makan, tapi Ia mulai terbiasa sarapan dengan hanya makanan ringan saja seperti roti dan lainnya, bukan makanan berat. Rania harus membiasakan diri, karena lingkungannya pun sudah berbeda.
"Tadi kamu ngobrol apa aja sama mbok Nina?" tanya Candra penasaran.
"Awalnya aku tanya mbok Nina sudah kerja berapa lama di sini, ternyata dari pas Mas muda ya?"
"Iya, dia yang jagain aku main. Terus apalagi?"
"Cukup banyak sih, tentang kedua orang tua Mas. Terus kamu yang anak tunggal sampai harus menjadi pewaris selanjutnya dari bisnis keluarga."
"Iya, aku yang ambil alih bisnis Papa dan Mama. Awalnya aku cukup kesulitan karena tidak terlalu mengerti bahkan sempat hampir bangkrut."
"Ya ampun."
"Tapi aku mencoba belajar lagi, memperbanyak pengalaman dan ilmu lagi. Sampai akhirnya aku bisa bangkit dan mengembangkan lagi bisnis ini. Syukurlah sekarang sudah stabil, bahkan lebih baik."
"Kamu memang hebat."
"Karena ini peninggalan orang tua ku, jadi kalau sampai bangkrut rasanya aku pun akan sedih dan merasa sudah mengecewakan mereka. Apalagi aku anak satu-satunya, pasti menjadi harapan banyak."
"Tapi Mas sudah bekerja keras dengan baik, tidak mudah untuk menjadi seorang pebisinis seperti ini."
"Iya."
Selanjutnya obrolan lain pun mengalir, terlihat keduanya sudah lebih akrab. Rania pun sudah tidak terlalu murung lagi, membuat Candra lega karena itu berarti Rania sudah bisa menerima statusnya. Ya walaupun Candra tidak yakin, apakah dirinya sudah dimaafkan atau belum.
"Aku berangkat kerja dulu ya," pamit Candra.
Rania menyalami tangan kanan pria itu, "Iya Mas, Hati-hati."
"Kamu juga, istirahat aja di rumah. Aku gak tahu apa bisa pulang tepat waktu atau enggak."
"Gak papa, asalkan Mas jangan terlalu kecapean. Jangan lupakan makan juga."
Mendapat perhatian yang baru pertama kali dirasakannya itu, membuat Canda merasa senang dan merasa dihargai saja sebagai seorang suami. Rania ini memang tidak suka memendam perasaan, lebih suka mengungkapkan ekspresinya. Berbeda sekali dengan Livia.