Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Awal Perjalanan Satrio V3
Satrio melirik jam tangannya, jarum terus berputar sementara ia tak bisa menyembunyikan rasa tidak sabar. Ransel besar yang ia siapkan penuh dengan perlengkapan tersandang di bahunya. Pikirannya dipenuhi antisipasi, memikirkan perjalanan yang segera ia mulai.
Akhirnya, suara deru motor mendekat. Seorang pengendara ojek online berhenti di hadapannya, tersenyum ramah dan langsung menyapa. "Mas Satrio ya?"
Satrio mengangguk dan membalas sapaan itu dengan semangat. Ia segera naik ke motor sambil menyesuaikan posisinya agar ransel besar tidak mengganggu.
Perjalanan menuju Gunung Niuts pun dimulai, meski hanya dengan transportasi umum, bagi Satrio ini adalah langkah pertama menuju petualangan yang penuh misteri. Pandangannya melayang ke luar, memperhatikan hiruk pikuk kota yang mulai ia tinggalkan, sementara benaknya tak berhenti membayangkan apa yang akan ia temukan di sana nanti.
Sesaat kemudian ia pun tiba di bandara internasional dengan langkah mantap. Matanya langsung tertuju pada papan jadwal keberangkatan yang terpasang di area kedatangan. Deretan destinasi muncul di layar digital, namun yang paling menarik perhatiannya adalah jadwal pesawat menuju Pontianak.
Ia berdiri sejenak, memastikan waktu keberangkatannya sesuai rencana. Pikirannya sibuk menimbang-nimbang langkah-langkah yang akan ia tempuh setibanya di sana. Dengan ransel besar di punggung dan koper di tangan, Satrio berjalan menuju check-in counter sambil memikirkan petualangan yang semakin dekat.
Sembari mengantre, ia merasakan denyut antisipasi dalam dirinya semakin kencang. Segala persiapan yang ia lakukan selama ini, dari penelitian hingga mempelajari jalur, akan segera diuji. Pandangannya kembali ke layar besar yang menunjukkan angka-angka waktu, meyakinkan diri bahwa ia tak melupakan apapun. Tepat di saat itu, pengumuman panggilan untuk penumpang tujuan Pontianak bergema di seluruh bandara.
Satrio yang sedang menunggu di ruang keberangkatan menerima panggilan dari Rio. Ia tersenyum kecil melihat nama temannya muncul di layar ponselnya, lalu segera menjawab.
"Halo, Ri. Ada apa?" Satrio menyapa dengan tenang.
Rio di seberang langsung to the point. "Kamu ambil rute yang mana, Tri? Aku cuma mau make sure kamu sampai dengan aman."
Satrio melirik tiket elektronik di ponselnya sebelum menjawab, "Aku ambil rute penerbangan yang lebih hemat waktu. Dari sini langsung ke Pontianak."
Rio terdengar berpikir sejenak sebelum menanggapi, "Berarti, harus dua kali pindah transportasi. Dari bandara ke kota Pontianak, terus lanjut naik mini bus ke Dusun Dawar, kan?"
Satrio mengangguk, walau Rio tentu tak bisa melihat. "Iya, aku tahu. Aku udah cek jadwal bus dari Pontianak ke dusun juga."
"Ya udah, yang penting hati-hati. Aku saranin begitu sampai di Dusun Dawar, langsung kabarin lagi? Ya?" pesan Rio dengan nada khawatir.
Satrio mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. "Pasti. Tenang aja. Aku bakal update terus, kok."
Setelah percakapan selesai, Satrio menghela napas, mengingat kembali semua rencana yang telah ia susun. Perjalanan ini bukan sekadar petualangan, tapi pencarian yang bisa membawa banyak jawaban. Dan semuanya dimulai dari langkah kecil di bandara ini.
***
Setelah dua jam di udara, Satrio akhirnya tiba di Bandara Supadio, Pontianak. Ia melepas sabuk pengaman dan berdiri, meraih ranselnya dari kompartemen di atas kepala. Langkahnya mantap saat keluar dari pesawat, diiringi hiruk-pikuk bandara yang ramai.
Di luar, Satrio mengenakan kacamata hitamnya untuk meredam teriknya cahaya siang. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 13:23. Masih cukup waktu, pikirnya. Matanya menelusuri area bandara, memandang ke arah pintu keluar.
Dengan tekad kuat, ia menatap jauh ke depan. "Kalau nggak ada halangan, harusnya sore ini aku sampai di Dusun Dawar," gumamnya pada diri sendiri. Dia tahu betul bahwa semakin cepat ia tiba, semakin cepat juga proses pengajuan izin observasi bisa dimulai.
Dia melangkah menuju pintu keluar bandara, mencari angkutan yang akan membawanya ke kota. Semua sudah diatur dalam rencananya. Kini hanya tinggal memastikan semua berjalan lancar agar petualangannya menuju Gunung Niuts segera dimulai.
****
Suara ban mobil bergesekan dengan kerikil, berhenti pada sebuah halte kecil di pinggir jalan, mengawali langkah Satrio keluar dari dalam angkutan umum. Udara terasa lebih sejuk dan segar di luar, walau situasi sekitar masih nampak gersang di bawah trik matahari.
Ia menatap sekeliling halte yang dipenuhi oleh berbagai aktivitas. Beberapa kelompok pendaki tampak menunggu bus yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing, sementara warga lokal tampak sibuk dengan kegiatan sehari-hari--berjual beli, bercakap-cakap, dan berlalu-lalang dengan wajah penuh ekspresi. Hiruk-pikuk kota Pontianak memberikan kesan hidup, meski terasa kontras dengan perjalanan sunyi yang akan segera ia tempuh di Gunung Niuts.
Tiba-tiba, teriakan seorang kernet mini bus menarik perhatian Satrio. "Dusun Dawar! Dusun Dawar!" Suaranya lantang, mengumumkan tujuan mini bus yang hendak berangkat.
Satrio bergerak cepat, memastikan ia tak ketinggalan bus. Dengan langkah mantap, ia menaiki bus yang tampak mulai penuh oleh penumpang lain. Di dalam, suasana begitu padat dan hangat--para penumpang tampak membawa berbagai barang, mulai dari peralatan pendakian hingga kebutuhan sehari-hari. Satrio mencari tempat duduk yang tersisa dan akhirnya menemukan kursi di dekat jendela.
Sambil menempatkan ranselnya dengan hati-hati di bawah kursi, Satrio merasa tubuhnya sedikit rileks, meski pikirannya masih terus berputar tentang perjalanan yang akan ia lalui. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya mengangguk ramah, sambil membawa karung kecil yang tampak berat. Satrio membalas senyum singkat sebelum menatap kembali keluar jendela.
Mini bus mulai bergerak, perlahan meninggalkan hiruk-pikuk kota dan membawa Satrio semakin dekat ke tempat tujuan.
Satrio duduk di pojok kursi dekat jendela, memperhatikan pemandangan yang mulai berubah dari kota menuju pedesaan. Perlahan, jalanan yang ramai oleh kendaraan mulai tergantikan oleh pemandangan hutan-hutan hijau di kejauhan. Udara di dalam bus terasa pengap, namun suasana riuh penumpang memberikan sedikit rasa nyaman bagi Satrio yang tengah menyiapkan mental untuk perjalanan panjangnya.
Tak lama kemudian, sekelompok pendaki yang duduk di kursi seberang tampak memperhatikan Satrio. Seorang di antara mereka, seorang pria berambut gondrong dengan tas carrier besar, melirik pakaian Satrio yang khas pendaki--jaket outdoor, celana kargo, dan sepatu gunung yang sudah terlihat usang.
“Mas, pendakian juga?” tanya pria itu sambil tersenyum, menurunkan sedikit kaca mata jadulnya lalu menyipit, seolah menebak tujuan Satrio.
Satrio, yang sedang melamun, menoleh dan membalas dengan anggukan. "Iya," singkatnya dengan lembut.
Mendengar itu, Pria tersebut nampak berbisik pada teman disampingnya yang membuat ia melongok ke arah Satrio, "Gunung mana, Mas?" serunya.
"Gunung Niuts, Mas," jawab Satrio dengan tenang, sembari memandang pria itu dan teman-temannya yang duduk di sekitarnya.
Mendengar jawaban Satrio, ekspresi mereka berubah seketika. Keempat pendaki itu saling berpandangan, wajah mereka tampak terkejut. Salah satu dari mereka, seorang perempuan berambut pendek, langsung bertanya dengan nada heran, “Gunung Niuts? Mas serius mau ke sana?”
Satrio mengangguk lagi, kali ini sedikit tersenyum. “Iya, saya akan ke sana, Mba.”
Wanita dengan pakaian pendaki itu, sedikit tertegun, lalu matanya menyisir di sekitar Satrio. "Temannya, Mas?" tambahnya.
Satrio menoleh kembali ke wanita itu. "Saya hanya seorang diri, Mba."
Keheningan sejenak menyelimuti kelompok pendaki itu sebelum akhirnya pria berambut gondrong tadi berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih serius. “Mas, Gunung Niuts itu bukan gunung biasa. Di sana hutannya masih liar, banyak hewan buas, dan rawa-rawa yang berbahaya. Cuacanya juga nggak bisa diprediksi. Banyak pendaki yang hilang di sana, loh!"
Perempuan berambut pendek menambahkan, “Mas, yakin mau ke sana sendirian? Bahaya banget, lho. Kami saja, kalau ke gunung itu, pasti bareng-bareng!”
Satrio mendengarkan dengan tenang, meski di dalam hatinya ia sudah tahu risiko yang akan dihadapinya. Namun, ia tetap tenang. “Iya, Mas. Mba. Saya tahu resikonya. Saya dan tim sudah memperhitungkan hal itu jauh-jauh hari.” Satrio tersenyum tipis, mencoba meyakinkan mereka. “Terima kasih sudah mengingatkan, tapi saya punya tujuan lain ke sana.”
Salah satu pendaki lainnya, yang sejak tadi hanya diam, kini ikut bicara. “Kalau begitu, hati-hati, Mas. Gunung Niuts memang cantik, tapi juga ganas. Jangan sampai lengah, apa lagi asal bicara.”
Satrio mengangguk, merasa dihargai oleh perhatian mereka. “Iya, saya akan berhati-hati. Terima kasih atas sarannya.”
Percakapan itu pun perlahan terhenti, meski masih terasa ketegangan di antara mereka. Para pendaki itu tampaknya paham betul tentang reputasi Gunung Niuts, dan meskipun mereka tak bisa menghentikan niat Satrio, mereka ingin setidaknya memastikan ia paham akan risikonya.
Satrio kembali menatap keluar jendela, membiarkan pandangannya tersapu oleh pepohonan dan jalan yang semakin sepi. Tekadnya sudah bulat, dan walaupun ia tahu apa yang akan dihadapinya jauh dari kata mudah, Satrio merasa ini adalah panggilan yang tak bisa diabaikan.
lanjut nanti yah