~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan
Malam kian larut, waktu menunjukan hampir tengah malam, suasana pesta kian sunyi sepi. Hampir semua tamu undangan yang datang sudah kembali pulang, begitu juga dengan Fajar dan Jingga. Keduanya kini beranjak pulang.
Fajar duduk bersila, dan bersendekap menatap jalanan dengan tatapan yang dingin. Tak ada guratan senyum dan keramahan yang tercipta di sana. Ia membisu dan begitu beku.
Tak ada obrolan yang berarti, sepanjang perjalanan pulang. Keduanya hening membisu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jingga lebih memilih menikmati cahaya malam nan indah di tengah panjangnya jalanan. Lampu-lampu yang menyala, sorotnya menenangkan jiwa hingga membuat ia terlena dengan keadaan yang ada. Sesekali ia tersenyum kagum.
Beberapa detik kemudian, Fajar menggeser duduknya perlahan mendekati Jingga, yang sontak membuat Jingga was-was.
“Siapa yang mengizinkanmu untuk berbicara dengan pria lain selain diriku di sana”. Tanyanya tepat berada di sebelah telinga Jingga, yang membuat tubuh Jingga seketika membeku. Ini pertama kali ia berada dalam jarak paling dekat dengan seorang pria.
Jingga diam saja, ia tak berani menjawab, ia lebih memilih untuk menggeser duduknya sedikit menjauh dari Fajar.
Karena yang di katakan Fajar memang benar adanya, jika ia salah telah berbicara dengan pria lain tanpa meminta izin terlebih dahulu, seharusnya Jingga menyadari jika sekarang ia adalah seorang istri.
Fajar semakin mencondongkan wajahnya ke arah Jingga, hingga jarak di antara keduanya kian semakin mendekat. Bahkan helaan nafas mereka saling terdengar satu sama lain. Dalam beberapa detik mata mereka saling bertemu memberikan tatapan yang entahlah, hanyalah mereka yang dapat mengartikan dari sudut pandang masing-masing.
“Sudah ku katakan bukan, saat menjadi istriku itu ada aturannya, jangan sesuka hatimu. Jaga sikapmu di luar sana”. Ucap Fajar dengan dingin tepat di depan wajah Jingga, dengan mata yang masih saling menatap.
“Jangan sampai besok, ada berita istri Fajar Dirgantara, tertangkap selingkuh dengan peria asing, cih itu sangat memalukan!”. Tukas Fajar kembali.
Jingga hanya menggelengkan kepalanya saja, membantah tuduhan yang di berikan Fajar. Wajahnya begitu pias, ia sangat ketakutan dengan sikap Fajar, meskipun ia tidak melakukan kekerasan namun kata-kata penindasan dan ketidak terima Fajar membuatnya merinding.
Menyadari perubahan wajah istrinya membuat Fajar, menjauhkan diri menggeser tubuhnya. Ia kembali bersikap dan menyilangkan kakinya menatap jalanan yang kian sepi.
Dua puluh menit sudah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, keheningan masih mendominasi di antara mereka. Sopir yang bertugas mengantarkan mereka juga diam membisu, enggan untuk berucap selain menjawab pertanyaan ketika mendapat arahan dari Fajar.
Malam itu di tengah keheningan jalanan, hujan datang dengan tiba-tiba, mengguyur deras membasahi mulusnya jalanan dan rumput-rumput taman kota. Guntur mulai bersahuatan di balik jendela kaca mobil. Kilat semakin menyala-nyala di tengah gelapnya malam. Hari sudah semakin larut, menyadari keadaan yang ada, sopir mulai mengurangi laju kendaraanya.
Jingga meraih tasnya, membuka layar ponsel, waktu menunjukan pukul dua belas malam. Itu berarti hari memang kian larut. Ia menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya di jok mobil, berharap lekas sampai di rumah. Dan ia akan kembali menjalani peran menjadi upik abu. Drama Cinderella akan lekas berakhir. Gaun dan perhiasan nan indah akan kembali lagi menjadi pakaian lusuh yang biasa ia gunakan.
Kini ia kembali menatap jendela yang ada di sisinya, ia mendekat dan menempelkan wajahnya di sana . Tanpa ia sadari Jingga, kembali menghela nafas yang panjang dan dalam. Keningnya pun berkerut melihat betapa besarnya buliran air yang jatuh membasahi jalanan.
Jedar!!!
Suara kilat menyambar dengan begitu dahsyatnya.
“Ya Allah!, Jingga terlonjak dari tempat duduknya, reflek ia berbalik arah dang mendekat ke arah Fajar.
Mata Fajar kembali mantap datar, Jingga meringis pelan mendapati tatapan Fajar yang menghunus tajam. Pelan-pelan Jingga kembali menjauhkan diri dari tubuh Fajar, Tatapan mata Fajar, benar-benar membuatnya tak berdaya. Tanpa sebuah katapun, sorot mata Fajar sudah berbicara untuk memperingatkan Jingga, agar tak semakin mendekat pada tubuhnya.
Jedar!!!.
Suara gemuruh kilat kembali menyambar, menyapa penduduk bumi dan isinya.
Jingga, mau tak mau kembali mendekat di sisi Fajar, kini tubuh Jingga mengkerut dalam pangkuan Fajar.
“Takut”, desis Jingga pelan, kala mendongak menatap dua bola mata Fajar yang begitu tajam.
Fajar hanya menghela nafas panjang, sorot matanya kembali berbicara untuk menjauhkan tubuh Jingga dari pangkuannya.
“Maaf”. ucap Jingga kembali dengan lirih, hanya saja Fajar tak bergeming, pandangannya tetap dingin dan membeku.
Jingga kembali ke tempat duduknya dengan gelisah, meremas gaun pesta yang ia gunakan, sesekali ia melirik ke arah suaminya. Jantungnya berdetak sangat kencang. Wajah dingin Fajar kerap kali membuatnya tersadar akan posisinya saat ini.
Suasana malam itu kian mencekam, hujan menari-nari di tengah malam dengan begitu lebatnya, hingga membuat jarak pandangan mata semakin pendek. Sopir memilih untuk semakin melambatkan laju jalannya demi untuk keselamatan bersama.
Jedar!!!
Gemuruh itu kembali memecah cakrawala dengan begitu dahsyatnya.
Tubuh Jingga terlonjak, reflek ia bangkit dari tempat duduknya. Tangannya memeluk erat tubuh Fajar. Bau harum maskulin tercium sempurna di sana. Jingga benar-benar ketakutan dengan keadaan yang ada. Ia memiliki trauma tersendiri dengan hujan dan petir.
“Tolong saya Tuan, saya takut sekali”. Desisnya dengan suara yang serak seakan sedang menahan tangis.
Jedar!!!
Jingga semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Fajar, ia memeluk dengan sangat posesif. Hingga membuat Fajar dapat merasakan harum tubuhnya.
“Maafkan saya Tuan, Tuan Fajar boleh hukum saya setelah ini”. Jingga kembali merintih ketakutan.
Detak jantung Jingga berpacu sangat kencang, hingga membuat Fajar dapat merasakannya, ia benar-benar menangis sampai kemeja yang Fajar, gunakan basah oleh air matanya. Namun Fajar enggan untuk membalas pelukan Jingga, ia lebih memilih untuk diam saja, tapi tak menampik tubuh Jingga dari pangkuannya.
Tiga puluh menit kemudian mobil sudah mulai memasuki halaman rumah utama, dengan sigap penjaga lekas membukakan gerbang untuk majikan mereka. Beberapa pelayan sudah bersiap di depan pintu utama menyambut mereka dengan membawakan payung yang berukuran sangat besar.
“Turun”. ucap Fajar dengan dingin, kala mendapati Jingga yang masih ada dalam pelukannya.
Diam tak ada jawaban yang di berikan.
“Turun”, perintah Fajar kembali, namun lagi-lagi Jingga tak memberikan respon.
Kini tangannya terulur menyentuh tubuh Jingga, dan membelikannya.
“Astaga tidur!”, geram Fajar, kala melihat kelakuan istrinya.
“Permisi Tuan, apakah perlu bantuan?”, tawar beberapa pelayan yang sudah menunggu di samping mobil dengan membawa payung.
“Tidak!”, tukasnya dengan dingin dan melirik mereka, sontak membuat nyali pelayan menciut seketika.
Fajar dengan sigap mengangkat tubuh Jingga, keluar dari mobil dan membawanya masuk ke dalam rumah, pelayan dengan begitu setia memayungi mereka berdua.
“Sialan, bisa-bisanya di tertidur dengan pulasnya dalam keadaan seperti ini!”. Maki Fajar dalam hati, kala mengangkat tubuh Jingga menuju kamarnya.
.
.
.
.
.
Jangan lupa like, komen dan jadikan favorit subscribe teman-teman.