Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mahluk Serupa Kadal Serupa Manusia
Dihyan terkejut, kemudian terbangun.
Wajah cantik sekaligus mengesalkan kakaknya, Centhini, tepat berada di depannya saat ia membuat kedua matanya.
“Enak banget tidurnya. Baru nyampe Pontianak, bukannya lihat-lihat, malah molor.”
Memerlukan waktu beberapa saat untuk Dihyan menyesapi dan meresapi keadaan. Memorinya mengambang, berjalan pelan, seperti sebuah perahu kertas di atas permukaan air danau yang hampir tak beriak.
“Kita di hotel, Mbak?” itu kata-kata yang keluar dari mulut Dihyan.
“Nggak, kita di panti asuhan. Ya, iya lah, di hotel. Memangnya dimana lagi? Kamu ngelindur, ya?” respon Centhini.
“Mbak, bukannya tadi kita, ehm … keluar ya? Ke rumah betang?”
“Rumah betang? Rumah betang opo? Wong sampai hotel kamu langsung molor gitu, kok.”
Tunggu. Aku mimpi? Seru Dihyan di dalam hati. Ia tidak bisa menerimanya. Tapi semua penggambarannya begitu jelas.
Dihyan dengan cepat meraih gawainya, menekan maps, kemudian melihat landmark kota Pontianak yang ada di sekitar hotelnya.
“Nah, nah. Ini Mbak. Kamu yang ajak aku kesana tadi. Rumah betang. Persis seperti jalur kita jalan kaki tadi. Ada museum, rumah dinas gubernur, belok ke kiri, rumah betang di samping perpustakaan daerah,” seru Dihyan sambil menunjukkan peta di gawainya.
Centhini menyipitkan kedua matanya yang sudah sipit itu untuk melihat apa yang ditunjukkan oleh Dihyan. “Kamu sudah melihat itu sebelum kita ke Pontianak mungkin. Jadinya ya pas mimpi, itu kebawa. Udah yuk. Udah jam segini, mau ajak Bapak Ibu makan.”
Centhini mengacaukan rambut Dihyan, kemudian beranjak keluar dari kamarnya.
Dihyan masih tak mau terima begitu saja. Namun, ia menghela nafas panjang, begitu panjang, sampai-sampai ia sendiri sakit merasakannya.
Sialan! Kenapa semua ini cuma mimpi? Mengapa ia harus disadarkan bahwa ia sungguh adalah seorang pecundang sejati.
Itu sebabnya mengapa ia sendiri tak bisa melogikakan mengapa ia bisa sepercaya diri itu, dan mengapa ada perempuan yang bisa tertarik kepadanya. Veronica Bungas mungkin hanya salah paham karena berpikir bahwa ia adalah seorang turis, tetapi Stefani Indri? Di kehidupan nyata, kejadian ini tidak akan mungkin terjadi. Bisa karena dirinya yang clumsy, atau memang tidak ada yang tertarik kepadanya.
Itu yang paling masuk akal, yaitu, ia memang sedang bermimpi. Kalau tidak, mana mungkin di kehidupan nyata ia bisa seberuntung itu dan bertindak sehebat itu. Masuk akal pula bila alam bawah sadarnya yang telah merekam informasi mengenai peta kota beserta landmarknya itu kemudian muncul di dalam mimpi.
Dihyan begitu kesal. Ia sudah merasa bahwa hidupnya sudah menjadi sedikit lebih baik. Nyatanya, semua hanya mimpi. Seakan-akan ia tak pantas untuk mendapatkan kisah seperti itu.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh rasa frustasi.
Dihyan memandang gawainya lumayan lama, terpaku di layar yang perlahan redup secara otomatis itu.
Tak lama, secara otomatis juga, jarinya menyentuh layar, menggeser-geser, menekan-nekannya sampai ia mendapatkan apa yang ia mau.
Nama itu ada disana: Stefani Indri!
Dihyan tersentak! Jantungnya serasa ingin meloncat keluar dari kerongkongannya.
“Aku tidak mimpi! Aku yakin itu!”
Dihyan berlari keluar. Ia pergi ke kamar orang tuanya, mengetuk pintu dengan tidak sabaran.
Centhini membukakan pintu. “Lah, kamu belum siap-siap po Yan? Kita mau makan malam sama Bapak Ibu ini.”
“Mbak, kamu serius kita nggak keluar sama sekali?” tanya Dihyan.
Wajahnya menunjukkan kesungguhan. Centhini sampai-sampai terlihat khawatir.
“Kamu kenapa, Yan? Kayak panik gitu?”
“Jawab aku, Mbak. Kita beneran nggak keluar hari ini?”
Maryam, sang ibu, datang dan membuka pintu kamar lebih lebar. “Kenapa to kalian ini? Mbok masuk kamu, Yan.”
“Bu, tadi sore, nggak lama setelah kita sampai di hotel, aku dan Mbak Centhini pergi keluar, kan?” tanya Dilyan, kali ini kepada ibunya.
“Kamu ini lagi ngelindur apa piye? Wong kamu langsung tidur tadi, kok. Mbakmu ya di kamar Bapak sama Ibu. Ini dari tadi cuma nunggu kamu bangun. Udah sana, cuci muka, mandi sekalian, biar seger. Masih kebawa mimpi, itu,” jelas Maryam sembari kembali masuk ke dalam kamar.
“Udah dapat jawabannya langsung dari Ibu, kan? Kamu bikin aku khawatir, Yan. Mimpi buruk ya kamu?” tanya Centhini. Ia menunjukkan kekhawatiran dan keprihatinannya terhadap apa yang mungkin sudah terjadi pada adik laki-lakinya itu.
“Terus, kenapa nama ini ada sama aku, Mbak?” Dihyan menyodorkan gawai dengan nama dan nomer telepon Stefani Indri disana.
“Lah, siapa dia?”
“Ini cewek yang kita temui di rumah betang. Dia salah satu penari Dayak yang latihan tari untuk pementasan di gedung seni. Kita main-main kesana sore tadi. Mbak yang ngajak aku. Terus, Stefani dan aku saling bertukar nomer hape,” jelas Dihyan.
Centhini mengernyit, kemudian menggeleng. “Biasanya cewek yang ingat detil setiap mimpinnya. Ini kok terbalik? Ya sudah, Yan. Dibanding penasaran, kamu hubungi aja siapa it, Stefani ya? Biar tahu dia siapa. Soalnya, aku nggak ingat kita kemana-mana sesampainya di Pontianak. Mungkin Stefani itu kenalan kamu yang mana, yang aku nggak tahu. Tapi, ya syukur kalau kamu punya kenalan cewek. Biar kamu nggak merasa jadi pecundang terus.”
Dihyan berjalan kembali ke kamarnya. Suka tidak suka, ia harus sadar dengan kenyataan bahwa memang ia dan Centhini tidak keluar hotel sore tadi. Ia tertidur dan bermimpi. Ia kini tak yakin dengan cerita sebenarnya. Apakah mimpi itu yang menjadi nyata, atau ada kejadian tertentu yang membuatnya bermimpi seperti itu. Nomer Stefani Indri di gawainya bisa saja sungguh nomer fiktif, atau nomer entah siapa yang dinamakan dengan Stefani oleh alam bawah sadarnya.
Dihyan mengerang kesal.
Ia sepertinya memang harus membersihkan diri. Benar kata orang-orang dahulu, bahwa setelah bepergian lebih baik untuk mandi dan membersihkan diri. Jangan langsung tidur atau akan bermimpi buruk.
Meski mimpi yang ia alami tadi indah, hasilnya malah menjadi buruk ketika ia tersadar.
Dihyan tak mau memikirkannya lagi untuk saat ini. Kucuran air dari shower menyelimuti tubuhnya, melunturkan kelelahan berpikir serta kebingungan yang mengambang di permukaan kulit. Paling tidak itu untuk sementara.
Malam sudah menggelinding jatuh ke tanah Kalimantan, menyapu sinar mentari yang semula menguasai.
Dihyan tak sadar, ia belum paham dan sama sekali tidak awas bahwasanya ada satu sosok mahluk mengerikan di dalam ruangan yang sama dengannya ketika ia sedang membersihkan tubuh.
Mahluk itu serupa kadal, serupa manusia, dengan puluhan mata beragam ukuran menyebar di sekujur kepalanya yang menjijikkan itu, berputar-putar dengan liar. Bahkan ketika mahluk berwarna gelap kelam itu membuka mulutnya lebar, masih ada biji-biji mata lain yang tersebar di seluruh langit-langit mulut. Mahluk itu berbunyi, “Wuk … wuk … wuk …” sebelum merangkak menembus lapisan dunia gaib, meniti dinding kamar hotel Dihyan, memperhatikan sosok laki-laki muda berwajah kebulean dan rambut acak-acakan itu dengan minat yang tinggi.
Mahluk serupa kadal serupa manusia dengan jari-jari kurus panjang dan bercakar lancip tersebut kembali membunyikan suaranya, “Wuk … wuk … wuk …,” ketika Dihyan masih sibuk dengan perkara apakah ia sesungguhnya adalah seorang pecundang atau bukan.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh