Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Pria di Ruang Tamu
...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Tia, tahun baru libur, enggak?” tanya Nyokap gue.
Gue geser HP ke telinga sebelah dan ambil kunci apartemen dari dompet gue. “Iya, Ma. Tapi kayaknya Tia enggak bisa lama-lama, deh, Ma. Soalnya Tia baru diterima kerja.”
“Syukur kalau begitu. Kasih tahu Amio kalau kita semua di rumah baik-baik aja,”
Gue ketawa kecil. “Nanti Tia kasih tahu. Love You, Ma.” Gue tutup dan taruh HP gue ke saku baju kerja.
Gue cuma kerja part time, tapi cukup buat membuka pintu kesempatan gue. Malam ini adalah malam terakhir gue training sebelum mulai kerja yang sebenarnya yang akan dimulai besok malam.
Gue suka sama pekerjaannya sejauh ini, dan jujur saja gue kaget bisa dapat pekerjaan ini setelah wawancara pertama gue. Ini juga cocok sama jadwal kuliah gue. Gue kuliah tiap hari Senin sampai Jumat, baik itu praktikum maupun kelas, terus gue bakal kerja shift malam di akhir pekan di rumah sakit.
Gue juga mulai suka kota Jakarta. Walaupun baru dua minggu, gue bisa membayangkan tinggal di sini setelah lulus nanti daripada balik ke Surabaya.
Amio dan gue juga mulai akur, meskipun dia lebih sering pergi daripada di rumah.
Gue senyum-senyum sendiri, akhirnya gue merasa seperti menemukan tempat gue sendiri, istana gue dan gue buka pintu apartemen.
Senyum gue langsung memudar begitu ketemu dengan tiga cowok lainnya.
Dua di antaranya tampak enggak asing buat gue.
Tama lagi berdiri di dapur, dan si cowok yang sudah menikah itu yang ketemu gue di lift waktu pertama kali gue menginjakkan kaki di apartemen ini, dia lagi santai duduk di sofa.
Kenapa Tama ada di sini?
Kenapa mereka semua ada di sini?
Gue melotot ke arah Tama sambil mencopot sepatu dan taruh dompet di meja.
Amio pulang dua hari lagi, dan selama perjalanan pulang tadi gue sudah menunggu-nunggu ketenangan malam ini buat mengerjakan tugas.
“Ini malam Jumat,” kata Tama pas melihat wajah gue yang masam, seolah hari dalam seminggu ini harus jadi pembahasannya. Dia melirik gue dari dapur. Dia jelas lihat gue badmood.
“Emang iya,” jawab gue. “Besok hari Jumat.” Gue memperhatikan dua cowok lainnya yang duduk di sofa Amio. “Kenapa kalian semua ada di apartemen gue?”
Cowok berambut mohawk yang kurus langsung berdiri dan jalan ke arah gue. Dia menawarkan tangannya. “Tia?” tanyanya. “Gue Ian. Gue temannya Tama. Teman abang lo.” Dia tunjuk ke cowok yang ketemu gue di lift yang masih duduk di sofa. “Ini Joshi,”
Joshi mengangguk ke arah gue tapi enggak ngomong. Enggak perlu ngomong juga, senyum berengseknya saja cukup menunjukkan apa yang ada di pikirannya.
Tama balik lagi ke ruang tamu dan tunjuk ke TV. “Ini kebiasaan kami kalau malam Jumat, main PS.”
Gue enggak peduli itu kebiasaan mereka.
Gue juga punya tugas.
“Amio aja enggak ada di rumah malam ini. Kenapa enggak di apartemen lo aja? Gue harus belajar.”
Tama kasih Joshi bir terus melirik gue lagi. “Gue gak ada kabel.”
Jelas saja enggak ada.
“Dan kalau istrinya Joshi gak ngizinin kita pakai tempat dia.”
Tentu saja enggak boleh.
Gue melirik ke sudut kamar gue dan masuk ke kamar, membanting pintu tanpa sengaja.
Gue ganti baju dan pakai jeans. Gue ambil kaos yang gue pakai tidur semalam dan baru saja menyangkut di kepala gue tiba-tiba ada yang mengetok pintu. Gue buka pintunya hampir semudah gue membantingnya tadi.
Dia tinggi banget. Gue enggak sadar seberapa tinggi dia, tapi sekarang dia berdiri di ambang pintu mengisi seluruhnya, dia kelihatan sangat tinggi. Kalau dia peluk gue sekarang, telinga gue bakal menempel di hatinya. Terus pipinya bakal nyaman di atas kepala gue.
Kalau dia cium gue, gue harus mengangkat wajah gue buat menyamakan posisi dengan wajahnya, itu bakal menyenangkan, karena dia mungkin juga bakal peluk pinggang bawah gue.
Dan tarik gue ke dia agar mulut kita bisa bersentuhan kayak dua potongan puzzle.
Sayangnya, mereka enggak bakal cocok, karena jelas bukan dua potongan dari puzzle yang sama.
Ada yang aneh di dada gue. Kayak ada getaran-getaran kecil. Gue benci rasanya, karena gue tahu artinya. Artinya tubuh gue mulai suka sama Tama. Gue cuma berharap otak gue enggak menyusul.
“Kalau lo butuh ketenangan, lo bisa ke tempat gue,” katanya.
Gue meringis melihat tawarannya yang bikin perut gue berasa kayak diikat. Gue seharusnya enggak senang berada di apartemennya, tapi gue malah senang.
“Kita mungkin bakal ada di sini sampai dua jam lagi,” tambahnya.
Ada rasa penyesalan di suaranya.
Gue hembuskan napas pendek, menyerah. Gue jadi sebel.
Ini bahkan bukan apartemen gue. Ini kebiasaan mereka yang jelas mereka lakukan secara rutin, dan siapa gue sampai berpikir bisa dengan tiba-tiba mengubahnya?
“Gue cuma capek,” jawab gue ke Tama. “Enggak apa-apa. Maaf kalau gue kasar sama teman-teman lo.”
“Teman,” klarifikasinya. “Joshi bukan teman gue.”
Gue enggak menanyakan apa maksudnya. Dia melirik ke ruang tamu, terus menatap gue lagi. Dia bersandar di ambang pintu, dia melihat skincare-skincare gue yang berserakan di kasur.
“Lo udah kerja?”
“Iya,” jawab gue, bingung kenapa dia tiba-tiba mau mengobrol. “Perawat di UGD.”
Keningnya berkerut, dan gue enggak bisa bilang itu karena bingung atau terpesona.
“Lo masih kuliah keperawatan, kan? Gimana bisa udah kerja jadi Perawat?”
“Gue lagi ambil S2 keperawatan biar bisa buka praktek sendiri. Jadi gue udah punya lisensi Perawat, sebelumnya.”
Ekspresinya ngotot, jadi gue coba menjelaskannya lagi.
“Semacam surat izin kalau gue boleh kasih suntikan ke orang,”
Dia tatap gue beberapa detik sebelum berdiri tegak dan menjauh dari ambang pintu. “Keren,” katanya. Tapi enggak ada senyumannya.
Kenapa dia enggak pernah senyum?
Dia balik ke ruang tamu. Gue melangkah keluar dari pintu dan memperhatikan dia. Tama duduk di sofa dan fokus ke TV.
Joshi melirik gue, tapi gue berusaha enggak peduli dan menuju ke dapur buat cari makanan.
Enggak banyak yang bisa dimakan, soalnya gue belum masak seminggu ini, jadi gue ambil semua bahan dari kulkas buat bikin mi instan . Pas gue balik, Joshi masih memperhatikan gue dengan antusias. Sekarang dia memperhatikan dari jarak sekitar satu meter, bukan lagi dari ruang tamu.
Dia senyum, terus maju dan meraih pintu kulkas, mendekati wajah gue. “Jadi lo adiknya Amio?”
Gue pikir gue setuju sama Tama kali ini. Gue juga enggak suka sama Joshi. Matanya enggak sama kayak mata Tama. Saat Tama lihat gue, matanya menyembunyikan segalanya.
Mata Joshi enggak menyembunyikan apa-apa.
“Iya,” jawab gue singkat sambil berputar di sekelilingnya. Gue menuju ke sebuah laci untuk cari tupperware. Setelah menemukannya Gue siapkan juga mi tambahan buat dibawa ke Kapten.
Dia mulai jadi teman gue dalam waktu singkat sejak gue tinggal di sini. Gue tahu dia kadang kerja sampai empat belas jam sehari, karena dia tinggal sendirian di gedung ini dan enggak punya hal lain yang lebih baik untuk dilakukan. Dia kayaknya menghargai kehadiran gue, terutama hadiah yang berupa makanan, jadi sampai gue benar-benar punya teman di sini, sepertinya gue akan menghabiskan waktu kosong gue sama kakek delapan puluh tahun itu.
Joshi bersandar santai di meja dapur. “Lo perawat atau gimana?”
Dia buka birnya dan tuang ke mulut, tapi berhenti sebelum minum. Dia tunggu jawaban gue.
“Iya,” jawab gue dengan suara pendek.
Dia senyum dan minum birnya. Gue terus mengemas mi yang gue masak, sengaja berusaha terlihat tertutup, tapi Joshi enggak tampak peduli. Dia terus memperhatikan gue sampai tupperware buat Kapten selesai.
Gue enggak bakal tawari dia mi kalo itu alasan dia masih ada di sini.
“Gue pilot,” katanya. Dia enggak ngomong dengan nada sombong, tapi saat enggak ada orang yang tanya tentang pekerjaan lo, menyebutkannya secara sukarela biasanya menunjukkan atau sedang menginginkan sesuatu.