Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Gemetar
Semua santri dan santriwati yang sudah berada diposisi masing-masing. Khusus hari ini, semua kegiatan belajar mengajar diliburkan dan mereka dipersilahkan untuk menghadiri acara pernikahan.
Tamu undangan juga terlihat sudah memenuhi tempat acara. Pak Kyai dan semua saksi juga sudah siap, termasuk Gus Zam yang duduk menunduk di sebelah Pak Kyai. Gus Zam yang awalnya ingin melaksanakan akad secara tertutup, ditentang oleh Pak Kyai dan juga Bu Nyai. Mereka membawa nama Hanung agar Gus Zam mau mendengarkan.
"Kalau kamu melakukannya secara tertutup, sama saja kamu tidak menghormati Hanung." kata Pak Kyai saat itu.
Kini Gus Zam mati-matian menahan gugupnya, hingga keringat dingin mulai bercucuran. Acara akad molor dari yang ditentukan karena penghulu yang bertugas dikabarkan sakit semalam. Sehingga ada pergantian penghulu secara mendadak dan mereka harus menunggu penghulu pengganti menyelesaikan pernikahan yang dijadwalkan sama dengan Hanung dan Gus Zam.
"Penghulu sudah datang, Pak Kyai." bisik salah seorang panitia acara.
"Langsung bawa kemari!"
Beberapa saat kemudian, Kang Rahim memandu penghulu menuju meja akad yang ada di masjid pesantren. Segera penghulu mengeluarkan surat-surat yang diperlukan dan menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab mantap oleh Pak Kyai.
"Sudah siap, Gus?" tanya penghulu.
Gus Zam hanya mengangguk. Penghulu mengulurkan tangannya dan disambut Gus Zam yang bergetar.
"Mau menenangkan sebentar?" tanya penghulu yang merasakan getaran dan keringat dingin dari telapak tangan Gus Zam.
"Dimulai saja, Pak Penghulu." kata Pak Kyai.
"Bismillah.. Ankaḫtuka wa zawwajtuka makhthûbataka Hanung Rahayu binta Agus Suryanto allatî wakkalanî waliyyuhâ bi mahri ‘asyarotun jiromatun minad dzahabi hâlan."
"Qabiltu nikâḫahâ wa tazwîjahâ bil mahril madzkûr." jawab Gus Zam dalam satu tarikan nafas.
"Sah?"
"Sah!" jawab saksi serempak.
"Alhamdulillah.." ucap syukur semua santri dan santriwati, termasuk Bu Nyai dan Ibu Jam yang menemani Hanung di balik tirai.
Setelah penghulu menyelesaikan bacaan doa, Bu Nyai dan Ibu Jam menuntun Hanung menuju meja akad untuk menandatangani surat nikah. Sontak perhatian semua orang tertuju pada pemeran utama. Sebagian dari mereka memuji kecantikan Hanung, sebagian mencaci karena pengantin yang mereka harapkan bukanlah Hanung.
Perhatian Gus Zam sendiri seperti ditarik sepenuhnya oleh Hanung, sampai-sampai panggilan penghulu yang memintanya tanda tangan tidak didengarnya.
"Memandangnya bisa dipuaskan nanti, Gus. Saya masih harus menikahkan pengantin lain." sindir penghulu yang mendapat tawa dari para saksi dan membuat Hanung tertunduk malu.
Gus Zam yang mendapatkan tepukan di paha oleh Pak Kyai pun kembali sadar dan segera membubuhkan tanda tangannya diikuti Hanung. Dengan begitu mereka sudah resmi menjadi suami dan istri baik secara agama maupun hukum negara.
Acara dilanjutkan dengan penerimaan tamu dan makan bersama. Gus Zam yang sedari tadi sudah menahan gemetar pun sudah tidak tahan lagi. Ia meminta izin kepada Pak Kyai untuk undur diri. Karena tak mungkin membiarkan Hanung sendiri menerima tamu, Pak Kyai meminta Hanung untuk ikut beristirahat.
"Gus Zam, tidak apa-apa?" tanya Hanung yang mengikuti Gus Zam di belakang, tetapi Gus Zam tidak menjawab.
Ketika sampai dikamar, Gus Zam masuk sendiri dan meninggalkan Hanung yang enggan masuk. Hanung pun duduk di ruang keluarga, menunggu.
"Hanung kenapa tidak masuk ke kamar?" tanya Bu Nyai yang sengaja mengikuti keduanya.
"Didalam panas, Umi. Hanung disini dulu." jawab Hanung sekenanya.
"ACnya mati?" tanya Bu Nyai, tetapi Hanung hanya meringis.
Sebenarnya Bu Nyai tahu alasan Hanung tidak masuk kedalam kamar Gus Zam. Bu Nyai pun meminta Hanung beristirahat ke kamar Ning Zelfa terlebih dahulu.
"Adib.." panggil Bu Nyai sambil mengetuk pintu.
Karena tidak ada jawaban, Bu Nyai masuk kedalam kamar dan menemukan Gus Zam sedang berjongkok di dekat meja nakas.
"Apa perlu Umi ambilkan obat?" Gus Zam menggeleng.
"Masih sanggup?" Gus Zam masih menggelengkan kepalanya.
Bu Nyai pun duduk disamping Gus Zam. Beliau tahu betul, saat ini Gus Zam sedang berperang dengan traumanya. Jika bukan karena Hanung, Gus Zam tidak akan berdiri di keramaian seperti tadi. 1 jam di meja akad dan 1 jam menerima tamu, itu sudah merupakan keajaiban.
"Umi tahu yang kamu rasakan, Nak. Jika bukan kamu yang memulainya, tidak akan ada perubahan. Dokter pun mengatakan seperti itu. Semuanya bergantung kepada kamu, bagaimana kamu keluar dari zona itu. Walaupun kemungkinan untuk sembuh total sangat kecil, Umi yakin kamu bisa sembuh." Gus Zam menoleh kearah Bu Nyai.
"Zam merasa tidak percaya diri, Umi. Umi lihat sendiri, Hanung murah senyum, banyak yang suka dan.." Bu Nyai menghentikan kata-kata Gus Zam dengan menggenggam tangannya.
"Itu namanya pesimis, Nak. Itu yang membuatmu sulit keluar dari trauma, karena kamu tidak mau mencoba sebelum memutuskan. Seperti kamu mendoakan dirimu sendiri untuk menjadi seperti itu. Hanung memang seperti itu dari dulu. Gadis kecil yang sering bermain dengan Zelfa dulu, adalah Hanung. Orang yang sering kamu perhatikan dari jendela juga Hanung." Gus Zam mengangguk.
"Hanya saja, Hanung tidak tahu keberadaan mu. Karena setiap kali Hanung berkunjung bersama Jam, kamu tidak pernah menampakkan diri." imbuh Bu Nyai.
Bu Nyai pun beranjak dari duduknya. Beliau tak bisa berlama-lama karena masih ada banyak tamu. Sementara itu, Hanung yang berada di kamar Ning Zelfa duduk di pinggir tempat tidur. Ia yang enggan masuk kedalam kamar Gus Zam membuktikan dirinya belum siap. Dan sekarang ia sedang merapalkan mantra untuk keberanian dengan berdzikir.
"Kak Hanung kenapa disini?" tanya Ning Zelfa yang baru saja masuk ke kamar.
"Numpang istirahat."
"Kalian itu sudah resmi, mengapa tidak ke kamar bersama? Jangan bilang kamu tidak berani!"
"Bukan tidak berani, aku hanya.."
"Takut?" tebak Ning Zelfa.
"Bukan! Aku sungkan."
"Sudah jangan alasan lagi! Ayo!" tarik Ning Zelfa, membawa Hanung ke kamar Gus Zam.
Ning Zelfa mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Kemudian Ning Zelfa sengaja memanggil nama Hanung dan pintu pun terbuka.
"Ini Istri Kakak!" Ning Zelfa mendorong Hanung masuk dan pergi begitu saja.
Hanung yang sangat dekat dengan Gus Zam sampai menahan nafasnya. Gus Zam sendiri membeku kala wewangian yang ada pada tubuh Hanung menyeruak di hidungnya. Tangannya kembali gemetar. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh detik kemudian Gus Zam bisa menguasai diri. Dengan perlahan menggeser tubuh Hanung dan menutup pintu.
"Istirahatlah." Hanung mengangguk dan dengan canggung berjalan menuju sofa yang menempel ranjang karena tubuhnya masih terasa kaku setelah mendapat sentuhan tiba-tiba.
"Kamu tidak ganti?" Hanung menggeleng, pakaiannya masih di kediaman Umi Siti.
Gus Zam membuka lemari dan mengambilkan satu set gamis untuk Hanung. Saat melihat pakaian yang disodorkan, Hanung sedikit terkejut. Tetapi tidak bertanya dan menerimanya. Segera Hanung pamit menggunakan kamar mandi.
.
.
.
.
Resource: https://nu.or.id/nikah-keluarga/kalimat-ijab-qabul-dan-mewakilkan-wali-perkawinan-6SyzQ