Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Sudah Mas, ayo kita pulang, biarin aja tuh cowoknya Ajeng di sini, kita nggak usah susah dan capek nungguin, yang penting anak kita sehat," ujar Vivi tak mau tahu.
"Kok biarin aja, gimana sih, orang lagi sakit, nanti kalau terjadi apa-apa sama Ajeng dan berimbas ke anak aku gimana? Kamu nggak ada prihatin-prihatinnya sama sekali. Atau jangan-jangan ini ada konspirasi besar di balik insiden ini," tuduh Abi menatap tajam istrinya.
"Maksudnya apa? Dia yang ceroboh malah nyalahin saya, bisa aja kan Ajeng emang ngelakuin itu untuk segera terbebas dari pernikahan kontrak denganmu, karena Ajeng mencintai pria lain."
"Diam! Kalau tidak suka di sini silahkan pulang!" bentak Abi menatap tajam istrinya. Terlihat begitu marah dan jengkel. Sudah tahu hatinya tengah panas, ditambah Vivi yang seakan tidak mau tahu, jelas membuat pria itu murka.
Vivi pun langsung mingkem sambil berlalu dengan batin mengumpat. Tentu saja dia senang hati memilih pulang dari pada kurang kerjaan sekali menunggu madunya di rumah sakit. Hanya saja ia kesal bukan main ikut dibentak-bentak juga lantaran memberi pendapat.
Abi meraup mukanya kasar sambil berjalan menuju ruang rawat. Makin kesal, dan bertambah dongkol saat mendapati Denis masih stay di sana enggan beranjak.
"Ngapain masih di sini, pulang sana!" usir Abi ketus.
"Saya akan menjaganya dan menunggu di sini," jawab Denis dengan santai.
"Heh! Anda siapa? Istriku tidak butuh pendampingan dari orang lain. Kamu sama sekali tidak berhak ada di sini!" usirnya dengan nada ketus.
"Istri sementara yang bahkan tidak pernah diakui dalam kamusmu!" Abi menatap tajam nan dingin pria itu yang duduk tak jauh dari ranjang rumah sakit.
"Kak!" panggil Ajeng lirih. Kurang setuju dengan perdebatan keduanya yang semakin membuat Ajeng bertambah pusing.
"Iya, kenapa?" Denis lebih mendekat.
"Ada apa Ajeng? Apa yang kamu butuhkan?" tanya Abi begitu gemas.
"Kalian bisa nggak kalau nggak bertengkar di sini? Aku nggak bisa istirahat!" keluhanya benar-benar kurang nyaman.
"Iya maaf, istirahatlah!" titah Denis lembut. Menatap prihatin perempuan yang terlihat lemah berhias selang infus di tangan kirinya.
"Sebaiknya kamu pulang, jangan sampai aku dengan kasar menyeretmu keluar!" usir Abi penuh penekanan. Menatap keduanya dengan jengkel.
"Bagaimana kalau kita meminta pendapat Ajeng, siapa yang dia harapkan di sini?" tawar Denis cukup percaya diri. Ia tidak sampai hati meninggalkan Ajeng sendirian. Salah-salah kena marah pria tak punya hati itu.
"Maksud Anda?" tanya Abi menatap dingin.
"Dek, jangan pernah takut, katakan sesuai hati nuranimu. Aku akan mengikuti suara hatimu, dan berusaha percaya jika memang kamu tidak menginginkan aku di sini. Apakah aku membuatmu tidak nyaman?" tanya Denis cukup jelas dan tenang.
"Tetap di sini Kak, aku lebih percaya denganmu," jawab Ajeng yang seketika membuat hati Abi mendidih.
"Itu namanya lancang! Terlepas hubungan kita seperti apa, aku adalah suamimu, dan aku tidak mengizinkan pria ini ada di sini atau aku terpaksa akan panggil security!" geram Abi menekan sabar.
"Status, mohon maaf Pak Abi yang terhormat, Anda hanya menyayangi anaknya, 'kan? Tanpa peduli pada ibunya. Tapi tidak usah khawatir, aku akan menjaga dan merawat Ajeng dengan sepenuh hati, agar kandungannya juga sehat tentunya."
"Kamu benar-benar ngajak ribut lagi!" sarkas Abi mencengkram kerah Denis dengan murka.
"Jangan!" pekik Ajeng menggeleng sampai turun dari ranjang. Membuat selang infusnya ketarik dan menyebabkan darah keluar dari tangannya.
"Aww ...!" desis perempuan itu menahan sakit pada tangannya.
Abi langsung melepas cengkraman tangannya dan bergegas mendekati istrinya.
"Untuk apa turun? Ini bahaya!" protes Abi langsung memencet tombol layanan di ruangan. Suster segera datang memasang infusnya kembali.
Sementara Abi kembali menyeret Denis untuk keluar. Pria itu kehilangan kesabaran untuk yang kedua kalinya.
"Dengan atau tanpa persetujuan Ajeng sekalipun, aku berhak di sini, karena aku suaminya, dan kamu? Bukan siapa-siapa, harap tahu diri sampai statusnya menjanda nanti," kecam Abi menohok.
Denis terdiam di tempatnya, ia tidak bisa membiarkan Ajeng kesulitan sendiri. Namun, situasi membuatnya tidak punya tempat untuk membela.
[Aku pulang dulu, istirahatlah, aku akan datang lagi besok. Jangan khawatir, aku hanya tidak ingin terlihat terus membuat keributan di sini. Aku mencintaimu, semangat! ]~ Kak Denis
Ajeng menitikkan air matanya saat membaca pesan pria itu. Pasti Abi mengusirnya lagi, membuat hatinya makin ngilu saja.
Abi menyodorkan sekotak tissu dengan diam. Hatinya mendadak dirundung galau luar biasa melihat Ajeng bersedih untuk pria lain. Secinta itu kah perempuan yang tengah mengandung anaknya dengan pria itu? Hingga pulang saja pakai drama tangis menangis segala.
"Jangan menangis, kasihan bayinya nanti ikut sedih kalau ibunya sedih," ujar Abi lembut. Sedikit menurunkan egonya, mengalah demi kesehatan si bayi yang masih di perutnya.
Ajeng tidak menyahut, pun tidak mengambil tissu itu. Ia langsung merebah memunggungi suaminya. Abi yang melihat itu merasa kasihan dan bersalah. Terlepas insiden itu disengaja Ajeng atau tidak, ia akan mencari tahu sendiri.
Pria itu tak berkata-kata lagi. Untuk pertama kalinya, menyentuh rambutnya setelah perempuan itu bahkan terus mengabaikannya. Ada perasaan yang berbeda, entah itu apa?
"Tidurlah, istirahat, aku akan menjagamu," ucap pria itu lembut. Abi kembali mengelus mahkotanya, merasa lebih dekat.
Ajeng tidak merespon apa pun, perlahan mulai menemukan kantuknya. Di tengah malam perempuan itu terjaga, melihat pria yang selalu terlihat ketus itu tengah terlelap di sofa tunggu dengan posisi terduduk.
Perlahan Ajeng turun, mengambil infus yang terhubung dengan tangannya. Perempuan itu butuh ke kamar mandi.
"Mau ke mana?" Abi langsung terjaga begitu merasakan pergerakan di sekitarnya.
"Bisa sendiri," tolak Ajeng saat Abi bermaksud membantu.
"Kamu terlihat lemah, biar aku bantu, mau ke kamar mandi, 'kan?" tebak Abi benar adanya.
"Bisa sendiri!" bentak Ajeng menatapnya dingin.
Abi yang gemas tidak mundur sama sekali, melainkan langsung mengangkat tubuh Ajeng membawanya ke kamar mandi. Ajeng yang kaget tentu saja meronta tak nyaman.
"Diem Ajeng, nanti jatuh! Aku hanya ingin membantumu," ucapnya tenang.
"Turunin! Aku bisa jalan sendiri!"
"Ya, ini sudah sampai, aku tunggu di luar," ujar pria itu dengan ekspresi datardatar melenggang tanpa dosa.
Ajeng masih speechless dibuatnya. Bisa-bisanya Abi menggendongnya sampai ke kamar mandi, sungguh kurang kerjaan.
"Jeng, buka bentar!" seru pria itu kembali masuk. Ajeng yang hendak mengunci pintu kamar mandi dibuat waspada dengan kemunculan pria itu lagi.
"Sorry, tapi barang kali kamu butuh ini," ujarnya menyodorkan tissu.
Kali ini Ajeng menyambarnya dari tangan Abi, lalu menutup pintu itu dengan keras tanda protes. Rasanya masih tidak nyaman diperlakukan seperti itu oleh ayah dari bayinya.
"Astaghfirullah ... nggak bisa apa jauhan dikit dari pintu, bikin kaget aja!" kesal Ajeng mendapati Abi menunggunya di depan pintu toilet.
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik