Rahim Sengketa
Seorang laki-laki tetiba muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan, tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan hatinya yang cukup mencengangkan, tepat di saat gadis itu berada di titik putus asa.
"Mengandunglah anak saya, hanya butuh waktu sembilan bulan saja. Tanpa ikatan, tanpa menikah!"
Perempuan yang terlihat sendu dengan pelupuk mata basah itu bergegas menghapus buliran bening di pipinya. Refleks menengok, siapakah gerangan yang berbicara cukup frontal di hadapannya.
"Maaf, Anda siapa? Apakah kita saling mengenal?" tanya gadis itu penuh selidik.
Pria tampan bersahaja nan kalem itu tersenyum.
"Saya Abimanyu, kebetulan saya tengah mencari ibu pengganti dan saya rasa, Anda sangat cocok sesuai dengan kriteria saya," ucap pria itu datar.
Ajeng hampir tidak percaya, kenapa ia harus bertemu dengan orang seajaib ini. Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Bad idea!
"Jangan khawatir, kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui operasi caesar," jelas pria itu lugas.
Ini bukanlah ajang lelucon, ataupun lawak melawak di area rumah sakit. Terdengar begitu serius, bahkan cukup tenang mengatakan itu.
"Tentu saja ini semua bukanlah isapan jempol belaka. Aku akan membiayai seluruh tagihan rumah sakit, operasi adik kamu hingga sembuh, bahkan menyekolahkannya, bagaimana?"
Ajeng lebih dari shock, yang awalnya gagal paham, jelas mencerna perkataan pria itu dengan baik dan benar.
"Maaf, saya tidak bisa," tolak gadis itu cepat.
Bagaimana bisa, seseorang sengaja memanfaatkan keadaan ini di saat dirinya dirundung duka. Sungguh definisi dari sebuah keikhlasan yang sulit ditemukan pada diri manusia.
"Jangan terburu menolak, bukankah Anda sedang butuh uang banyak, adikmu butuh pertolongan medis segera."
Ajeng nampak gamang, berada dalam persimpangan kegalauan hatinya. Apakah ini sebuah pertolongan untuknya, atau malah ujian dari-Nya.
"Bagaimana dengan tawaran, saya?" Pria itu tidak menghiraukan kegalauan perempuan itu, melainkan lebih fokus dengan maksud tujuannya.
"Seperti yang sudah saya katakan tadi, mohon maaf, saya tidak bisa. Anda menawarkan saya sebagai ibu pengganti, karena saya dalam keadaan kesulitan, bukan?" tolak perempuan itu sekali lagi.
Tak ada kata basa-basi lagi, memang pada kenyataannya seperti itu. Ada uang, tentu penawaran itu sepadan.
"Saya tidak punya banyak waktu untuk bernego. Saya pastikan kesempatan langka ini tidak akan datang berulang kali. Kalaupun Anda menolak, saya bisa dengan mudah membeli rahim orang lainnya. Tapi untuk Anda sendiri mungkin nyawa adik Anda tidak bisa terselamatkan karena lambat operasi."
Ajeng tentu saja tidak ingin kehilangan adik satu-satunya. Hanya Hanan yang ia punya setelah kedua orang tuanya meninggal.
"Saya jamin operasi adik Anda akan segera dilaksanakan hari ini juga, jika Anda sepakat dengan perjanjian ini, Ajeng!"
"Dari mana Anda tahu nama saya, sebenarnya siapa Anda?"
Pria itu tidak menjawab, hanya tersenyum seraya menatap adik Ajeng yang tergolek lemah di atas bed rumah sakit.
"Pikirkan baik-baik, adikmu membutuhkan penanganan segera. Ini kartu nama saya, kamu boleh menghubungi saya dalam waktu dua kali dua puluh empat jam. Tidak ada panggilan atau pesan yang masuk, dianggap gagal."
Gadis itu menerima kartu kecil dengan nama terang Abimanyu Prayogo. Seorang pengusaha sukses dengan jabatan mentereng. Namun, nampaknya ia tidak begitu peduli. Terus berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang banyak, cepat, tanpa harus menggadekan rahimnya.
Pria itu hanya memberikan waktu dua kali dua puluh empat jam. Itu artinya dua hari saja. Tentu itu tidak cukup untuk memikirkan hal yang krusial seperti ini.
"Hanya mengandung anaknya, tidak harus ada ikatan, tidak perlu juga menikah. Setelah lahir juga tidak akan bermasalah karena tidak sempat berhubungan badan," gumam Ajeng terngiang-ngiang perkataan pria itu.
"Kenapa harus meminjam rahim? Apakah istrinya bermasalah? Ya Rabb, apakah ini boleh?" batin Ajeng teramat galau.
Malam ini perempuan itu masih terjaga hingga larut. Bahkan, karena harus merawat dan menjaga adiknya yang saat ini mengalami cidera serius pun sampai tidak masuk kerja.
Biaya rumah sakit yang semakin banyak, dan diharuskan operasi karena cidera kaki dan tangan hingga luka berat.
Entah di jam berapa gadis itu terlelap di kursi tunggu, hingga terdengar kumandang subuh menyapa. Lekas mengambil wudhu, menunaikan dua rakaat khusuk. Diakhiri dengan salam dan doa kebaikan.
Sudah dua hari absen dari toko tempat kerjanya. Sore juga izin menjaga kafe lantaran adiknya tidak ada yang menjaganya. Selepas sholat, kembali ke ruang rawat. Hari sudah berganti, tetapi sepertinya nasib baik belum berpihak padanya. Tidak ada tanda-tanda orang yang telah membuat adiknya celaka muncul untuk bertanggung jawab.
Sesungguhnya Ajeng sangat berharap ada pertolongan lainnya selain harus menyewakan rahimnya.
"Pagi Mbak, bagaimana dengan kesiapan biaya untuk operasi ananda Hanan. Kondisi pasien akan mengalami cacat fisik seumur hidup bila tidak segera ditangani dengan baik."
"Apa boleh dilakukan operasinya terlebih dahulu, Dok? Biayanya menyusul, akan saya usahakan segera," pinta Ajeng memohon.
"Prosedur rumah sakitnya begitu, Mbak. Kami hanya menjalankan tugas sesuai aturan," kata dokter yang menangani adiknya cukup jelas.
Ajeng semakin kalut saja. Bagaimana nasib adiknya nanti kalau beneran tidak bisa jalan. Atau bahkan akhirnya tidak mempunyai kaki. Dia pasti akan sangat hancur sekali. Dengan setengah hati, gadis itu pun menghubungi nomor yang tertera dikartu nama.
Sementara Abi tersenyum lega setelah mendapat kabar dari seorang wanita yang telah ditemuinya kemarin di rumah sakit. Pria itu bahkan sudah mengatur waktunya untuk bertemu siang ini di rumah sakit. Dengan serta merta membawa istrinya, untuk mengenalkan langsung pada perempuan yang telah bersedia menampung benih kelak yang akan menjadi generasi penerus mereka.
Siang itu pertemuan dilakukan di sebuah kafe sekitar rumah sakit. Ajeng nampak sudah menunggu dengan gelisah. Dari radius beberapa meter pintu masuk, terlihat seorang wanita cantik menggandeng pria rupawan yang kemarin menemuinya.
Ajeng mengangguk hormat dengan sambutan lembut. Sementara Vivi terlihat sinis menatap dari bawah ke atas. Sesungguhnya ia kurang setuju melihat Ajeng yang begitu cantik, tentu saja takut kalau suaminya akhirnya kepincut.
"Kenapa harus dia, Mas?" tanya Vivi bernada protes setengah berbisik.
"Kamu keberatan? Tidak ada hal yang perlu kamu khawatirkan, Sayang. Dia hanya menjadi ibu pengganti, tanpa harus berhubungan langsung denganku. Bukankah kamu sudah sepakat kemarin."
Vivi memang menginginkan keturunan dari suaminya sendiri mengingat dirinya tidak bisa hamil. Rahim perempuan itu bahkan sudah diangkat karena sebuah penyakit menimpanya.
"Apa saja yang aku dapat selain uang?" tanya Ajeng mulai membuat kesepakatan. Ia sudah yakin dengan keputusannya.
"Tentu saja biaya rumah sakit dan pengobatan hingga sembuh untuk adikmu. Hidup terjamin hingga pendidikannya, aku akan menanggung, asalkan kamu mau mengandung anakku."
"Selama sembilan bulan saja, tanpa ikatan pernikahan, prosedur seperti yang sudah aku bilang kemarin. Setelah anak itu lahir, kamu tidak boleh menuntut apa pun dan menyerahkan bayi itu pada kami sepenuhnya," papar Abi cukup jelas dan gamblang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Effie
hai kakak author novelnya bagus banget, boleh mampir lah ke novel ku . hehe
2024-10-18
0
Wy Ky
k
2024-09-08
0
nuraeinieni
aq mampir thor
2024-09-02
0