Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ada Yang Berbeda
POV ANANG
Enam tahun sudah aku menjadi seorang suami dan ayah dari ke tiga anakku. Dahulu banyak orang yang menganggap aku beruntung aku bisa menikah degan wanita yang berparas cantik alami seperti Ayu. Tentu saja hal itu membuat aku besar kepala dan berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan Ayu sebagai kekasihku.
Selama tiga tahun menjalin hubungan tak mendapat restu dari kedua orang tuaku karena keadaan Ayu yang hidup sederhana dan tumbuh tanpa sosok orang tua. Mereka menganggap Ayu bukan sosok istri yang baik, karena selama hidupnya tak pernah mendapatkan didikan dari orang tua.
"Kamu cari istri harus benar adalah usulnya, Anang. Nggak bisa kamu nikahin wanita sembarangan begitu. Biar bagaimanapun kamu mencari sosok ibu untuk anakmu, sekolah pertama untuk keturunanmu. Harus cari yang bener." Itulah kata yang aku dengar saat pertama kali aku mengajak Ayu datang ke rumah.
Aku tak putus asa, aku terus berusaha dan kekeh untuk mempertahankan apa yang menjadi keputusanku. Aku sangat mencintai Ayu dan aku yakin kalau dia adalah istri dan madrasah terbaik untuk anak-anakku kelak.
Hingga lambat lain usahaku berhasil, kedua orang tuaku memberikan restu untuk menikah. Kami bahagia saat itu, hingga di usia pernikahan kami yang ke satu tahun, ayah pergi untuk selamanya.
Sebagai anak pertama, tentu saja aku harus menggantikan ayah sebagai tulang punggung keluarga. Aku menanggung hidup ibu dan adikku satu-satunya yang masih kuliah.
Sebenarnya aku sedikit keberatan, biar bagaimanapun aku juga punya keluarga sendiri yang harus aku hidupi. Tapi kata-kata dari ibu selalu membuat aku berpikir aku harus mementingkan ibu dari pada Ayu.
"Kamu jangan lupa kalau kamu bisa menjadi pegawai kantoran juga karena ibu dan ayah yang menyekolahkan kamu setinggi mungkin. Sekolah kamu nggak menghabiskan uang sedikit, Nang. Kalau bukan kamu yang membantu ibu siapa lagi? Kamu pasti di racuni sama Ayu biar nggak bantu ibu. Istri kamu nggak tahu bagaimana susahnya kami buat nyekolahin kamu, dia tahu kamu pas udah suksesnya aja. Dan sekarang kamu lebih nurut sama Ayu dari pada ibu? Kamu ada di dunia ini juga karena ibu."
Jika sudah begini, aku tak bisa apa-apa lagi. Akhirnya aku turuti apa kata ibu untuk membiayai kuliah Fadil.
Tahun demi tahun kami lewati, untunglah Ayu terima dengan ikhlas nafkah yang ku berikan. Meskipun aku sering mendengar keluhan darinya bahwa ibu sering minta keperluan dapur padanya. Aku hanya bisa memintanya untuk sabar hingga kuliah Fadil selesai.
Di tahun ke lima pernikahan kami, Ayu kembali hamil anak kami yang ke tiga. Semakin ke sini penampilan Ayu semakin membuatku tak betah di rumah. Bau minyak gosok, terkadang minyak angin, bau dapur, wajahnya pun tak semulus saat kami menjadi pengantin baru. Wajah Ayu berubah menjadi kucel dan kusam. Aku ingin protes tapi aku takut dia tersinggung dengan ucapanku. Akhirnya aku memilih diam saja.
Hingga akhirnya, aku di pertemukan dengan Winda. Teman masa kecil yang sudah puluhan tahun tak bertemu karena aku pindah rumah. Dari pertemuan itulah aku mulai dekat lagi dengannya. Sejak saat itu pula, aku mulai membanding-bandingkan penampilan Ayu dan Winda.
Hadirnya Winda membuat warna baru dalam hidupku. Aku merasa duniaku yang dulu kembali. Hingga akhirnya aku tergoda juga. Winda sering mengajak ku menginap di hotel dan kadang juga di rumahnya.
Hingga siapa sangka, Ayu yang tak pernah membongkar tasku hari itu mengetahui apa yang aku bawa saat bekerja. Tak hanya itu saja, dia juga akhirnya tahu bahwa gajiku tak sedikit. Dan kehancuran ku berawal dari sini.
Di malam satu bulan yang lalu, aku sungguh kalap, emosi yang sudah di puncak kepala dan bisikan setan seakan memenuhi gendang telingaku. Dengan brutal aku memberi pukulan di wajah ayu istriku. Jujur saja aku cemburu karena dia pergi hingga larut malam dengan seorang pria yang katanya adalah supir taksi online. Kecemburuanku membutakan akal sehatku.
Setelah kejadian itu aku pergi ke rumah ibu, aku datang dengan menangis. Aku menceritakan kondisi rumah tanggaku dan Ayu yang pulang hingga larut malam dengan seorang pria. Ibuku tentu saja membelaku meskipun aku salah, aku sadar aku salah aku sudah minta maaf dan memberikan penawaran pada Ayu untuk memulai dari awal kenapa pula dia menolak?
Keesokan harinya aku melihat Ayu pergi pagi-pagi buta dengan ketiga anakku. Entah kenapa aku lebih memilih untuk diam dan melihat kepergian mereka melalui ruang tamu rumah ibu. Ayu tampak cantik sekali pagi itu. Meskipun wajahnya banyak lebam sana sini.
Setelah Ayu pergi menjauh, aku pulang ke rumah. Aku langsung menuju kamar, aku mengernyit, pasalnya dia tak membawa pakaiannya barang sehelai pun. Pakaian anak-anak pun tak dia bawa, hanya beberapa saja yang aku rasa dibawa olehnya.
Bola mataku beralih ke meja rias miliknya. Meja itu juga masih ada beberapa alat make up nya yang tak seberapa jumlah dan harganya. Tapi benda yang membuat hatiku tergerak untuk mengambil dan membukanya.
"Cincin kawin, uang?" gumamku mengotak atik uang dan cincin.
Lalu aku menemukan sebuah surat di dalamnya.
Terima kasih untuk segala rasa yang pernah kau hadirkan dalam hatiku. Jujur saja, sangat sulit bagiku untuk melupakan tahun-tahun yang kita lalui bersama. Tapi rasa sakit yang kau lukis secara perlahan mampu membuat aku dan cintaku pergi tanpa rasa sisa.
Aku kembalikan cincin kawin dan juga nafkah yang kamu berikan beberapa minggu terakhir. Kamu pernah mengatakan padaku bahwa harusnya aku bersyukur punya kamu, kan? Kamu masih menberiku rumah dan nafkah saat aku tak peduli lagi padamu. Ini bukti nyata bahwa aku tak lagi menggunakan uangmu untuk memenuhi kebutuhan ku dan anak-anak.
Aku pamit.
Aku terduduk sembari memegang kepala yang terasa mendadak pening.
"Ah biarlah dia pergi. Aku masih bisa hidup tanpa dia, masih ada Winda yang bersedia mengurus ku."
Aku berusaha untuk tak memikirkan kepergiannya. Toh, aku juga tahu dia pergi dan aku tak ada niatan untuk mengejar atau menghalangi kepergiannnya.
Aku mulai mandi dan bersiap ke kantor. Perlengkapan yang biasa di persiapkan oleh Ayu, kini aku sendiri yang menyiapkannya. Untuk hari pertama, jujur saja aku sedikit kaku. Tak pernah sebelumnya aku melakukan apa-apa sendiri. Aku selalau berteriak 'Dek' maka apapun yang menjadi kebutuhan ku akan tersedia di depan mata. Meskipun terkadang harus di warnai kericuhan ketiga anakku.
Aku menghela nafas dalam, sudah tak ada lagi yang aku panggil mulai hari ini dan seterusnya. Lalu terlintas di kepala ku aku akan membawa Winda ke rumah.
ceritanya sperti di dunianya nyata.