Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Keperdulian Atau Jalan Kejahatan?
Bagaimana mungkin ia melihat psikis mantan kekasihnya yang terguncang, dan ia diam saja?
Aurel membawa satu buah komputer untuk mereset akun Instagram pribadinya, yang akan ia ganti dengan akun milik Justin. Ia sedikit terdiam karena user akun yang ia masukkan ternyata cukup valid dan mampu dibobol oleh komputer miliknya. Itu pun hanya bermodalkan kata sandi acak.
@damianalexx
@justindraa
Dua akun yang berbeda. Aurel sangat penasaran dengan akun dengan user Damian. Kemudian, ia memberanikan diri untuk mengeceknya terlebih dahulu untuk mengetahui seluk beluk masalah mental yang terjadi pada Justin. Namun, sungguh mencengangkan, saat ia membuka bagian mention, banyak sekali ternyata akun gosip yang mention akun milik Damian, mengenai penangkapan Justin atas penyalahgunaan narkotika.
Ini persis seperti bayangan John tentang putranya di Indonesia. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Eh, tidak. Bukan ini yang membuat Aurel tercengang, tetapi…
Foto-foto menyedihkan Justin, tubuhnya kurus kering. Ia juga terlihat tidak pernah bersemangat. Air matanya selalu mengalir. Ia juga selalu pulang malam, selalu mabuk, dan selalu mencoba menabrakan diri saat sedang berkendara.
"Damian," air matanya benar-benar mengalir. Kemudian, ia berucap lagi, "Aku sangat mencintaimu, sangat, selalu dan selamanya. Aku ingin selalu mampu menjaga dirimu. Bagaimana bila aku katakan, aku benar-benar mencintaimu!"
Sepuluh kali ia bergumam demikian. Ia selalu berharap, Justin, lagi-lagi Justin, melihat ke arah dirinya yang selalu mencintainya. Meskipun perasaan itu terdengar hampa. Baginya, hidup tetapi terasa seolah mematikan.
"Aurel," temannya menjatuhkan segelas minuman beralkohol di bar tempat mereka biasa mabuk. Seketika, ia terdiam. Terdengar cekikan pelan yang membuatnya parau.
"Damian,"
"Kenapa kamu diam saja?" tanya rekannya. Mereka bingung, ada apa dengan Aurel. Apakah ia sedang bersedih atau memang sedang ada masalah?
"Aku ingin tahu seluk beluk Justin, sebelum akun Instagramnya berubah menjadi lapas virtual." Karena memang, lebih banyak mention dan foto-foto baju tahanan di akun Instagram Damian, mencakup beberapa tahun. Bukan akun Instagram Justin yang notabene aesthetic khas anak-anak muda.
"Justin, yang jelas ia dendam sama orang yang meninggalkan dia, ia dendam sama orang yang merawat dia, ia pemabuk, ia pecandu narkoba juga," jawab temannya sambil mabuk, dengan sorot mata kosong dan badan sempoyongan.
"Ah, ini mah, circlenya yang bermasalah. Kalian juga sama saja,"
"Enggak dong," si cowok merangkul pinggang Aurel yang sedang duduk bersamanya. Ia menghisap rokok elektrik di tangannya hingga mengepul.
"Tahu Instagram Damian yang lain, akun Instagram yang kita tidak tahu mungkin?" tanya Aurel lagi.
Si cowok pun langsung mengucapkan inti jawaban dari pertanyaan Aurel. "Oke, kosong delapan lima enam, tujuh delapan empat sembilan, tiga enam dua. Kalau kode negara kita plus enam dua, bisa mengganti bagian kosong delapannya itu,"
"Instagram Damian, bukan nomor telepon," kali ini Aurel benar-benar kesal.
"Hmm, kenapa sayang?" tanya cowok itu lagi. Ia hampir menarik tubuh Aurel untuk dipeluknya.
"Ish, lepasin!" pintanya dengan nada tinggi. Kemudian, ia memukul wajahnya agar cowok yang sedang dalam pengaruh alkohol itu menjauhi tubuhnya.
O0O
"Aku ingin bertanya perihal kebahagiaan kecilmu hari ini."
"Aku ingin berbicara lebih jauh denganmu, versi saat ini,"
"Aku ingin tahu apa yang terjadi padamu hari ini,"
"Mungkin selama ini kamu merasa aku terlalu mengabaikanmu,"
"Perhatian kecil apa yang ingin kamu dapatkan?"
"Atau salah karena waktu itu, aku terlihat kurang peduli padamu?"
Beberapa bait kata, diucapkan oleh Yeon, langsung ke Abigail tanpa basa-basi. Di jam istirahat. Abigail hanya membalasnya dengan diam seribu bahasa. Ia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan oleh sepupunya. Ia hanya diam, lagi dan lagi, sambil menatap ke arah pacarnya yang sedang bermain basket, seolah ingin mengatakan sesuatu.
"Enggak," jawab Abigail singkat.
Kemudian, pandangan Yeon mengarah kepada Justin. "Karena dia?" tanyanya. Jujur, ia ingin menangis saat ini juga. Meskipun ia masih merasa sakit, perasaan campur aduk, tidak mengerti, macam-macamlah.
Beberapa menit kemudian, Justin menatap Yeon dari kejauhan. Ia melempar bola basketnya ke sembarang arah, lalu menghampiri mereka berdua. Tatapan matanya masih tajam, seolah menyiratkan sesuatu. Pada saat itu juga, Justin berucap.
"Kenapa? Mau nanya soal kemarin?" tanyanya dengan nada tegas.
"Enggak," jawab Yeon singkat. "Cuma kayaknya aku tidak mengerti saja sama apa yang kamu lakukan kepada Abigail. Bisa-bisanya ia sampai menjauhiku, dan perbuatanmu kemarin kepadanya!" ucap Yeon dengan penuh penekanan di akhir kalimat.
"Oh, itu," pandangan Justin benar-benar mengarah ke wajah Yeon, memperlihatkan raut wajahnya yang sangar dan menakutkan.
"Aku cinta sama Abigail. Apa salah kalau misalnya aku minta untuk dia membuang barang-barang dari orang lain demi aku? Apa itu salah, kan enggak. Aku pasangannya. Sekali lagi, aku itu pasangannya Abigail,"
"Kalau misalnya kamu justru tidak percaya dan melihat aku sebagai musuhnya Abigail, it's okay!" kata Justin lagi.
Pada saat itu juga, Yeon tertarik untuk bertanya kepada Abigail. "Kamu diapain dia?"
"Kemarin dipukul, tetapi tidak apa-apa kok,"
"Hah?" Mulut Justin menganga, lalu ia membalas ucapan Abigail dengan kata lain. "Hmm, kamu pasti salah ingat. Kayaknya aku tidak pernah memukulmu. Iya, hayo coba diingat-ingat lagi!"
Tetapi, lebamnya, rekaman foto yang mengambil adegan tindakan itu dari Justin untuk Abigail. Semua hal dan semua bukti yang sudah dikumpulkan. Orang-orang kini tahu kebusukan Justin seperti apa, tetapi mereka melupakan untuk mencari tahu masa lalunya.
"Abigail—" Yeon membuka helaian rambut yang menutupi pipi Abigail. Ia sangat penasaran dengan apa yang ada di balik rambutnya, tetapi Justin menepisnya.
"Terima kasih sayang, telah menonton latihan basketku hari ini. Nanti setelah ini, antar aku jalan-jalan, kita beli barang-barang bagus yang kamu inginkan!" kata Justin. Kemudian, mereka berdua berlalu pergi meninggalkan Yeon.
Hati Yeon berkecamuk. Pikirannya campur aduk. Ia sangat-sangat tidak mengerti mengapa Abigail sangat berbeda setelah bertemu dengan Justin. Mungkin, bila boleh dibandingkan, Abigail saat dengan Matthew dan saat dengan Justin, sangat berbeda sifatnya.
"Kamu kenapa?" Anak perempuan yang kemarin, namanya Yna, teman baru Yeon. Ia imut, pintar, dan lucu. Sama seperti Abigail. Anak itu berlari dari ruang kelas atas, melewati anak tangga untuk bertemu dengan Yeon yang terluka.
"Abigail?" tanyanya, tepat sasaran.
"Iya. Kenapa ya sifatnya berubah?"
Yna menggeleng pelan. "Entahlah, manusia datang dan pergi hanya untuk melengkapi kisah kita, dan ini adalah kehidupan. Kamu jangan bersedih, tumbuhlah seperti bidadari yang menawan. Aku yakin, kamu akan bahagia setelah ini."