NovelToon NovelToon
Dont Tell My Lady

Dont Tell My Lady

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Pengawal
Popularitas:460
Nilai: 5
Nama Author: Renten

Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

【Belle, the Naive】

Belle duduk di sebuah bangku usang di belakang panggung, agak terpisah dari yang lainnya.

Pidato yang telah ia lipat rapi tersimpan erat di tangannya, seperti tali penyelamat yang tidak mau ia lepaskan.

Wajahnya yang berbintik tampak cerah dengan campuran kegugupan dan tekad saat ia mengalihkan pandangan ke seberkas cahaya tipis dari panggung yang terlihat melalui tirai tebal.

Dari tempat duduknya, ia bisa mendengar suara bisikan penonton dan tepuk tangan yang naik turun dengan irama lembut.

Setiap suara itu membuat jantungnya berdebar—bukan karena ketakutan, tetapi karena antisipasi.

Ia menarik napas dalam, menahannya, lalu menghembuskannya perlahan, sebuah teknik yang telah ia latih untuk menenangkan sarafnya.

Tanpa sadar, jari-jarinya bermain dengan bros kecil yang ia kenakan, simbol dari posisinya sebagai Saint's Scholar.

Berbeda dengan bros-bros mewah yang dikenakan oleh para murid bangsawan—dengan batu-batu berkilau di dalam bingkai logam yang rumit dan mahal, terukir lambang keluarga—bros miliknya sederhana tapi tetap bermartabat.

Batu ungu tua di tengah bros itu berkilau dengan cahaya lembut, ditempatkan di dalam bingkai perak yang dihiasi ornamen filigree yang sederhana.

Meskipun tidak memiliki lambang bangsawan, keanggunannya menyiratkan kebanggaan yang berbeda.

Bros itu menandai dirinya sebagai rakyat biasa pertama yang mendapatkan gelar terhormat itu—sebuah simbol harapan dan penolakan tenang terhadap ekspektasi yang berat menimpanya.

"Semuanya..." bisiknya dengan suara hampir tak terdengar, seakan menguatkan dirinya dengan mengingat mereka yang percaya padanya.

Ia membayangkan anak-anak di panti asuhan, mata mereka yang besar penuh harapan dan kekaguman ketika ia menceritakan tentang terpilihnya dirinya.

"Kau akan membuat kami bangga, kan?" kata Suster itu, sambil meletakkan tangan kasarnya di bahu Belle sebagai berkat.

Hatinya terasa hangat oleh kenangan itu.

Ia teringat perayaan kecil yang mereka adakan sebelum kepergiannya—sepotong kue seadanya yang dibuat dari sisa-sisa bahan, pelukan hangat dari anak-anak yang mengenakan pakaian usang, serta doa Suster yang masih terasa di udara.

Meskipun dalam keadaan sederhana, mereka telah memberikan segala yang mereka mampu.

Sebuah air mata mulai menggenang di matanya, membuat pandangannya sejenak kabur.

Ia segera mengedipkan mata dan menggenggam pidato di tangannya dengan lebih erat.

Kenangan itu semakin menguatkan tekadnya.

Bukan hanya untuk dirinya sendiri—tapi juga untuk mereka, untuk panti asuhan, dan untuk semua orang yang telah berani percaya padanya meskipun mereka sendiri hanya memiliki sedikit.

Belle menarik napas dalam lagi, kali ini dengan lebih mantap, dan kepercayaan dirinya mulai menyala.

Meskipun ia duduk sendiri, di bangku yang tampak tidak sepadan dengan kursi rapi yang digunakan oleh para pembicara lain, ia merasakan kekuatan dari tujuan hidupnya.

Ia tidak berada di sini untuk membuktikan sesuatu kepada para bangsawan yang mungkin akan mengejeknya.

Ia di sini untuk mereka yang paling berarti baginya.

Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya saat ia berbisik lagi, "Aku akan membuat kalian bangga."

Belle duduk tenang di bangku, tenggelam dalam pikirannya, ketika tiba-tiba ia menyadari ada seseorang berdiri di depannya. Dengan jubah seorang pengajar, Belle yakin dia salah satu pengajar.

Kaget, ia segera mengusap air matanya dan menengadah.

"Ah!" ujarnya, suaranya terdengar terkejut.

Pria itu tersenyum hangat, dengan ekspresi yang begitu tulus dan meyakinkan sehingga Belle merasa nyaman.

Wajahnya tampak biasa saja, hampir bisa dilupakan, namun senyumannya memancarkan pesona yang menenangkan kegugupannya.

"Sedang merasa emosional?" tanyanya dengan lembut, suaranya menenangkan.

Belle ragu sejenak, lalu mengangguk sambil tertawa kecil.

"Iya, sedikit.."

"Bolehkah saya duduk di sampingmu?" tanya pria itu dengan sopan.

"Tentu, silakan duduk, Professor," jawab Belle sambil sedikit bergeser untuk memberi ruang di bangku.

Pria itu duduk di sampingnya dengan mudah, sikapnya tenang dan mendukung.

"Sangat wajar merasa kewalahan pada saat seperti ini," ujarnya pelan dan mantap.

"Bagaimanapun, tidak setiap hari kamu mendapat kesempatan untuk mewakili sesuatu yang begitu berarti. Dan kamu, Nona Belle, berada di tengah sesuatu yang luar biasa."

Belle tersipu kecil mendengar kata-katanya, sambil menggenggam pidato lipatannya lebih erat.

"Terima kasih, Professor," bisiknya. "Saya hanya... saya ingin melakukan yang terbaik."

"Saya bisa melihat itu," katanya sambil mengangguk setuju.

"Kamu telah menuangkan begitu banyak pikiran dan perasaan ke dalam momen ini. Itulah mengapa penting bagimu untuk menyuarakan kebenaranmu—bukan hanya apa yang aman atau diharapkan."

Wajah Belle tampak ragu sejenak, pandangannya turun pada pidato di tangannya.

"Saya ingat versi asli yang saya tulis," ujarnya ragu, "tapi saya tidak bisa menggunakannya. Itu... tidak diperbolehkan."

Pria itu mendekat sedikit, matanya melembut saat berbicara.

"Nona Belle, bolehkah saya berbagi sesuatu denganmu?"

Belle terkejut dan berkedip.

"Tentu, Professor."

Dia menghela napas kecil, suaranya menyiratkan kerentanan.

"Saat saya masih muda, saya berada dalam situasi yang mirip denganmu. Saya tidak tumbuh dengan layak.

Keluarga saya berjuang untuk memenuhi kebutuhan, dan ada kalanya saya merasa suara saya tidak penting—bahwa orang seperti saya tidak berhak untuk bermimpi besar atau menantang keadaan."

Alis Belle berkerut mendengarkan dengan seksama, hatinya mulai melunak mendengar cerita itu.

"Suatu hari, saya mendapat kesempatan untuk berbicara, untuk menyampaikan pandangan saya. Tapi saya membiarkan rasa takut menguasai saya," lanjutnya dengan nada menyesal.

"Saya mengurangi kekuatan kata-kata saya, mengatakan apa yang saya pikir orang ingin dengar, dan... hal itu terus menghantui saya sampai hari ini.

Saya melewatkan kesempatan untuk memperjuangkan apa yang benar-benar saya yakini."

Genggaman Belle pada pidato di tangannya semakin erat, dan ia merasa sesak saat mendengar kata-katanya yang menyentuh hati.

Pria itu menatap Belle dengan pandangan yang tegas namun ramah.

"Tetapi sekarang kamu memiliki kesempatan itu, Nona Belle. Untuk berbicara tidak hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk mereka yang tidak memiliki suara.

Saya telah membaca pidato aslimu. Penuh kekuatan, tulus, dan penuh perasaan—pesan yang bisa menginspirasi perubahan."

Mata Belle mulai berkaca-kaca saat ia teringat pada anak-anak di panti asuhan, wajah-wajah mereka yang penuh harapan muncul dalam pikirannya.

"Tetapi... bagaimana jika orang tidak mengerti?" bisiknya.

"Bagaimana jika mereka marah atau berpikir saya tidak pantas berada di sini?"

Pria itu meletakkan tangan lembutnya di dada, wajahnya menunjukkan ketulusan.

"Orang mungkin tidak mengerti pada awalnya. Perubahan tidak pernah mudah.

Tapi jika kata-katamu bisa menyentuh bahkan satu orang—hanya satu—itu sudah sangat berarti.

Pikirkan suara yang kamu wakili, mereka yang melihatmu sebagai panutan.

Bukankah mereka layak melihatmu berdiri tegak dan menyuarakan kebenaranmu?"

Belle menggigit bibirnya, air mata kembali menggenang di matanya.

"Saya memang merasa begitu... tapi ini sangat sulit..."

Pria itu tersenyum hangat, sambil sedikit bersandar.

"Sulit memang melakukan hal yang benar, tapi saya melihat kekuatan dalam dirimu, Nona Belle.

Itulah sebabnya saya di sini—untuk mengingatkan bahwa kamu memiliki kekuatan untuk membuat perbedaan.

Dan kamu tidak harus menghadapi ini sendirian."

Belle ragu sejenak, kemudian mengangguk perlahan.

"Saya... saya rasa Professor benar. Pidato asliku... terasa lebih seperti diri saya sendiri. Lebih seperti apa yang benar-benar ingin saya sampaikan."

Pria itu tertawa kecil dengan nada yang lebih ringan.

"Itulah sebabnya Professor Jacob meminta saya untuk memberitahumu—kamu diizinkan menggunakan pidato aslimu. Tapi hanya jika kamu benar-benar merasa itu adalah pilihan yang tepat."

Mata Belle terbelalak.

"Benarkah? Dia berkata begitu?"

Pria itu mengangguk dengan serius.

"Dia mengakui semangatmu. Kadang-kadang, kebenaran yang paling kuat adalah yang menantang norma.

Jika kamu merasa bahwa pidato aslimu adalah yang harus didengar, maka kamu memiliki hak penuh untuk menyampaikannya."

Keraguan Belle perlahan menghilang, tergantikan oleh tekad yang semakin kuat.

Ia melihat pidato yang telah dipersiapkan dengan rapi, lalu kembali menatap pria itu.

Suaranya terdengar lembut, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.

"Saya selalu merasa bahwa versi asliku... lebih nyata. Seperti itulah yang sebenarnya ingin saya sampaikan."

Tepat saat itu, terdengar isyarat dari panggung, namanya dipanggil dengan jelas, dan getaran halus menyebar di antara penonton.

"Dan mengapa tidak?" dorong pria itu dengan nada tegas namun mendesak.

"Kamu di sini karena kamu telah melampaui ekspektasi.

Mengapa berhenti sekarang? Biarkan kata-katamu menjadi perubahan yang kamu inginkan."

Belle menarik napas dalam, tekadnya semakin menguat.

Dengan kepercayaan baru, ia merobek pidato yang telah dilipat itu menjadi dua, dengan suara yang tajam dan tegas.

Kata-kata yang telah disetujui itu tidak lagi menjadi miliknya untuk diucapkan.

"Saya akan menggunakan pidato asli saya," katanya dengan suara yang mantap sambil bangkit berdiri, mata dipenuhi tekad.

"Terima kasih, Professor."

Pria itu mengangguk mendukung, senyum tenangnya bertahan sejenak sebelum ia berbalik dan menghilang ke dalam bayang-bayang di belakang panggung.

Saat Belle melangkah menuju tirai, suara namanya menggema dari panggung, tirai berat itu bergeser sedikit—dan tiba-tiba ia mendapati dirinya berhadapan langsung dengan Dorothea.

Dorothea, yang baru saja menyampaikan pidatonya, memancarkan keanggunan yang tenang, dengan gerakan yang begitu terlatih hingga tampak alami.

Bros yang dikenakannya, yang berkilau sempurna, menangkap cahaya—simbol dari garis keturunannya yang bersejarah, seakan menjadi pengingat tenang akan posisinya.

Ia berhenti sejenak, pandangannya tertuju pada Belle dengan ketenangan dan otoritas yang sama seperti saat ia berada di atas panggung.

Untuk sesaat, keduanya berdiri di ruang sempit antara tirai, dengan tepuk tangan penonton yang terdengar samar sebagai latar.

Belle merasa jantungnya berdebar kencang.

Ia pernah melihat Dorothea sebelumnya—dari jauh, di koran, dan bahkan pagi ini—tetapi tidak pernah sedekat ini.

Kejelasan mata birunya, posturnya yang sempurna, serta kekuatan tenangnya terasa semakin nyata dalam keintiman momen itu.

Pandangan Dorothea menyapu Belle dengan tatapan yang halus namun menilai.

Sebuah anggukan singkat mengikuti tatapannya—bukan anggukan yang hangat, bukan pula acuh, melainkan sopan, terukur, dan agak dingin—seperti pengakuan yang diberikan tanpa kelekatan.

Namun, Belle tidak goyah.

Untuk pertama kalinya, ia menatap balik ke arah Dorothea, berdiri tegak dengan punggung lurus, sambil menggenggam sisa-sisa kertas pidatonya yang telah sobek.

Di mana sebelumnya ia mungkin akan menunduk atau mengalihkan pandangan, kini ia berdiri dengan mantap.

Belle, si anak yatim biasa, dan Dorothea, si bangsawan—bukan sebagai orang yang setara secara kelahiran, tetapi sebagai individu yang memiliki tujuan.

Pertukaran tatapan itu singkat.

Dorothea pun melangkah melewati Belle, langkahnya yang lembut perlahan menghilang di lorong belakang panggung.

Namun Belle tetap berdiri dengan teguh, perasaan bangga yang tenang mulai tumbuh dalam dirinya.

Ia telah menatap mata Dorothea, bukan sebagai orang yang lebih rendah atau sebagai orang asing, melainkan sebagai seseorang yang layak berada di sini.

Belle pun kembali menatap tirai, meletakkan tangannya di atas kain berat itu.

Suara pengumuman di atas panggung mencapai akhir, menandakan bahwa giliran Belle telah tiba.

Dengan menarik napas dalam yang menenangkan, ia menarik tirai ke samping dan melangkah maju, disinari cahaya lampu panggung, siap menghadapi penonton yang telah menunggu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!