NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:960
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tentang Lamaran

Mobil melaju pelan hingga berhenti di deretan kendaraan yang tampak tak sabar menunggu lampu lalu lintas berganti hijau. Naima memandang keluar jendela, matanya menangkap jalanan yang sesak oleh kendaraan dan asap knalpot yang menggantung di udara. Motor-motor melintas gesit di antara celah sempit mobil, seperti air yang mencari jalan di celah bebatuan.

Selepas makan siang di rumah Hanum, Malik menawarkan untuk mengantar Naima pulang menggunakan mobil milik Haris. Naima memilih duduk di kursi belakang bersama Zahra, sementara Malik mengambil alih kemudi. Di dalam mobil, hawa dingin dari AC menyentuh kulit Naima, menciptakan suasana yang kontras dengan panas terik yang membakar di luar jendela.

Naima memejamkan matanya sejenak, mencoba mengabaikan keramaian di luar dan rasa canggung di dalam mobil. Pikirannya melayang kembali pada tujuan awalnya—mencari inspirasi untuk menulis novel romance. Namun, semua itu terasa begitu jauh dari kenyataan. Kerumitan yang ia hadapi belakangan ini telah meredam semangat kreatifnya. Huff, lupakan saja, pikir Naima sambil menahan napas panjang.

Di sebelahnya, Zahra terkantuk-kantuk, sampai beberapa kali dahinya membentur pelan kaca jendela sampai akhirnya tertidur. Malik di depan tampak fokus mengemudi, meski sesekali melirik ke spion untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Suasana di dalam mobil terasa tenang, tapi tidak benar-benar nyaman—setidaknya bagi Naima, yang merasa setiap desahan napasnya mungkin terdengar terlalu keras di ruang sempit ini.

“Naima, maaf soal Kak Haris,” ucap Malik pelan, suaranya terdengar lembut di tengah deru mesin mobil. “Dia nggak betul-betul berniat bikin kamu nggak nyaman.”

Naima tetap terdiam, pandangannya masih terpaku pada jalanan yang dipadati kendaraan. Ia tak memberi respons apa pun, bahkan sekadar menoleh pun tidak. Rasanya ia sudah cukup lelah hari ini. Pikiran tentang Haris yang melontarkan candaan di meja makan tadi masih membuatnya risih. Nama lelaki itu bahkan terasa berat untuk disebutkan dalam benaknya saat ini.

Baginya, pengalaman di rumah Hanum sudah lebih dari cukup. Ia merasa dirinya seperti terpojok, mati kutu di tengah perhatian yang ia anggap terlalu berlebihan. Andai saja Khalid—salah satu anggota keluarga lainnya—juga hadir, suasana mungkin akan semakin buruk. Ia tak tahu apakah dirinya bisa bertahan jika itu terjadi.

Namun, ia tahu satu hal: ini bukan tentang keluarga Malik yang buruk atau bermasalah. Tidak, mereka tidak seperti itu. Hanya saja, semakin banyak orang yang terlibat, semakin besar beban yang harus ia tanggung. Naima hanya ingin berada di ruang kecilnya sendiri, jauh dari sorotan dan interaksi yang membuatnya cemas.

“Naima?” suara Malik kembali memecah keheningan.

Naima menarik napas pelan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Nggak apa-apa,” gumamnya akhirnya, nyaris tak terdengar. Pandangannya tetap lurus ke depan, tidak berani bertemu dengan mata Malik melalui spion.

Malik melirik sekilas ke kaca spion, melihat wajah Naima yang tampak lesu. Ia tahu Naima tidak sepenuhnya jujur dengan kata-katanya. Tapi ia memilih untuk tidak memaksanya lebih jauh. Naima membutuhkan waktu, dan Malik sadar, ia harus belajar bersabar.

“Aku benar-benar serius dengan kamu,” ucap Malik dengan suara pelan namun mantap. Jemarinya masih mengetuk setir dengan ritme pelan, mencoba meredakan rasa gugup yang mulai mengintai. Dia melirik ke kaca spion, memastikan Naima menangkap setiap kata yang diucapkannya. “Tapi kalau kamu merasa keberatan, nggak apa-apa. Aku nggak mau kamu merasa tertekan.”

Malik menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. “Kamu boleh melupakan sejenak soal lamaran itu, sampai kamu benar-benar siap kasih aku jawaban. Aku nggak akan mendesak kamu, Naima. Aku akan bicara sama Mama, Papa, dan juga keluargamu, supaya mereka juga nggak membebani kamu dengan lamaran ini.”

Hening. Suara mesin mobil yang bergemuruh halus seolah menjadi satu-satunya bunyi yang mengisi ruang sempit di dalam kendaraan itu. Malik menatap jalanan, sesekali melirik Naima di kaca spion. Gadis itu masih diam, pandangannya terpaku pada pemandangan kota yang berkelebat di luar jendela.

“Aku cuma mau kamu tahu,” lanjut Malik dengan nada yang lebih lembut, “kalau aku nggak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini, menunggu kamu, tanpa memaksa. Kamu yang pegang kendali, Naima.”

Naima terdiam, bibirnya sedikit terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada kata yang keluar. Hatinya terasa campur aduk, antara rasa terkejut dan cemas yang meluap-luap. Malik berbicara dengan nada yang begitu tulus, tidak menuntut atau memaksa. Itu membuatnya bingung, karena dalam pikirannya, ia selalu merasa tidak cukup baik untuk seseorang seperti Malik.

“Kamu sabar banget ya,” ucap Naima akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang tenggelam di antara suara kendaraan di luar. Pandangannya tetap terarah keluar jendela, tidak berani menatap Malik.

“Kalo kamu meminta aku menjawab sekarang,” Naima akhirnya bersuara, suaranya pelan tapi jelas. Malik bisa mendengar setiap kata dengan sangat hati-hati. “Aku bisa kasih kamu jawaban. Tapi sayangnya, itu bukan jawaban yang mau kamu dengar.”

Malik mencengkeram setir sedikit lebih erat, tapi ia tetap berusaha menjaga nada suaranya tenang. “Aku nggak mau memaksamu,” katanya dengan sabar. “Aku hanya ingin tahu apa yang kamu rasakan. Kalau kamu perlu waktu, aku siap menunggu.”

Naima mengalihkan pandangannya dari jalanan ke tangannya sendiri yang ia genggam erat di pangkuannya. “Ini bukan soal waktu, Malik. Aku hanya... aku merasa tidak cukup baik untuk kamu. Keluarga kamu, kehidupan kamu... semuanya terasa jauh dari aku.”

“Naima...” Malik menatap Naima lewat kaca spion, mencoba menangkap ekspresi di wajahnya. “Kamu nggak perlu jadi siapa-siapa, kecuali dirimu sendiri. Aku memilih kamu karena kamu adalah kamu. Bukan karena ekspektasi apa pun.”

Kata-kata itu membuat hati Naima sedikit bergetar, tapi keraguan di dalam dirinya masih terasa berat. “Mungkin kamu berpikir seperti itu sekarang. Tapi aku takut, nanti kamu akan sadar bahwa aku nggak seperti yang kamu harapkan.”

Mobil kembali berjalan saat lampu merah berubah warna menjadi hijau. Malik menoleh sedikit ke belakang, meski sulit melihat wajah Naima sepenuhnya. “Kamu tahu, ketakutan itu wajar. Tapi aku nggak akan pernah tahu jawabannya kalau kamu nggak kasih aku kesempatan.”

Naima terdiam lagi, mencoba mencerna kata-kata Malik. Tapi dalam hatinya, keraguan dan ketakutan itu masih menjadi penghalang besar yang sulit ia lewati.

“Kenapa kamu mau bertindak sejauh itu, untuk orang asing yang baru kamu temui beberapa bulan?” Naima akhirnya membuka suara, nada bicaranya pelan, hampir seperti bisikan. Tatapannya tetap terpaku pada pemandangan jalanan yang mulai bergerak perlahan setelah lampu hijau menyala.

Malik terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. Dia tahu ini bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban asal, dan Naima pantas mendapatkan jawaban yang jujur. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, “Kamu bukan orang asing buat aku, Naima.”

“Gimana aku bisa percaya, Malik, kalau orang yang aku percaya aja membuat aku jatuh dan lupa cara bernapas?” Naima berkata dengan suara yang hampir pecah, seperti gemuruh di tengah badai yang ditahan terlalu lama. Tatapannya kembali ke luar jendela, mencoba menyembunyikan kepedihan yang mencuat di matanya.

Malik merasakan dadanya sesak mendengar kalimat itu. Ia melirik Naima sekilas melalui kaca spion dalam, tapi hanya bisa melihat siluet wajahnya yang tertunduk. Tidak ada kata-kata yang bisa langsung ia ucapkan untuk membalas perasaan berat yang baru saja Naima ungkapkan. Ia tahu ini lebih dari sekadar rasa tidak nyaman—ini adalah luka yang dalam.

“Naima,” Malik memulai dengan hati-hati, suaranya bergetar ringan, “aku nggak bisa menghapus apa yang udah terjadi di masa lalu kamu. Aku nggak akan pernah tahu seberapa besar rasa sakit itu... tapi aku bisa mencoba jadi seseorang yang nggak akan bikin kamu merasa seperti itu lagi.”

Naima tersenyum kecil, getir. “Semua orang bilang hal yang sama, Malik. Pada awalnya... mereka selalu bilang begitu.” Ia mendesah panjang, seperti mencoba melepaskan beban yang terlalu berat untuk ia pikul sendiri. “Tapi, kenyataannya nggak pernah seperti itu.”

Malik mengetukkan jemarinya pelan di setir, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Aku nggak tahu apa yang sudah terjadi sama kamu, Naima,” ucapnya dengan nada lembut, “tapi aku bisa bayangin betapa beratnya memikul semua itu sendirian.” Malik melirik sekilas ke kaca spion, berharap bisa menangkap ekspresi Naima yang duduk diam di kursi belakang. “Kalau kamu mau, kamu bisa berbagi denganku. Aku di sini, nggak akan kemana-mana.”

Naima menggigit bibirnya, mencoba menahan sesuatu yang mendesak keluar—entah itu amarah, kesedihan, atau mungkin rasa syukur. Namun, ia tetap diam. Matanya masih terpaku pada jalanan di luar, pada keramaian kendaraan yang berisik, seolah mencoba mencari jawaban di antara klakson dan asap kendaraan.

Air mata mulai menggenang di sudut mata Naima, tapi ia segera membuang pandangannya, menatap jalanan lagi. Ia tidak ingin Malik melihatnya menangis. Tapi, di dalam hatinya, ada sedikit rasa hangat yang mulai menyelinap, meski ia masih enggan untuk mempercayainya sepenuhnya.

Zahra mengeluh dalam hati, merasa jenuh dengan situasi yang tak kunjung selesai. Dia berbaring di kursi belakang mobil, matanya setengah terpejam meski dia tidak benar-benar tidur. Semua itu hanya agar bisa mematuhi kata-kata Haris—memberi ruang bagi Naima dan Malik untuk bicara. Zahra sudah menjadi sekutu Haris, dan dia tahu betul bagaimana caranya memberi ruang untuk kedua orang itu. Tapi semakin lama, Zahra merasa semakin terbebani.

‘Kenapa aku harus pura-pura tidur?’ batinnya. ‘Apa yang aku harapkan? Apa yang bisa aku bantu kalau aku cuma diam?’

Meskipun hanya anak SMP, Zahra merasa terjebak di antara keinginan untuk berbuat sesuatu dan batasan yang harus dia jaga. Haris bilang Naima dan Malik perlu berbicara tanpa gangguan, dan Zahra tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menunggu. Namun, hatinya tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang semakin menggelora.

Dia mengintip sekilas ke sampingnya, melihat bagaimana Naima duduk dengan tatapan kosong ke luar jendela, sementara Malik tidak tau, mungkin fokus pada jalan sambil sesekali melirik ke arah Naima. Itu bukan urusannya, yang terpenting dia sudah melakukan apa yang Haris katakan.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!