Layaknya matahari dan bulan yang saling bertemu disaat pergantian petang dan malam, namun tidak pernah saling berdampingan indah di langit angkasa, seperti itulah kita, dekat, saling mengenal, tapi tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.
Aku akan selalu mencintaimu layaknya bulan yang selalu menemani bintang di langit malam. Diantara ribuan bintang di langit malam, mungkin aku tidak akan pernah terlihat olehmu, karena terhalau oleh gemerlapnya cahaya bintang yang indah nan memikat hati itu.
Aku memiliki seorang kekasih saat ini, dia sangat baik padaku, dan kita berencana untuk menikah, tetapi mengapa hatiku terasa pilu mendengar kabar kepergianmu lagi.
Bertahun-tahun lamanya aku menunggu kedatanganmu, namun hubungan kita yang dulu sedekat bulan dan bintang di langit malam, justru menjadi se-asing bulan dan matahari.
Kisah kita bahkan harus usai, sebelum sempat dimulai, hanya karena jarak yang memisahkan kita selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Roshni Bright, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nenek Aisyah Meninggal
Aisyah kembali memikirkan saat Neneknya meninggal dunia, kala itu, hanya Ji-hyeon satu-satunya temannya yang datang ke rumahnya.
Aisyah pada saat itu sedang ingin mendaftar sidang skripsi bersama dengan teman-temannya, namun Ia malah mendapatkan kabar, jika Neneknya meninggal dunia, alhasil, Aisyah mengundur pendaftaran sidang skripsinya.
Aisyah segera memesan Go-Jek untuk mengantarkannya pulang ke rumah.
Pada saat Aisyah melewati rumah Ji-hyeon, ada Ji-hyeon yang sedang duduk di depan warung Ibunya.
Ji-hyeon tersenyum menganggukkan kepala menyemangati Aisyah. “SEMANGAT!” ucap Ji-hyeon tersenyum menyemangatinya.
Melihat hal itu seketika membuat Aisyah tersenyum dan menganggukkan kepala.
Aisyah langsung berlari ke dalam rumah, memeluk jenazah Neneknya.
Pada saat sedang berduka, Ji-hyeon datang membawa lima dus air minum gelas dengan motornya.
Tiga dus, Ia taruh di depan, sedangkan dua dus lainnya, Ia ikat di belakang.
Ji-hyeon menurunkan satu persatu dus air itu dan meletakkannya di depan teras rumah Aisyah.
Ji-hyeon menghampiri Aisyah dengan menepuk pundaknya, melihat Ji-hyeon yang datang, Aisyah langsung memeluknya dan menangis di pelukannya.
Ji-hyeon memeluk Aisyah dan berusaha untuk menenangkannya. “Aisyah, sabar ya! Aku tahu, Kamu pasti ngerasa kehilangan Nenek Kamu banget, karena selama ini, teman Kamu bicara hanya Nenek Kamu, tapi, Kamu pasti kuat! Udah ya! Jangan nangis lagi!” pinta Ji-hyeon menghapus airmata Aisyah dan mengelus-elus kepala Aisyah.
Ji-hyeon mengelus tangan Aisyah, dan mendoakan Neneknya Aisyah, karena Nenek, Aisyah sudah seperti Neneknya sendiri.
“Aisyah, aku pulang ya! Nanti malam aku ke sini lagi!” ucap Ji-hyeon.
“Iya, makasih ya, udah mau datang untuk melayat almarhumah Nenek aku,” ucap Aisyah tersenyum menatapnya.
“Iya Aisyah, sama-sama,” jawab Ji-hyeon tersenyum dan pamit pulang.
Aisyah yang disuruh membelikan sesuatu oleh Ibunya pun bertemu dengan Ji-hyeon dan Ibunya.
“Aisyah,” panggil Ibu Ji-hyeon.
Aisyah segera menghampiri Mereka. Ibu Ji-hyeon berdiri di depan pintu mobil, sedangkan Ji-hyeon berada di dalam mobil pengemudi.
“Eh Aisyah, Nenek Kamu di kubur di mana itu?” tanya Ibu Ji-hyeon.
“Di Kampung Bali Bu,” jawab Aisyah.
“Aku antar yuk!” ucap Ji-hyeon.
“Iya, biar diantar Ji-hyeon aja naik mobilnya ke pemakaman,” sambung Ibu Ji-hyeon.
“Hm.. Gak usah Ji-hyeon! Bu! Gak usah repot-repot, lagipula katanya, Bapak mau jalan kaki ke pemakamannya bawa keranda Nenek ke pemakamannya,” jawab Aisyah.
“Jadi, Bapak Kamu mau gotong keranda Nenek Kamu sampai pemakaman?” tanya Ibu Ji-hyeon.
“Iya,” jawab Aisyah.
“Aku ikut! Udah dibawa belum?” tanya Ji-hyeon.
“Belum, lagi mau dibawa ke masjid untuk disholatkan,” jawab Aisyah.
“Terus, itu Kamu mau ke mana?” tanya Ibu Ji-hyeon.
“Mau beli kapur barus Bu,” jawab Aisyah.
“Aku antar, tunggu sebentar ya, ngambil motor dulu, biar Kamu gak perlu jalan kaki,” ucap Ji-hyeon berlari ke dalam rumah untuk mengambil motornya.
“Ayok!” ajak Ji-hyeon yang sedang memanaskan motornya.
“Iya,” jawab Aisyah menganggukkan kepala dan naik ke atas motor Ji-hyeon.
Ji-hyeon mengantarkan Aisyah membeli kapur barus, bahkan membayarnya juga.
Ji-hyeon mengantarkan Aisyah pulang, dan Mereka segera masuk ke dalam untuk memberikan kapur barus itu.
Ji-hyeon menunggu di luar, karena saat ini, jenazah Neneknya sedang dikafani.
Ji-hyeon ikut rombongan untuk menyolatkan jenazah Nenek Aisyah di Musholla terdekat.
Ji-hyeon bahkan ikut mengantarkan jenazah Nenek Aisyah dengan berjalan kaki bersama dengan rombongan, meninggalkan motornya di halaman rumah Aisyah.
Ji-hyeon memegangi tangan Aisyah yang nampak bersedih atas kematian Neneknya.
Aisyah berjalan dengan memegangi tangan Ji-hyeon dan sesekali menyandarkan kepalanya di pundak Ji-hyeon.
Ji-hyeon mengelus pipi Aisyah yang membuatnya sedikit berdamai dengan kepergian Neneknya.
Melihat tanah yang mulai menutupi liang lahat Neneknya membuat Aisyah kembali bersedih dan memeluk Ji-hyeon.
Ji-hyeon pun memeluknya dan mengelus-elus punggung dan kepala Aisyah.
Para pelayat sudah kembali ke rumah Aisyah, dan hanya menyisakan Aisyah, Orangtuanya, serta Ji-hyeon yang sedari tadi menemani Aisyah.
Mereka pulang ke rumah setelah mendoakan Almarhumah Neneknya dan berpamitan untuk kembali ke rumahnya.
Ji-hyeon bahkan membantu Aisyah dan Keluarganya untuk mempersiapkan acara tahlilan nanti malam.
Setelah semuanya siap, Ji-hyeon berpamitan untuk pulang berganti pakaian, sebelum ikut acara tahlilan nanti.
“Aku pulang dulu ya,” ucap Ji-hyeon tersenyum menatap Aisyah.
“Iya, tapi nanti Kamu ke sini lagi ya!” pinta Aisyah.
“Iya!” jawab Ji-hyeon tersenyum menganggukkan kepala.
“Om, Tante, aku pamit pulang ya!” ucap Ji-hyeon tersenyum dan berpamitan dengan Orangtua Aisyah.
“Iya, terima kasih sudah mau membantu Keluarga Kami yang sedang berduka,” ucap Ayah Ji-hyeon tersenyum menatapnya.
“Iya Om, sama-sama, ya udah, saya pamit pulang ya, assalamualaikum!” ucap Ji-hyeon mencium punggung tangan Orangtua Aisyah.
“Iya, walaikumsalam,” jawab Mereka kompak.
Aisyah tersenyum menganggukkan kepala menatap Orangtua Aisyah dan Aisyah, lalu pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian.
Setelah berganti pakaian di rumahnya, Ayah Ji-hyeon menghentikannya. “Mau ke mana Kamu?” tanya Ayahnya.
“Mau ke rumah Aisyah!” jawab Ji-hyeon ketus, karena semenjak perselingkuhan Ayahnya dengan Wanita lain, membuat Ji-hyeon tidak akrab lagi bersama dengan Ayahnya.
“Apa Kamu tidak melihatnya? Di rumah Kamu juga sedang ada pengajian nujuh bulanan Adik Kamu!” ucap Ayahnya.
“Anak Ayah! Bukan Adik aku! Adik aku hanya Jolie! Dan Anak dari Selingkuhan Ayah itu bukanlah Adik aku! Aku tidak mau mengakuinya sebagai Adikku! Tidak perlu melarangku untuk pergi! ...”
“... Aku berhak untuk memutuskan mana yang terbaik, dan mana yang tidak! Pengajian Nenek Aisyah jauh lebih penting bagiku, daripada nujuh bulanan Anakmu bersama dengan Selingkuhanmu itu!” jawab Ji-hyeon ketus dan langsung pergi dari rumahnya menuju ke rumah Aisyah.
“Dasar! Anak kurang ajar!” ucap Ayah Ji-hyeon kesal.
“Udah Mas! Udah!” ucap sang Pelakor berusaha menenangkannya.
Jidan hanya menatap Istri Keduanya itu, begitupun dengan Karissa, dan Jolie yang mau, tidak mau, harus ikut di dalam acara nujuh bulanan, Anak suaminya bersama dengan Wanita lain.
“Maaf ya, Om, Tante, cuma aku yang bisa datang, karena di rumah juga lagi ada pengajian nujuh bulanan,” ucap Ji-hyeon pada Keluarga Aisyah.
“Iya, Ji-hyeon, gak apa-apa kok, silakan masuk, duduk di mana saja yang Kamu inginkan!” ucap Ayah Aisyah tersenyum mempersilahkannya masuk.
Ji-hyeon duduk di samping Aisyah yang duduk merenung.
“Hai!” panggil Ji-hyeon menepuk pundak Aisyah.
Aisyah langsung memeluk Ji-hyeon dan mengatakan “Ternyata Kamu benar-benar menepati janjimu untuk datang ya! Makasih ya!” ucap Aisyah melepaskan pelukannya dan tersenyum menatapnya.
“Iya, sama-sama,” jawab Ji-hyeon tersenyum dan mengelus kepala Aisyah.
Tahlilan Nenek Aisyah akan segera dimulai, dan Aisyah masuk ke dalam untuk mempersiapkan makanan yang akan dibagikan kepada Orang-orang yang datang ke acara tahlilan Neneknya.