Kerajaan Avaris yang dipimpin oleh Raja Darius telah menjadi kekuatan besar di benua Estherya. Namun, ancaman datang dari Kekaisaran Zorath yang dipimpin oleh Kaisar Ignatius, seorang jenderal yang haus kekuasaan. Di tengah konflik ini, seorang prajurit muda bernama Kael, yang berasal dari desa terpencil, mendapati dirinya terjebak di antara intrik politik dan peperangan besar. Dengan bakat taktisnya yang luar biasa, Kael perlahan naik pangkat, tetapi ia harus menghadapi dilema moral: apakah kemenangan layak dicapai dengan cara apa pun?
Novel ini akan memuat konflik epik, strategi perang yang mendetail, dan dinamika karakter yang mendalam. Setiap bab akan menghadirkan pertempuran sengit, perencanaan taktis, serta perkembangan karakter yang realistis dan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga
Bab 3: Pertemuan Tak Terduga
Matahari pagi menyelinap di antara dedaunan, menciptakan pola cahaya yang bergerak lembut di tanah hutan. Kael bangun lebih awal dari yang lain, memastikan sekeliling aman. Bau tanah basah dan suara burung-burung yang berkicau membuat suasana terasa sedikit lebih damai, meski ancaman musuh masih membayangi.
“Kita harus bergerak sebelum mereka menemukan jejak kita,” Kael berkata kepada Pak Thalion yang sedang mengatur perbekalan.
Pak Thalion mengangguk. “Benar. Kita tidak bisa berlama-lama di satu tempat.”
Kael membangunkan Liora yang tidur bersandar di dinding gua. Gadis itu mengusap matanya dan segera berdiri, siap melanjutkan perjalanan.
“Apakah kau yakin tidak apa-apa?” tanya Kael, memperhatikan Liora yang tampak pucat.
“Aku baik-baik saja,” jawab Liora sambil tersenyum tipis. “Ayo pergi.”
Mereka melanjutkan perjalanan melewati hutan yang semakin lebat. Jalan setapak semakin sulit dilalui, dengan semak-semak berduri dan akar pohon yang menjalar di mana-mana. Namun, mereka terus berjalan, dipandu oleh tekad yang kuat untuk mencapai ibu kota.
Suara Misterius di Hutan
Saat matahari mulai terbenam, mereka tiba di sebuah sungai kecil. Airnya jernih dan mengalir tenang, memberikan kesempatan bagi mereka untuk beristirahat sejenak. Kael membasuh wajahnya di sungai, menikmati kesegaran air yang dingin.
Tiba-tiba, Liora menghentikan aktivitasnya dan memasang telinga. “Kau dengar itu?”
Kael mengangkat kepalanya. Suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak. Kael meraih pedangnya dan berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang muncul.
Dari balik semak-semak, muncul seorang pria muda dengan rambut hitam acak-acakan dan pakaian compang-camping. Wajahnya dipenuhi luka kecil, dan ia tampak kelelahan. Namun, yang paling mencolok adalah tatapan matanya—penuh kewaspadaan dan ketakutan.
“Tolong… aku bukan musuh,” kata pria itu dengan suara serak.
Kael tidak menurunkan pedangnya. “Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan di sini?”
Nama pria itu adalah Finn, seorang pengembara yang mengaku berasal dari desa yang juga hancur akibat serangan musuh. Ia menceritakan bagaimana ia berhasil melarikan diri dan bersembunyi di hutan selama berhari-hari.
“Mereka… mereka tidak akan berhenti sampai semua desa ditaklukkan,” kata Finn dengan nada putus asa. “Aku melihat mereka. Pasukan itu… mereka membawa sesuatu. Senjata aneh yang bisa menghancurkan apa saja.”
Pak Thalion mengerutkan kening. “Senjata seperti apa?”
“Aku tidak tahu pasti,” jawab Finn. “Tapi itu bukan senjata biasa. Aku melihat mereka menggunakannya di desa tetangga. Dalam hitungan detik, seluruh desa lenyap.”
Kael mengepalkan tangan. “Kita harus memperingatkan ibu kota. Mereka harus tahu tentang ini.”
Finn menatap mereka dengan penuh harapan. “Jika kalian menuju ibu kota, aku ingin ikut. Aku tidak punya tempat lain untuk pergi.”
Kael ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan coba-coba melakukan sesuatu yang mencurigakan.”
Finn tersenyum tipis. “Kau tidak perlu khawatir.”
Perjalanan Berlanjut
Dengan Finn bergabung, perjalanan mereka menjadi lebih lancar. Finn tampaknya mengenal hutan dengan baik dan membantu mereka menemukan jalur yang lebih aman. Ia juga berbagi beberapa buah dan tanaman liar yang bisa dimakan, sesuatu yang sangat membantu mengingat persediaan mereka mulai menipis.
Namun, suasana tetap tegang. Setiap langkah terasa seperti perjudian, dengan kemungkinan musuh mengintai di setiap sudut.
Saat malam tiba, mereka berkemah di bawah pohon besar. Kael duduk berjaga bersama Finn, sementara yang lain beristirahat.
“Kael, aku bisa melihat kau punya beban besar di pundakmu,” kata Finn tiba-tiba.
Kael menatap Finn dengan curiga. “Apa maksudmu?”
“Kau bertindak seperti seorang pemimpin, tapi aku bisa lihat kau masih muda. Kau seharusnya tidak perlu menanggung semua ini sendirian.”
Kael menghela napas. “Aku tidak punya pilihan. Mereka mengandalkan aku.”
Finn tersenyum samar. “Terkadang, berbagi beban bisa membuat perjalanan lebih mudah.”
Kael tidak menjawab, tetapi kata-kata Finn terus terngiang di kepalanya.
Jejak Musuh
Saat fajar menyingsing, Kael dan kelompoknya melanjutkan perjalanan. Namun, mereka segera menemukan tanda-tanda yang tidak menyenangkan—jejak kaki besar yang mengarah ke arah yang sama dengan mereka.
“Ini bukan jejak manusia,” bisik Liora dengan wajah tegang.
Pak Thalion memeriksa jejak itu dengan hati-hati. “Ini jejak Troll. Mereka sering digunakan pasukan musuh sebagai penjaga.”
Kael merasakan bulu kuduknya meremang. “Kita harus lebih berhati-hati.”
Dengan setiap langkah, ketegangan semakin terasa. Mereka tahu, pertempuran berikutnya mungkin lebih dekat dari yang mereka kira.