> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hana no Yuki: Final Chapter
Bagian 5: Kebenaran di Balik Hana no Yuki
Angin dingin berhembus lembut ketika aku dan Hayato mendekati puncak gunung. Di depanku, tampak penampakan indah bunga *Hana no Yuki* yang putih dan rapuh, namun memancarkan sinar lembut di tengah salju yang berkilauan.
“Lihat, Yukio,” kata Hayato sambil tersenyum tipis, tatapannya terkunci pada bunga itu. Dalam beberapa saat, ia tertegun dalam diam. “Akhirnya kita sampai.”
Aku mengangguk, merasa lega bahwa perjalanan panjang ini sebentar lagi akan berakhir. Tapi entah mengapa aku merasakan sebuah firasat yang aneh. Hatiku juga seolah tak bisa tenang dari tadi. Bukan aku sih, lebih tepatnya Yukio. Aku mendapati jiwanya seolah ingin menyampaikan sesuatu padaku, namun aku tidak paham.
Apapun itu, aku tidak terlalu peduli. Yang jelas, setelah ini misiku berhasil dan aku akan pergi ke dunia dimana impianku akan terwujud. Berkuliah di Jepang? Wow! Membayangkan saja sudah menyenangkan sekali. Apalagi jika itu terwujud nanti. Tapi ada sesuatu janggal yang aku, (sebagai Rei) sadari dalam diam. Dari cara Hayato berbicara… ada sesuatu yang terasa berbeda. Senyumnya sedikit aneh, lebih lebar dari biasanya, dan tatapannya seperti… menyimpan sesuatu.
“Dengan ini, desa kita akan kembali damai, ya?” kataku, mencoba memecah keheningan.
Hayato mengangguk pelan, namun seulas senyum di wajahnya seolah makin berkembang, seperti ada kepuasan yang lebih dalam dari sekadar misi ini.
Aku menelan ludah. “Jadi… kita bawa bunga ini sekarang, kan?”
Dia tidak menjawab. Tatapannya tidak beralih dari *Hana no Yuki*. Setelah beberapa detik hening, dia akhirnya berbicara. Suaranya terdengar lebih rendah dan dingin daripada biasanya.
“Kau tahu, Yukio,” katanya pelan, “bunga ini sebenarnya lebih berharga dari sekadar penyembuh untuk desa.”
Jantungku berdegup tak menentu. “A-apa maksudmu?”
Dia tertawa pelan, seolah menikmatiku yang kebingungan. “Menurutmu, desa ini benar-benar layak menerima kekuatan dari bunga seindah ini?”
Aku mundur selangkah, rasa takut mulai menjalari diriku. “Hayato, apa yang kau bicarakan?”
Dia mendesah, mengalihkan pandangannya ke arahku. Mata cokelatnya yang biasanya tenang kini berubah menjadi merah pekat yang menyala di tengah kabut salju. Seketika, tubuhnya memancarkan aura gelap, dan senyum di bibirnya berubah jadi seringai kejam.
“Oh, maaf,” katanya sambil melangkah mendekat. “Kurasa aku sudah terlalu lama berpura-pura menjadi manusia biasa di depanmu, Yukio.”
Sebuah perasaan mengerikan menyelimutiku. Aku mundur lagi, kali ini langkahku gemetar. “T-tunggu. Apa ini? Kau… bukan Hayato?”
Dia tertawa lebar, suara tawanya menggema di sekitar kami. “Kukira kau begitu pintar untuk menyadari semua ini. Hahaha. Nama asliku adalah Carrion Nava, salah satu viscount kerajaan iblis di ufuk timur. Hanya perlu sedikit manipulasi, dan seluruh desa bodoh ini percaya pada setiap kata-kataku. Tapi kau, Yukio, kau begitu mudah dimanipulasi.”
Kata-katanya bagaikan duri yang menghujam jantungku. Jadi, sejak awal ini semua hanya tipu muslihat? Tunggu! Apa-apaan ini? AniGate... AniGate... apa maksudnya?! Dia tidak memberitahuku soal ini. Kalau memang ini skenario cerita, harusnya dia beritahu aku terlebih dahulu!!!
“Kenapa… kenapa kau melakukan ini?” tanyaku, mencoba menahan gemetar di suaraku.
Dia menatapku dengan tatapan yang begitu dingin dan penuh penghinaan. “Mudah. Bunga Hana no Yuki adalah kunci untuk evolusi terakhirku. Saat aku memakannya, aku akan menjadi jauh lebih kuat. Aku akan berevolusi menjadi raja iblis yang bahkan ditakuti oleh kerajaanku sendiri!”
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Seluruh tubuhku gemetar ketakutan, tapi entah kenapa aku tidak bisa menggerakkan kaki. Dia adalah monster yang menyamar dengan begitu sempurna. Dan aku? Aku hanya anak penjual teh. Apa yang bisa kulakukan?
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, Carrion bergerak dengan kecepatan luar biasa, menghilang dari pandanganku dan dalam sekejap muncul di belakangku. Tangan dinginnya yang kuat menekan bahuku, membuatku tidak bisa bergerak.
“Aku tidak bisa membiarkanmu kembali ke desa, Yukio. Kau tahu terlalu banyak sekarang.” Suara Carrion begitu pelan namun penuh ancaman.
“Aku tidak akan… membiarkanmu!” Aku mencoba meronta, tapi cengkeramannya terlalu kuat. Setiap usaha yang kulakukan untuk melawan hanya membuatnya semakin mempererat tekanannya. Aku benar-benar tak berdaya.
“Kau ini benar-benar tidak tahu diri, Yukio,” gumamnya dingin. “Kau hanya anak penjual teh, tak lebih dari sekadar karakter kecil dalam ceritaku.”
Perasaan putus asa menyelimutiku. Aku berusaha menjerit meminta pertolongan, berharap AniGate muncul dengan jawaban seperti sebelumnya, tapi… tak ada suara. Tak ada bantuan. Hanya aku dan iblis ini di tengah kabut dingin yang sunyi.
Carrion mengangkatku dengan satu tangan, memegang kepalaku dengan cengkeraman yang semakin kuat. Penglihatanku mulai kabur, dan aku bisa merasakan detak jantungku semakin lemah. Ini akhirnya ya? Di sini, di dunia yang bahkan bukan duniaku sendiri?
Aku menggigit bibirku, mencoba menahan air mata. Semua ketakutanku, keraguanku, ketidakberdayaanku, semuanya terasa begitu nyata saat ini. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan.
“Kenapa diam, Yukio?” tanya Carrion dengan suara mengejek. “Bukankah kau ingin menyelamatkan desa?”
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku sudah kehabisan akal. Tak ada bantuan, tak ada kekuatan yang bisa menolongku. Tak ada apa pun lagi yang bisa kulakukan untuk melawan Carrion. Tatapan mata iblis itu hanya menunjukkan satu hal. Aku, Yukio Chaya, hanyalah anak penjual teh yang tak lebih dari serbuk debu di depannya.
“Sudah menyerah?” ejeknya, menekan cengkeramannya di leherku hingga aku hampir kehilangan napas.
Di tengah kepasrahanku, tiba-tiba sebuah bayangan masa lalu melintas di benakku. Anehnya, kenangan ini terasa begitu nyata, padahal aku tidak pernah mengalaminya sebelumnya. Aku melihat sosok seorang pria tinggi berambut hitam yang berdiri dengan tatapan kecewa, menghadap Yukio kecil yang berjongkok ketakutan di depan rumah.
“Yukio, kau tak akan pernah jadi kepala desa jika hanya bisa bersembunyi di belakang orang lain!” suara ayahnya terdengar dingin dan tajam, membuat tubuh Yukio kecil semakin bergetar.
“A-aku… aku tidak bisa, Ayah,” suara Yukio kecil bergetar, air mata mengalir di pipinya. “Aku takut…”
Ayahnya menghela napas panjang. “Takut? Kau keturunan Chaya, pemimpin desa ini. Tapi dengan sifat pengecut seperti ini, kau tak akan pernah bisa menjadi penerus.” Tanpa berkata lagi, pria itu pergi, meninggalkan Yukio kecil dalam kesedihan yang dalam.
Rasa getir menyelimuti hatiku. Bayangan itu hilang, namun kini aku bisa merasakan emosi Yukio yang begitu nyata. kekecewaan, ketakutan, dan rasa tidak berdaya yang telah lama terpendam. Rasa sakitnya yang begitu dalam seakan menyatu denganku, mengisi ruang di hatiku. Aku kini paham kenapa Yukio menjadi begitu penakut. Selama ini dia dibayangi kegagalan yang tak pernah bisa dia atasi, dihantui oleh kekecewaan ayahnya.
Yukio…
Namun, di tengah ingatan yang gelap itu, muncul sosok lain. Seorang pria tua berambut putih, yang memeluk Yukio kecil dengan lembut. Wajah pria tua itu tersenyum, penuh kasih sayang dan pengertian.
“Yukio,” kata pria tua itu, yang tak lain adalah kakeknya. “Ketahuilah, kau memiliki sesuatu yang lebih besar dari sekadar keberanian fisik. Kau memiliki hati yang peduli pada orang lain. Kau tidak perlu menjadi seperti ayahmu untuk menjadi pahlawan.”
Yukio kecil hanya bisa terisak di pelukan kakeknya. “Tapi aku… aku bukan pemberani, Kakek. Aku tidak bisa melakukan apa-apa.”
Kakeknya tertawa lembut, mengusap kepala Yukio. “Keberanian itu bukan berarti tak pernah takut, Nak. Keberanian adalah ketika kau tetap melangkah meskipun kau takut. Percayalah, suatu hari nanti, kau akan menemukan kekuatan itu dalam dirimu sendiri.”
Ingatan itu perlahan memudar, namun sisa dari pesan kakeknya tetap tinggal di hati Yukio, dan juga di dalam diriku. Aku bisa merasakan ketakutan Yukio. Ketakutan yang selama ini mengungkungnya, yang membuatnya terbelenggu dalam peran kecilnya. Tapi sekarang, dalam keadaan sekarat ini, aku bisa merasakan keberanian itu mulai bangkit.
Yukio, ini bukan hanya tentangmu… ini tentang seluruh desa. Kau bisa bangkit. Kau punya kekuatan itu.
Di dalam pikiranku, entah bagaimana, aku mendengar suara Yukio, samar namun penuh tekad. Aku takut… tapi aku harus melindungi desa ini. Mungkin aku memang bukan siapa-siapa, tapi aku tidak bisa diam saja.
Dengan napas terakhirku, aku merogoh sakuku, mencari daun teh yang selalu kubawa. Aku meremasnya kuat-kuat, membiarkan rasa takut bergabung dengan semangat yang perlahan mengalir di dalam darahku. *Yuuki*… keberanian.
“Tidak, Carrion…” bisikku, dan entah bagaimana, tubuhku terasa lebih kuat. Aku bisa merasakan kehangatan aneh mengalir dari dalam diriku, seperti ada semangat yang menolak untuk menyerah. “Ini belum selesai.”
Carrion tertawa mengejek, mengendurkan sedikit cengkeramannya. “Oh, benar? Apa yang bisa kau lakukan, anak penjual teh?”
Aku menutup mataku, membiarkan salju di sekitarku menyentuh kulitku, merasakan kesejukannya menyatu dengan keberanian yang perlahan muncul dari dalam hatiku. Tangan kananku mengeratkan pegangan pada daun teh, mengalirkan seluruh keinginanku untuk bertahan hidup dan melindungi desa ini.
Perlahan, salju di sekeliling kami mulai berputar, dan Carrion tersentak saat bulir-bulir es di udara berubah menjadi bilah-bilah tajam yang siap menghujam.
“Ap—apa ini?” sorot mata Carrion kini penuh amarah bercampur ketakutan. “Kau… tak mungkin…!”
Aku membuka mata, menatapnya dengan keyakinan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. “Aku mungkin anak penjual teh, tapi aku tetap keturunan Chaya. Dan kau tak akan pernah bisa menghancurkan desa ini.”
Dengan teriakan penuh keberanian, aku mengayunkan tanganku, mengarahkan semua bilah es ke arah Carrion. Bilah-bilah itu menembus tubuhnya dari berbagai arah, membuatnya menjerit kesakitan. Meski berusaha melawan, dia tak bisa menahan kekuatan salju yang kini semakin kuat.
Sosoknya perlahan meleleh menjadi debu, menghilang dalam kilatan cahaya biru yang membaur di tengah kabut. Suara jeritannya mereda, dan keheningan kembali menyelimuti puncak gunung yang dingin.
Aku terjatuh ke tanah, tubuhku lelah tak terkira. Nafasku tersengal-sengal, tapi aku berhasil. Aku masih hidup. Hana no Yuki masih utuh di tempatnya, bersinar lembut di tengah salju.
Saat aku merasakan sedikit kelegaan, suara yang sangat familiar terdengar di kepalaku.
> “User Rei Jaavu, selamat! Anda berhasil mengatasi ancaman dan menyelamatkan desa.”
Aku mendesah panjang, frustasi dan kesal. “Oh, jadi sekarang kau muncul lagi, AniGate?”
> “Tentu saja, User. Anda telah menunjukkan perkembangan luar biasa dalam keberanian. Seperti yang telah diatur, Anda berhasil mengatasi tantangan terakhir.”
Aku memutar mata. “Diatur? Jangan bercanda. Itu tadi sama sekali tidak ada dalam skenario!”
> “Ah, itu memang... bagian dari proses alami di dunia ini, tapi tetap, semua terjadi karena pengaturan sistem.” AniGate menjawab dengan nada “bijak” yang menyebalkan. “Kemampuan Anda untuk memanfaatkan elemen salju adalah bukti bahwa keberanian Anda memang telah bangkit sepenuhnya.”
Aku hanya bisa menahan senyum masam. Sistem ini benar-benar hobi mengambil semua pujian, seolah-olah keberhasilanku adalah rencananya.
Sambil menatap bunga Hana no Yuki yang bersinar lembut, aku merasa sedikit lebih berani. Aku datang sebagai karakter sampingan, tapi ternyata… aku punya peran yang jauh lebih besar dari yang pernah kubayangkan.
Aku tersenyum tipis, menatap ke arah salju yang perlahan berhenti berjatuhan di sekitarku. “Kau harus berterimakasih padaku, Yukio. Aku sudah menjadikanmu pahlawan hebat di desa ini. Desa yang kelak akan dikenal dengan nama ‘Chaya no Yuuki’… desa yang diselamatkan oleh anak penjual teh.”
> “Selamat, User. Dunia berikutnya akan menanti Anda. Dunia yang lebih dekat dengan impian Anda.”
Aku menatap langit, merasa sedikit lebih siap menghadapi petualangan berikutnya. Dengan hati yang sedikit lebih berani, aku membiarkan diriku terhanyut dalam cahaya terang yang perlahan menyelimuti pandanganku, meninggalkan dunia Hana no Yuki di belakang, dan menuju babak baru yang menunggu di depan.
-end
aku mampir ya 😁