Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesalahan Kecil
Sebelum peradaban menggantungkan nasibnya pada mesiu dan baja, para leluhur memahami rahasia yang tersembunyi di dalam tubuh manusia. Mereka menyebutnya Ki. Energi jiwa yang mengalir dalam setiap makhluk hidup. Dengan pelatihan keras, disiplin mental, dan harmoni mendalam antara tubuh dan jiwa, seseorang dapat membangkitkan kekuatan ini.
Dahulu kala, para pendekar mampu berlari lebih cepat dari angin, melompat setinggi pohon raksasa, dan menghancurkan batu hanya dengan satu jentikan jari. Namun, seiring dunia bergerak menuju era teknologi, seni ini dianggap usang dan ditinggalkan. Ki kini tak lebih dari sekadar mitos, dan mereka yang mencoba mempelajarinya dianggap membuang-buang waktu.
***
Kinta menatap jalur porak-poranda tempat Beruang Tanah terpental, belasan pohon tumbang berserakan, dan tubuh raksasa beruang itu tak lagi bergerak. Di sisi lain, Wira menggigit bibir menahan nyeri yang menjalar dari lengan kanannya.
Rasa sakit itu menusuk tajam. Seperti ada belati yang mencabik otot-ototnya, urat-urat yang pecah, dan tulang yang remuk. Kinta dan Sumba mendekat, tatapan penuh kekhawatiran.
Tatapan mereka seakan mengatakan ‘Bos, kamu tidak apa-apa?.’
Wira memaksa dirinya membuat senyaman untuk kedua temannya, "T-tidak apa-apa," gumam Wira serak, napasnya berat. "Hanya efek samping dari teknik tadi." Wira berusaha tetap tegar walaupun ia hampir pingsan.
Meskipun regenerasinya cepat, Wira tahu lengannya butuh waktu untuk pulih. Beberapa jam istirahat mungkin cukup untuk meredakan kerusakan. Matahari mulai tenggelam di balik pepohonan, mengisyaratkan malam yang akan segera datang. Dengan berat hati, Wira memutuskan untuk berkemah di dekat mayat Beruang Tanah itu.
Setelah mendirikan tenda dan menyalakan api unggun, ia berjalan mendekati bangkai monster. Tatapannya tertuju pada bekas tinju yang menghancurkan dada beruang tersebut. Itu bukan sekadar luka luar, organ dalam monster itu juga pasti telah hancur lebur.
"Raksanjungkel...," bisiknya lirih. Teknik yang ia ciptakan untuk menjatuhkan lawan raksasa, tidak disangka akan berhasil dengan sempurna. Namun, dampaknya terhadap tubuhnya sendiri begitu besar. Ia menatap lengannya yang dibalut dengan kayu dan perban seadanya.
"Sungguh kekuatan yang dahsyat... tapi konsekuensinya juga tak kalah berat."
Wira mengepalkan tangan kirinya. Rasa bangga memenuhi dirinya keren merasa telah menciptakan sesuatu yang sangat luas bisa. 'Teknik ini terlalu berharga untuk ditinggalkan begitu saja.' pikirnya.
"Aku harus memperkuat tubuhku lebih jauh," ucapnya pelan, seolah berjanji pada diri sendiri. "Jika tubuhku cukup kuat, mungkin aku bisa mengurangi dampak negatifnya. Lalu, aku bisa mengembangkan Raksanjungkel menjadi lebih sempurna."
***
Hari telah berganti malam, Wira duduk di depan api unggun, menatap lengan kanannya yang sudah mulai pulih. Ia memutar pergelangan tangannya perlahan, meski masih terasa sedikit nyeri. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya.
"Aku pikir sudah waktunya kembali bekerja," gumamnya sambil berdiri.
Dari tas peralatannya, Wira mengambil beberapa pisau dengan bentuk dan ukuran berbeda. Kemudian ia berjalan menuju mayat Beruang Tanah yang sudah diikat dan digantung terbalik di dahan pohon besar.
"Monster ini sangat besar. Aku khawatir Sumba tidak akan sanggup membawa semuanya," ujarnya sambil menatap tubuh raksasa itu.
Tiba-tiba terdengar ringkikan keras dari dalam hutan, seakan Sumba keberatan dengan pendapat Wira. Mendengar itu, Wira terkekeh kecil.
"Baik, baik! Aku percaya padamu, Sumba," katanya sambil menggeleng dan meminta maaf.
"Baiklah, ayo kita mulai."
Dengan keahlian yang terlatih, Wira mulai membedah tubuh Beruang Tanah. Pisau di tangannya bergerak cepat namun presisi, memisahkan kulit, daging, dan bagian-bagian berharga lainnya.
Sementara Wira sibuk dengan pekerjaannya, Kinta dan Sumba berjaga di sekitar area berkemah. Mereka bertarung sengit melawan zombie, goblin, dan serangga mutasi yang terpanggil oleh cahaya api unggun dan aroma dari darah Beruang Tanah.
"Jangan memaksakan diri! Segera kembali jika kalian terdesak!" seru Wira, nada suaranya seperti seorang ibu yang khawatir pada anak-anaknya.
Tak lama, suara gonggongan Kinta dan ringkikan Sumba terdengar bersamaan, memberi jawaban penuh keyakinan.
Wira melanjutkan pekerjaannya dengan tenang. Sesekali, suara pertarungan dan raungan makhluk-makhluk aneh bergema dari kejauhan. Tapi Wira tetap fokus. Hanya ketika suara-suara itu berubah menjadi tanda bahaya, barulah ia turun tangan.
Salah satu ancaman terbesar adalah kemunculan Spectre, anomali tak berwujud dengan kemampuan kebal serangan fisik yang datang dari kegelapan. Karena tidak mempan terhadap serangan fisik, Kinta yang menjadi kuat di malam hari pun tidak mampu mengalahkannya.
Wira mendengus. "Aku akan mencoba melawannya." Ucapnya meminta Kinta dan Sumba untuk menyerahkan anomali itu padanya.
Dengan sigap, ia mengumpulkan energi Ki di bilang belatinya lalu segera menebas makhluk itu. Spectre melolong, tubuhnya yang tak kasatmata meledak menjadi kabut hitam sebelum lenyap sepenuhnya.
"Syukurlah mereka bukan jenis monster yang tak bisa dikalahkan," ujar Wira sambil menghela napas lega. "Kalau serangan Ki tak mempan, satu-satunya pilihan kita hanya kabur."
Berlari di tengah hutan malam dengan banyak monster berkeliaran? Itu lebih berbahaya daripada bertahan di satu tempat. Setelah memastikan area aman, Wira kembali bekerja. Kinta dan Sumba pun kembali berjaga, meski tampak kelelahan.
Namun ada sesuatu yang aneh terjadi. Ketika keduanya mendekati Wira, mereka tidak memandangi daging. Justru, mereka tertarik pada darah yang menetes dari tubuh Beruang Tanah dan membentuk genangan dibawahnya.
"Kalian lapar, ya?" tanya Wira sambil memotong sepotong daging dan menyodorkannya.
Tapi alih-alih menyantap daging, Kinta dan Sumba malah menunduk dan meminum darah segar yang berceceran. Mata Wira membelalak.
"Hey! Apa yang kalian lakukan?! Jangan minum darah seperti itu. Itu kotor!" seru Wira, rasa jijik memenuhi suaranya.
Namun, teguran itu terhenti saat Wira merasakan perubahan aneh pada kedua peliharaannya. Aura yang kuat dan asing memancar dari tubuh mereka. Cakar Kinta tumbuh lebih panjang dan terlihat semakin tajam, sedangkan tubuh Sumba diperkuat menjadi kokoh dan berotot, bulunya berkilau keemasan dalam cahaya api unggun.
***
"Ini... sebenarnya apa yang terjadi?" gumam Wira, kebingungan menyelimuti pikirannya. Namun, pada akhirnya, ia membiarkan Kinta dan Sumba meminum darah Beruang Tanah agar bisa mempelajari efeknya lebih lanjut.
Beberapa jam berlalu. Tubuh Beruang Tanah kini hanya menyisakan tulang-belulang dan organ dalam yang berserakan. Wira memandang sisa-sisa itu dengan perasaan enggan. Ia tahu betul bahwa meskipun hanya tulang, ia bisa membuatnya menjadi senjata yang berguna. Organ dalam pun bisa diolah menjadi obat atau bahan lainnya.
Namun, ruang penyimpanan yang terbatas memaksanya membuat keputusan pahit. Terlebih, organ dalam itu kini beracun akibat hati dan empedu Beruang Tanah yang hancur terkena pukulannya.
"Menyesal juga aku menciptakan teknik bertarung yang terlalu ‘overpower’," desahnya sambil menghela napas berat. "Seandainya ada kemampuan praktis seperti ruang dimensi, pasti keadaan akan menjadi lebih mudah."
Wira memadamkan api unggun, lalu bersiap masuk ke tenda untuk beristirahat. Sebelum itu, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kristal berwarna kuning keruh yang ia ambil dari tubuh Beruang Tanah. Kristal itu memancarkan cahaya redup yang seolah menyimpan kekuatan besar.
"Kalian mau ini?" tanyanya sambil menyodorkan kristal itu ke arah Kinta dan Sumba.
Kinta, tanpa ragu, menggelengkan kepala dan mundur selangkah. Matanya menatap kristal itu dengan waspada. Sebaliknya, Sumba menatap kristal itu lekat-lekat, matanya berkilat penasaran. Wira menunggu, berharap Sumba akan memakannya. Namun, setelah beberapa saat, Sumba malah berpaling dan mendengus pelan, seakan menolak.
Wira menghela napas kecewa. "Yah, kupikir kau akan berevolusi seperti Kinta," ucapnya lirih.
Setelah mengucapkan selamat malam pada kedua peliharaannya, Wira masuk ke dalam tenda. Di dalam kegelapan yang hangat, cahaya dari kristal beruang itu masih menarik perhatiannya. Ia berbaring dan mengangkat kristal itu tepat di atas wajahnya, memandangi kilauannya yang misterius.
Tanpa sengaja, jari Wira tergelincir.
"Aduh, sial... Khok hoeeek!"
Kristal itu jatuh dan langsung masuk ke dalam mulutnya. Wira terbatuk panik, berusaha memuntahkan benda keras itu. Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, kristal tersebut mulai mencair di lidahnya, seperti gula yang meleleh dalam teh panas.
"Gawat, bagaimana ini..."
Panik menjalar di seluruh tubuhnya. Ia mengguncang-guncang kepalanya, mencoba memuntahkan apa yang tersisa, namun sudah terlambat. Cairan hangat itu meresap ke tenggorokannya, menjalar ke seluruh tubuhnya bagaikan aliran listrik.
Tiba-tiba, rasa sakit yang luar biasa menyerangnya.
"Aaagh! Tidak, aku tidak ingin menjadi manusia beruang. Aku ingin menjadi Roger Sumatera!." Teriknya penuh keputusan dalam keheningan malam.
mohon berikan dukungannya