SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapakah dia???
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari layar monitor yang berjejer di dinding. Seorang wanita duduk di kursi berlapis kulit, satu-satunya furnitur mewah di ruangan ini. Tangan kiriku memegang secangkir kopi hitam, sementara tangan kananku sibuk menggeser layar sentuh di meja.
Di depannya, rekaman langsung dari CCTV kecil yang tersembunyi di sudut ruangan rumah Rery terpampang jelas. Gambar Agnes dan Rery sedang berbicara tampak begitu jelas. Suara mereka terdengar melalui penyadap kecil yang tersembunyi di kacamata Rery—alat yang bahkan dia tidak sadari ada di sana.
"Lupakan Kenneth sekarang. Fokus saja ke masa depan kita," suara Rery terdengar jelas di speaker kecil. Aku menyeringai, membiarkan senyum dingin menghiasi wajahku.
Menarik, pikirnya.
Iamemperbesar layar, memusatkan fokus pada wajah Agnes yang tampak tersipu. Perempuan bodoh. Dia menyerahkan suaminya kepada Alexa tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik permainan ini. Tapi tentu saja, itu bukan salahnya. Dia hanya bidak kecil dalam permainan yang jauh lebih besar.
Suaraku menggema di ruangan kosong ini ketika aku berbicara kepada diriku sendiri. "Agnes... Agnes... kau bahkan tidak tahu betapa berharganya Kenneth itu."
Wanita itu memutar kembali rekaman beberapa detik sebelumnya, memperhatikan setiap gerakan mereka. Tatapan mata, senyuman, bahkan cara Agnes menggigit bibirnya—semuanya seperti naskah yang sudah kuketahui alurnya.
Di sudut ruangan, kamera kecil di rumah Rery menangkap sudut pandang yang lain. Sebuah rak buku yang berantakan, botol-botol minuman, dan foto keluarga yang usang menjadi latar belakang sempurna untuk drama ini.
Wanita itu menyandarkan tubuhku, membiarkan kursi berderit pelan. Di tangan kirinya , kopi sudah mulai dingin, tetapi ia tidak peduli. Fokusku sepenuhnya pada layar monitor.
"Rencana ini berjalan lebih lancar dari yang kukira," gumamnya, separuh kepada dirinya sendiri, separuh kepada siapa pun yang mungkin mendengarkan.
Wanita itu kembali menekan tombol kecil di meja, mengalihkan layar ke kamera lain—kamera tersembunyi yang memantau Alexa. Di sana, dia sedang duduk di ruang tamu rumah megahnya, matanya tampak penuh semangat, mungkin memikirkan rencana pernikahannya. Alexa mungkin berpikir dia yang mengendalikan permainan ini. Betapa lucunya.
Wanita itu memiringkan kepala, tatapanku tajam menembus layar monitor. "Alexa Shavonne Graham... kau berpikir kau sedang memanfaatkan situasi, ya? Sayang sekali, kau hanya bidak lain dalam catur ini. Sama seperti yang lainnya."
Senyum dingin kembali muncul di wajahku. Dia menyesap kopi dinginnya, membiarkan rasa pahitnya memenuhi mulutku. Aku menikmati kepahitan ini, sama seperti aku menikmati kerumitan permainan ini.
Tangannya bergerak cepat, mencatat sesuatu di tablet.
Ia kembali menatap layar, kali ini memperhatikan wajah Kenneth dan ketiga wanita lainnya dalam satu gambar dari foto yang tergeletak di meja. Foto itu kusam, sepertinya diambil bertahun-tahun lalu. Dia mengusapnya dengan jari, menyingkirkan debu yang menutupi senyumnya yang kaku.
"Kau bahkan tidak tahu apa yang menunggumu, Kenneth," bisiknya pelan.
Ia mematikan layar, meninggalkan ruangan dalam gelap. Tapi senyumnya tetap ada, penuh misteri dan janji akan sesuatu yang lebih besar. Segalanya baru saja dimulai.
...➰➰➰➰...
POV Agnes
Langit malam dipenuhi bintang, tetapi tidak ada keindahan yang bisa mengalihkan pikiranku saat ini. Setelah menghabiskan waktu di rumah Rery, aku memutuskan untuk kembali ke rumahku sendiri. Jalanan sepi, hanya suara mesin mobilku yang bergema di sepanjang aspal.
Pikiranku dipenuhi oleh apa yang baru saja terjadi. Kata-kata Rery tadi masih terngiang. "Lupakan Kenneth sekarang. Masa depanmu adalah aku." Kata-kata itu menghangatkan hatiku, tetapi bayangan Alexa yang ingin merebut Kenneth tidak bisa kuhapus.
Setibanya di rumah, aku masuk ke ruang tamu. Lampu-lampu besar di chandelier menggantung megah, tetapi aku merasa kesunyian yang dingin menguasai ruangan ini. Tidak ada suara, hanya detak jam di dinding yang terasa menyesakkan. Aku melepas sepatu dengan cepat, mengambil ponselku, lalu menekan kontak Kenneth.
Panggilan pertama—tidak diangkat. Aku mendengus, rasa kesal mulai menguasai hatiku. Aku menelepon lagi. Nada sambung. Tidak ada jawaban.
"Dasar pria menyebalkan," gumamku sambil menekan tombol merah. Tetapi aku tidak menyerah. Aku meneleponnya lagi—dan lagi. Setelah panggilan kelima, akhirnya suara berat Kenneth terdengar di ujung sana.
"Ada apa, Agnes?" suaranya terdengar datar, bahkan sedikit kesal.
Aku tidak peduli. Aku langsung berbicara dengan nada bosy. "Kau bisa pulang sekarang? Ada hal yang ingin aku bicarakan. Ini tentang... kau tahu, masalah yang menyangkut hidup kita."
"Aku sibuk," jawabnya cepat. "Aku tidak bisa pulang sekarang."
Aku menghela napas panjang, mencoba menahan amarah. "Kenneth, ini penting. Sangat penting. Kau harus tahu, dan ini tidak bisa kutunda."
Dia terdiam sesaat di ujung telepon, lalu akhirnya berkata dengan suara berat. "Baiklah. Aku akan pulang."
Aku mengakhiri panggilan dengan perasaan lega, tetapi juga tegang.
POV Kenneth
Lampu bengkel menyala terang, suara logam beradu dan obrolan pekerja mengisi udara. Aku sedang memeriksa laporan inventaris ketika ponselku berdering. Di layar, nama Agnes muncul berkali-kali. Awalnya, aku abaikan. Aku tahu apa yang diinginkannya, dan aku tidak ingin berurusan dengannya sekarang.
Tapi panggilan itu tidak berhenti. Setelah panggilan kelima, aku menyerah dan menjawabnya.
"Ada apa, Agnes?" tanyaku dengan nada dingin.
Suaranya langsung terdengar tegas, tanpa basa-basi. "Kau bisa pulang sekarang? Ada hal yang ingin aku bicarakan. Ini tentang masalah yang sangat penting."
Aku memijat pelipisku. "Aku sibuk. Aku tidak bisa pulang sekarang."
Tetapi dia mendesak. "Kenneth, ini penting. Sangat penting. Kau harus tahu, dan ini tidak bisa kutunda."
Keputusasaan dalam suaranya membuatku menyerah. "Baiklah. Aku akan pulang."
Setelah menutup telepon, aku merapikan laporan dan bersiap pergi. Teman kerjaku, Ryan, memperhatikan ekspresi tegang di wajahku.
"Ada apa, Kenneth? Kenapa mukamu kayak penuh masalah?"
Aku hanya menggeleng. "Aku harus pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan di rumah dengan Agnes."
Ryan mengangguk pelan, memahami. Aku mendapat izin dari bosku, lalu meninggalkan bengkel.
...➰➰➰➰...
Ketika Kenneth tiba di rumah, malam sudah larut. Lampu di ruang tamu menyala terang, dan dari balik jendela, aku bisa melihat Agnes duduk di sofa. Sikapnya angkuh, penuh percaya diri, seperti seorang ratu yang sedang menunggu bawahannya.
Kenneth asuk ke dalam, melepas jaket dan menatapnya. Dia menoleh, mata tajamnya menembus seakan menilai kehadiran Kenneth.
Kami berdiri di dua ujung ruangan, hanya terpisah oleh meja kaca di antara kami. Setelah pertengkaran besar kemarin, ini adalah pertama kalinya kami bertatap muka lagi.
Berikut adalah percakapan antara Kenneth dan Agnes dengan suasana yang dingin, datar, dan penuh ketegangan:
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam yang berirama lambat di sudut ruangan. Agnes duduk di kursi besar, tangan terlipat di atas meja, matanya tajam menatap Kenneth yang baru saja memasuki ruang tamu. Keduanya sudah lama tidak berbicara, dan sekarang saatnya untuk menyelesaikan apa yang sudah lama mengendap.
"Aku ingin kita bercerai."
Suaranya datar, penuh penekanan. Seolah-olah kata-kata itu hanya sebuah keputusan yang sudah dipikirkan matang-matang.
Kenneth, yang baru saja melepas jaketnya, berdiri mematung sejenak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Tatapannya tajam, namun tetap tenang, seolah tidak terpengaruh oleh kata-kata Agnes.
"Kenapa tiba-tiba ingin bercerai, Agnes? Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Apa alasanmu?"
"Kenapa ini terjadi begitu mendadak? Kamu ingin aku pergi begitu saja tanpa penjelasan?" Suara Kenneth tidak berubah, tetap dingin dan tajam, menembus ruang yang penuh dengan ketegangan ini.