Kisah tentang cinta yang terjebak dalam tubuh yang berbeda setiap malam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendy Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Langkah Pertama dalam Menyusun Masa Depan
Hubungan kami kini terasa lebih stabil, bahkan lebih dewasa. Dengan keyakinan yang tumbuh setelah segala ujian yang kami lewati, aku dan Arya akhirnya mulai membicarakan masa depan secara lebih serius. Bukan sekadar janji manis atau impian kosong, tapi rencana yang nyata—rencana yang membuat kami merasa semakin terikat satu sama lain.
Suatu malam, kami duduk bersama di sebuah taman kota yang tenang. Bintang-bintang bersinar lembut di langit, dan angin malam yang sejuk membuat suasana semakin sempurna. Arya tiba-tiba menatapku, senyumnya muncul, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting.
"Aku ingin menanyakan sesuatu yang mungkin belum pernah kubicarakan sebelumnya," kata Arya, suaranya terdengar serius.
Aku menatapnya dengan penasaran. "Apa itu?"
"Apa kamu pernah membayangkan hidup bersama denganku... dalam arti yang lebih dalam?" tanyanya perlahan, seolah menimbang kata-kata yang tepat.
Pertanyaan itu membuat jantungku berdebar. Bayangan hidup bersama dengan Arya memang pernah muncul dalam pikiranku, tapi mendengar dia sendiri yang mengungkapkan keinginan itu membuat segalanya terasa lebih nyata. Aku mengangguk pelan, senyumku muncul tanpa bisa kutahan.
"Ya, aku sering membayangkan bagaimana rasanya membangun masa depan bersama. Mungkin kedengarannya klise, tapi aku ingin hidup bersama seseorang yang bisa kubagi segalanya... termasuk kamu."
Arya tersenyum lega. "Aku senang kamu juga berpikir seperti itu. Aku ingin kita mulai menyusun rencana bersama—mungkin tidak besar, tapi setidaknya langkah-langkah kecil yang bisa mengantar kita ke sana."
Kami akhirnya mulai membahas impian kami secara lebih konkret. Arya menceritakan tentang keinginannya untuk memiliki sebuah rumah kecil dengan halaman yang penuh bunga, sementara aku berbicara tentang mimpiku membuka usaha kecil bersama—sesuatu yang bisa membuat kami selalu berada di dekat satu sama lain, berbagi tugas, dan berjuang bersama.
***
Hari demi hari, aku semakin menyadari bahwa impian ini bukan sekadar ilusi. Arya benar-benar menganggapnya serius. Kami mulai membahas keuangan kami masing-masing, berbagi mimpi dan kesulitan yang mungkin kami hadapi. Bukan hanya soal cinta, tapi juga soal pengorbanan dan komitmen yang lebih dalam.
Beberapa bulan berlalu, dan kami semakin dekat dengan realisasi rencana ini. Arya mulai mencari pekerjaan tambahan untuk mengumpulkan lebih banyak tabungan, sementara aku juga berusaha menabung sebanyak mungkin. Kami berdua tahu bahwa memulai hidup bersama bukanlah sesuatu yang mudah, tapi tekad kami membuat semuanya terasa mungkin.
Salah satu langkah besar yang kami ambil adalah mengunjungi rumah-rumah yang mungkin bisa kami beli di masa depan. Meski masih terlalu awal, tapi setiap kali melihat rumah, ada harapan dan kebahagiaan yang muncul di dalam hatiku. Kami membayangkan bagaimana rasanya tinggal di sana, mendekorasi setiap sudut rumah dengan gaya kami sendiri, dan menjalani hari-hari bersama dalam kehangatan sebuah rumah yang kami bangun dari nol.
"Ini mungkin masih jauh," kata Arya sambil memandang sebuah rumah kecil yang kami kunjungi suatu sore, "tapi aku yakin suatu hari nanti, kita akan bisa mewujudkan semua ini."
Aku tersenyum, mengangguk dengan perasaan penuh syukur. "Aku juga yakin. Selama kita bersama, aku percaya semuanya akan terwujud."
***
Namun, di tengah semua kebahagiaan itu, ada hal lain yang muncul di permukaan. Aku mulai merasakan tekanan dari orang-orang di sekitarku. Teman-teman, keluarga, bahkan rekan kerja, semuanya seolah bertanya kapan aku akan benar-benar 'mengikat' Arya. Mereka seakan memberi isyarat bahwa aku harus segera mengambil keputusan besar dalam hidup ini.
Ada kalanya aku merasa tertekan. Tekanan itu semakin kuat ketika keluargaku mulai bertanya lebih serius tentang rencana masa depanku. Ibu, terutama, kerap kali bertanya apakah aku yakin bahwa Arya adalah pilihan yang tepat.
"Aku tahu kamu mencintainya," kata ibu suatu hari, "tapi apakah kamu benar-benar yakin bahwa hubungan ini akan bertahan dalam jangka panjang? Pernikahan bukan hanya soal cinta, tapi juga soal komitmen yang tidak mudah."
Aku merenungkan kata-kata ibu dengan hati-hati. Aku menyadari bahwa ada benarnya dalam apa yang ia katakan. Hubungan kami memang telah diuji beberapa kali, tapi apakah itu cukup untuk memastikan bahwa kami bisa menjalani hidup bersama dalam jangka panjang?
Kegelisahan itu membuatku berpikir lebih dalam. Aku mencintai Arya, tapi aku juga tidak ingin melangkah tanpa persiapan. Aku tahu bahwa hubungan ini harus didasari oleh komitmen yang kuat, bukan hanya cinta yang sementara.
***
Aku pun memutuskan untuk berbicara dengan Arya tentang kekhawatiranku. Kami duduk bersama di sebuah kafe yang tenang, dan aku mulai mengutarakan isi hatiku.
"Aku merasa ada tekanan dari banyak orang untuk segera melangkah ke tahap selanjutnya," kataku jujur. "Mereka ingin kita segera menikah, tapi aku merasa masih ada banyak yang harus kita persiapkan."
Arya mendengarkanku dengan penuh perhatian. "Aku mengerti perasaanmu. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku ingin kita melangkah sesuai dengan kesiapan kita, bukan karena tekanan dari orang lain."
Aku mengangguk, merasa lega mendengar jawaban Arya. "Aku setuju. Aku tidak ingin tergesa-gesa hanya karena ingin menyenangkan orang lain. Aku ingin kita berdua benar-benar siap."
Kami sepakat untuk melanjutkan hubungan ini tanpa terburu-buru, tapi juga dengan tekad untuk membangun masa depan yang stabil dan bahagia. Kami akan menjalani setiap hari dengan penuh komitmen, tanpa terganggu oleh tuntutan dari luar.
***
Meski rencana pernikahan kami belum tentu kapan akan terjadi, hubungan kami semakin kuat. Kami belajar untuk mendukung satu sama lain, memahami kebutuhan dan keinginan masing-masing, dan menghadapi tantangan bersama.
Arya bahkan mulai merencanakan perjalanan kecil ke luar kota, sekadar untuk menyegarkan pikiran dan merayakan hubungan kami yang semakin matang. Kami memilih untuk pergi ke sebuah kota kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.
Perjalanan itu memberikan kesempatan bagi kami untuk benar-benar menikmati waktu bersama tanpa tekanan. Kami menghabiskan hari-hari kami dengan berjalan-jalan, menikmati keindahan alam, dan berbicara tentang masa depan dengan hati yang lebih tenang.
Di tengah perjalanan itu, aku menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa cepat kami mencapai tujuan, tapi tentang bagaimana kami menikmati setiap langkah yang kami lalui bersama. Aku merasa bersyukur memiliki Arya di sisiku, seseorang yang tidak hanya mencintaiku, tapi juga menghargai setiap proses dalam hubungan ini.
Kami akhirnya pulang dengan hati yang lebih tenang dan penuh keyakinan. Kami tahu bahwa jalan di depan mungkin masih panjang dan penuh tantangan, tapi kami juga yakin bahwa selama kami saling mendukung, kami akan mampu melewati semuanya.
***
Hubungan ini telah mengajarkanku banyak hal. Tentang kepercayaan, tentang komitmen, dan tentang bagaimana cinta sejati tidak hanya tentang perasaan, tapi juga tentang usaha untuk saling memahami dan menguatkan. Aku merasa beruntung telah menemukan seseorang yang benar-benar menerima diriku apa adanya, dan aku tahu bahwa bersama Arya, aku akan mampu menghadapi apa pun yang akan datang.
Aku siap untuk melanjutkan langkah ini, satu demi satu, menuju masa depan yang kami impikan bersama.