Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 13 ~
Happy Reading
Dengan langkah setengah berlari aku menghampiri putri kecilku. Aku langsung mengecup dahinya yang masih menyemburkan suhu panas. Tanganku pun turut bergerak membelai kepalanya penuh kelembutan. Meskipun aku tidak memiliki pengalaman mengurus anak dari rahimku sendiri, tapi aku cukup paham bagaimana memperlakukan mereka. Salah satunya dengan kelembutan dan kesabaran yang ku tunjukan pada Lala.
"Bunda!"
"Iya sayang, gimana anak bunda?" tanyaku agak sedikit membungkukkan badan. Aku berusaha menyembunyikan raut sedih dari hadapan Lala.
"Lala senang, tadi malam bobo sama ayah, sama bunda"
Aku menautkan alis, sementara tanganku masih mengusap rambutnya.
"Lala lihatin ayah sama bunda, bobonya lucu, terus Lala bawa tangan bunda sama tangan ayah ke atas perut Lala. Jadinya ayah sama bunda bobonya pegang-pegangan tangan"
"Oh iya?"
Lala mengangguk lengkap dengan senyuman.
"Lala nggak bisa bobo tadi malam, soalnya takut ayah sama bunda pindah ke kamar ayah sama bunda, nanti ayah marahin bunda lagi. Jadinya Lala nggak bobo"
Aku tertegun, entah dengan mas Bima.
Anak sekecil Lalapun bisa merasakan ketulusanku, mas. Dia membalas rasa sayangku dengan sayangnya yang bahkan lebih besar, tapi mas Bima? Hingga dua tahun lebih berlalu, hati mas masih belum juga cair. Apa mas masih mencintai mbak Hana? Atau ada wanita lain yang membuat mas tidak bisa mencintaiku?
"Jadi Lala nggak bobo?" tanyaku menelisik wajahnya.
"Enggak"
"Ya udah, sekarang bobo lagi ya"
"Tapi bunda jangan pergi"
"Enggak, bunda temani Lala kok"
"Janji?" Anak ini menjulurkan jari kelingkingnya.
"Janji, sayangnya bunda" Kelingking kami saling menyatu, sebelum kemudian aku kembali mengecup kening Lala.
Ku lihat sedari tadi mas Bima hanya diam sambil menyimak obrolanku dengan putrinya. Ekspresinya benar-benar tenang saat kedua tangannya masuk ke dalam saku training yang dia kenakan. Tatapannya pun tak teralihkan barang sejenak dari putrinya yang masih menampilkan raut pucat.
"Bunda belum sholat subuh, Tha" Suara mas Bima membuat Lala mengalihkan pandangan ke arahnya. "Ijinin bunda sholat dulu, ya. Thalia sama ayah dulu"
Lala diam, seperti dilema antara mengijinkanku pergi untuk menunaikan kewajiban atau menahanku untuk tetap di sini menemaninya.
"Tadi malam kan udah sholat, bun"
"Tadi malam sholat isya, nak. Sekarang harus sholat lagi, namanya sholat subuh"
"Tapi habis sholat bunda temani Lala lagi"
"Pasti sayang, bunda kan nggak bisa jauh dari Lala, bunda kangen terus sama Lala"
"Ya udah bunda boleh sholat, tapi nggak boleh lama-lama"
"Okay, anak bunda" Balasku masih di posisi yang sama. "Bunda sholat dulu, ya"
"Iya, bunda"
Ku alihkan sepasang netraku pada mas Bima yang berdiri dengan gesture santai.
Priaku itu memang memiliki jiwa tenang, namun tegas. Ketenangan dan ketegasannya benar-benar di luar batas.
"Aku sholat dulu, mas"
Mas Bima hanya merespon dengan bahasa tubuhnya, mengangguk.
Saat aku keluar, dan sebelum menutup kembali pintu IGD, mas Bima tampak menggantikan posisiku berdiri di samping Lala, lalu mengecup keningnya cukup lama.
Seperti apa reaksi hatimu saat mendengar putrimu mengatakan kalau dia senang bisa tidur bersama ayah dan bundanya, mas?
Trenyuh? Atau bahkan tak peduli dan menganggap kesenangan putrimu itu hanyalah angin lalu?
Setelah menutup pintu, ku lanjutkan langkahku menuju mushola rumah sakit. Selain untuk beribadah, aku ingin menjernihkan pikiranku di sana.
Teringat bagaimana ucapan-ucapan Lala, juga betapa senangnya dia hingga tak bisa memejamkan mata, aku semakin tak tega untuk meninggalkannya.
***
Selesai aku menumpang sholat, aku tak langsung beranjak. Aku duduk di serambi mushola untuk menenangkan hati dan pikiranku yang kacau.
Aku ingin bertahan untuk Lala, lantas, apakah aku harus berjuang untuk hatiku? Berjuang mendapatkan hati mas Bima dengan cara lain? Cara yang Riska sarankan untukku? Membuat mas Bima jatuh cinta padaku?
Tapi bagaimana aku mengawalinya? pengalamanku tentang cinta saja benar-benar nol besar.
Lalu, setelah aku menggodanya, jika mas Bima tergoda itu bugus, tapi jika dia masih enggan melihatku, dan bahkan malah menolak, aku pasti akan malu, mau di taruh mana mukaku setelah itu?
Mendesah pelan, aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruang IGD.
Tadi saat aku bicara dengan Lala, perawat itu mengatakan pada mas Bima, kalau Lala akan di pindahkan ke ruang rawat. Sebab demam Lala yang terlalu tinggi membuat perawat itu harus mengobservasi Lala lebih lanjut. Selain itu, dokter juga belum memeriksanya karena dokter anak akan datang pada pukul tujuh.
Tepat ketika aku membuka pintu, aku melihat mas Bima menyentuh layar ponsel karena ada seseorang yang menelfonnya. Aku menghentikan langkahku begitu mas Bima mengucap salam.
"Assalamu'alaikum Gey!"
"Sudah bangun, lagi di rumah sakit. Ada apa?" Itu kata mas Bima, dengan nada datar khas miliknya.
"Lala"
"Dia demam"
Sesaat setelah itu, mas Bima mengarahkan layar ponsel ke wajah Lala.
Pria itu mengalihkan panggilannya ke video call.
"Good morning, sayang?" Suara seorang wanita yang akhir-akhir ini juga mengganggu ketenangan otakku.
"Good morning, onty"
"Thalia demam?"
"Demam sedikit, onty"
"Semoga lekas sembuh ya sayang"
Karena panggilan video call, aku bisa dengan jelas mendengar suara Gesya dari sebrang telfon.
"Nanti juga Lala sembuh, kan ada bunda jadinya Lala bisa cepat sembuh"
"Nanti onty kalau ada waktu di sempatin jenguk Lala ya, Lala mau di beliin apa?"
"Lala nggak pengin apa-apa, Lala cuma pengin sama bunda terus"
Mendengar ucapan Lala, sepertinya Gesya tercenung. Dia merasa tertampar mungkin...
"Assalamu'alaikum"
Aku memberanikan diri menyela obrolan Lala dengan tantenya. Mas Bima dan Lala kompak menjawab salamku.
"Bunda!"
Aku melangkah, langsung berjalan ke sisi sebelah kanan ranjang, sebab mas Bima ada di sisi kirinya.
"Bunda sudah selesai sholat?"
"Sudah sayang"
Tanpa mengatakan apapun, Lala menyerahkan ponsel pintar itu begitu saja ke tangan mas Bima.
"Halo Gey" Dia kembali mengalihkan panggilan dengan panggilan biasa. Bukan lagi video call, dan aku sudah tidak bisa mendengar ucapan Gesya.
"Hmm"
"Wa'alaikumsalam"
Setelah menjawab salam, mas Bima langsung menutup panggilannya.
Gesya bukan sainganku, level kami sangat jauh berbeda, aku sependapat dengan Riska kalau mas Bima tidak mungkin mencintai wanita yang suka mengumbar auratnya. Gesya yang kemungkinan mengejar-ngejar ayahnya Lala. Kalau tidak, ngapain dia pagi-pagi begini telfon mas Bima?
Dan keputusanku sudah bulat. Akan ku pertaruhkan rasa maluku dan bahkan harga diri untuk menggoda mas Bima.
Aku akan bisa memutuskan setelah tahu reaksi dari pria dingin ini ketika melihatku memakai pakaian memalukan itu.
Pakaian yang pernah mbak Zara kasih, mungkin cocok untuk mengawali misiku.
Bersambung
Semangat berkarya