Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 12 ~ Tukang Ngadu (2)
Ketiga pria di hadapan Dara menatap dengan cara dan karakter yang membuat Dara emosi jiwa. Leo dengan tatapan tajam, macam emak-emak belum dapat jatah bulanan. Sedangkan David meski dengan wajah datar, tapi aura yang keluar membuat bulu kuduk merinding. Entah ilmu kanuragan apa yang dimiliki pria itu.
Untuk Pandu, tentu saja penampilannya tetap memukau. Apalagi berada diantara kedua pria yang sudah sold out dan generasi yang berbeda. Kalau tidak ingat mulut Pandu yang pedas dan lemas, rasanya Dara ingin melompat ke pangkuan pria itu atau menarik tangannya dan berlari di koridor sambil berpegangan tangan dan menari di lobby diiringi lagu bollywood.
“Dara Larasati.”
“Iya, Pak.” Panggilan David membuyarkan lamunan gadis itu.
“Kamu tahu ‘kan tamu harus diperlakukan seperti apa?” tanya David.
“Tau, Pak. Mungkin untuk beliau, pengecualian karena ….”
“Dara!” hardik Leo bahkan Dara terkesiap karena terkejut.
“Apa sih Pak, bikin kaget aja.”
“Pak Pandu, menurut Anda hukuman apa yang tepat untuk Dara?” tanya David dan sontak membuat Dara panik. Ia langsung mengatupkan kedua tangan di depan dada seakan memohon agar Pandu memaafkannya, bahkan memasang wajah memelas.
“Ulah kamu membuat tamu celaka. Bagaimana kalau sampai ada korban jiwa,” ungkap Pandu.
“Ah, betul itu,” seru David.
“Tapi ‘kan nggak Pak. Lihat aja orang masih sehat dan ganteng gitu,” tunjuk Dara ke arah Pandu. “Jangan berlebihan deh Pak, kemarin saya mau ajak cek kesehatan malah nolak.”
“Kamu bukan mengajakku cek kesehatan, tapi CT scan untuk melihat apa otakku masih berada di tempatnya atau bergeser.” Dara berdecak pelan mendengar penjelasan Pandu mengulang kalimatnya malam itu.
“Apa kita pecat saja?” tanya David.
Dara mengernyitkan dahinya. Apa dia tidak salah dengar atau memang David sedang mabuk. Berlebihan sekali kalau kesalahannya harus Pandu yang menentukan sanksi yang didapat. Padahal Hotel jelas-jelas memiliki peraturan.
“Pak David,” panggil Leo, tapi David hanya mengangkat telapak tangannya seakan meminta Leo untuk diam.
“Jangan, dipecat terlalu mudah untuknya. dia tidak akan jera,” sahut Pandu sambil mengusap dagunya sedangkan pandangan beradu tatap dengan Dara yang memicingkan mata. “Turunkan jabatannya sebagai petugas housekeeping, paling tidak selama satu bulan. Jika masih berulah, jangan kembalikan jabatannya.”
“Hah! Yang bener aja Pak, rugi dong saya udah kuliah dan pengalaman kerja sekian tahun malah berakhir jadi petugas housekeeping.” Tidak mungkin Dara tidak keberatan dengan keputusan yang disampaikan Pandu.
“Pilihan kamu hanya dua, kerjakan atau resign,” ancam Pandu.
“Oke, jadi itu sanksi yang kamu dapat,” jelas David.
“Maaf Pak David, bukan saya lancang. Dara memang bersalah, tapi kenapa kita harus ikuti pendapat tamu. Meskipun beliau memang member dan tamu VVIP,” ungkap Leo membela Dara.
“Ah betul itu, tidak profesional Pak. Secara ini hotel berbintang masa saya yang berkilau kayak bintang harus jadi housekeeping. Jangan bercanda deh,” ujar Dara semakin berani, ia pikir Leo mendukungnya.
He-he, Pak Leo dukung aku. Ya, iyalah. Kalau aku dipecat apalagi jadi petugas housekeeping belum tentu bisa dapat pengganti aku yang kompeten dan paket lengkap begini.
“Kalian ini, jangan bicara kalau tidak tahu kenyataannya. Beliau ini Pandu Aji Mahendra memiliki saham di hotel ini dan keluarga Ibunya adalah pemilik Grand Season Hotel,” ungkap David.
Bukan hanya Leo yang terkejut, Dara pun sama. Bahkan gadis itu sampai memegang dadanya, bagaimana tidak beberapa hari ini terus dikejutkan dengan hal yang tidak terduga. Jika memiliki riwayat penyakit jantung, sudah pasti Dara akan tergolek lemah tidak berdaya.
Pantas saja Pandu sering tinggal di hotel, bahkan ada kamar yang dianggap seperti tempat tinggal pribadi. Ternyata hotel ini milik keluarganya.
Alamak, aku berurusan dengan orang yang salah. Hiks. Kemana saja aku selama ini.
Rasanya Dara ingin tenggelam di palung terdalam, karena malu dan tidak ingin berurusan dengan pria itu. ia akan sering bertemu di keluarga Mahendra dan di … hotel.
“Oh, Maaf Pak Pandu, saya tidak tahu,” ujar Leo sambil tergagap.
“Jadi, Dara. Kamu mau pilih opsi yang mana?” tanya David dengan posisi bersedekap.
Dara menghela pelan lalu melirik Pandu yang duduk di sebelah David, pria itu terlihat tertawa sinis seakan senang entah karena apa.
Lihat saja nanti, rambutmu akan aku jambak lagi
“Saya … bertahan, pak,” sahut Dara lalu menundukan kepala karena mulutnya ingin sekali mengumpat.
“Mulai besok, kerjakan mulai besok. Leo, awasi dia dan cari pengganti Dara untuk sementara,” titah David yang dijawab siap oleh Leo.
Sepanjang koridor keluar dari ruangan David, Leo terus mengoceh memarahi Dara. Bahkan melewati meja informasi masih saja mulutnya tidak bisa direm. Dara sampai berdecak karena kalimat yang diucapkan hanya berulang.
“Pak Leo, daripada marah-marah. Lebih baik bapak cari pengganti saya untuk satu bulan ini. Semangat ya, pak,” ujar Dara mengepalkan tangannya ke udara karena ia tahu bukan hanya dirinya yang dapat hukuman, tapi Leo juga. “Saya duluan,” jawab Dara lagi lalu memasuki lift menuju ke atas, sedangkan Leo menunggu lift turun.
***
Sudah dua hari ini Dara menjalankan peran sebagai petugas housekeeping. Biasanya dia yang mengarahkan petugas, kini harus bekerja bersama-sama. Namun, tidak ada yang berani mengerjai gadis itu karena yang saat ini dilakukan hanya sementara. Bisa saja, Dara kembali ke jabatannya dan mereka tidak ingin bermasalah di kemudian hari.
Apalagi Dara walaupun kadang konyol, tapi ada masa dia serius dan cukup tegas cenderung galak. Meskipun tetap saja Leo lebih ditakuti, karena malas mendengarkan ocehan pria itu.
“Capek, Mbak?” tanya Reni.
“Pake nanya, aku begini karena ulah kamu juga,” sahut Dara lalu berdecak.
Reni terkekeh dan berinisiatif memijat bahu Dara dengan berdiri di belakang gadis itu duduk. Khawatir dia akan dipecat, ternyata ulah Reni malah tidak diungkap dan Dara yang tersorot.
“Terus, sebelah ini,” tunjuk Dara pada tengkuknya. “Halo, Bun.” Dara menjawab telepon dari Kemala.
“Kamu pulang ya, Pak Jaya mengundang makan malam. Bunda sudah datang dari semalam, sekalian kamu cek kamar di sini. Sesekali pulang jangan keterusan di kost, bunda nggak enak sama Mas Surya.”
“Hm, nanti aku pikirin. Makan malam, harus?”
“Harus Dara, ini undangan dari Pak Jaya,” ujar Kemala lagi. “Oh, iya. Kamu berantem dengan Citra lagi?”
“Nggak ada Bun, gimana aku berantem dengan dia kalau bertemu juga belum.”
“Ck, kalian ini kenapa sih tidak akur. Dia bilang, kekasihnya main mata dengan kamu.”
Astaga, minta di col0k mata si Citra. Seneng banget memfitnah aku, belum pernah nonton siksa neraka sih.
Atun mo dikemanain, mas?
Gak salah????