Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Aku berdiri terpaku di tempatku, napasku tertahan, telingaku dipenuhi suara ketukan keras di pintu. Aku menatap Rina, yang tampak lebih tegang daripada sebelumnya. Ketukan itu terus berlanjut, semakin keras, seolah orang di luar sana tidak sabar menunggu jawaban. Rina berjalan cepat ke arahku dan menarik lenganku.
"Kirana, kita harus keluar dari sini sekarang!" suaranya mendesak, hampir seperti perintah.
Aku merasakan tubuhku kaku, tapi instingku memaksa untuk mengikuti arahnya. Kami bergerak ke belakang rumah, melalui koridor sempit yang sepertinya jarang digunakan. Pikiran-pikiran tentang Dion dan semua yang telah dia sembunyikan menghantamku seperti badai. Apakah Dion benar-benar terlibat dengan orang-orang berbahaya ini? Dan lebih penting lagi, apakah aku sudah masuk terlalu dalam?
Rina menarikku melewati dapur yang sempit, menuju pintu kecil di belakang. Dia membuka pintu itu dengan cepat, memeriksa ke luar sebelum melangkah keluar dengan hati-hati. Udara malam yang dingin langsung menyambut kami, menggigit kulitku. Di luar, suara ketukan di pintu depan masih terdengar—sekarang ditambah dengan suara panggilan pria yang tampaknya semakin tidak sabar.
Kami berlari melewati halaman belakang, menuju pagar tua yang terbuat dari kayu. Rina, tanpa banyak bicara, membantuku melompati pagar itu. Setelah kami berhasil melewatinya, kami bersembunyi di balik semak-semak yang tumbuh di dekat pagar, berharap tidak terlihat oleh siapa pun yang mungkin datang.
"Siapa yang mengetuk pintu tadi?" aku akhirnya bertanya, suaraku bergetar oleh ketegangan.
Rina menggeleng, napasnya terengah-engah. "Aku nggak tahu pasti. Tapi kalau benar Dion dalam masalah besar seperti yang kuduga, kita nggak bisa ambil risiko."
Aku masih mencoba mencerna semua ini. Apakah Dion tahu bahwa aku berada di sini bersama Rina? Apakah dia tahu bahwa aku mulai mencari tahu kebenaran tentang dirinya?
Rina melirik ke arahku, matanya penuh kecemasan. "Kamu nggak bisa balik ke rumah sekarang, Kirana. Kalau Dion benar-benar datang, dia nggak akan berhenti sampai dia menemukanmu. Kamu harus pergi jauh, setidaknya sampai semuanya jelas."
Aku menatapnya, masih sulit menerima kenyataan yang disodorkan padaku. Pergi jauh? Meninggalkan semuanya? Aku sudah menggugat cerai Dion, sudah meninggalkan rumahnya, tetapi ini? Ini terasa seperti pelarian dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pernikahan yang hancur.
"Rina, aku nggak bisa lari terus," kataku, suaraku terdengar lemah, tapi tegas. "Aku harus tahu semuanya. Aku nggak bisa terus-terusan dikejar oleh rahasia dan kebohongan ini."
Rina terdiam sejenak, menatapku dengan tatapan penuh simpati. "Aku mengerti, Kirana. Tapi ada hal-hal yang mungkin lebih baik kalau kamu nggak tahu."
Sebelum aku bisa merespons, ponselku bergetar di dalam tas. Aku merogohnya dengan tangan gemetar, berharap itu bukan dari Dion. Tetapi harapan itu segera pupus saat nama Dion muncul di layar.
“Dion,” bisikku, merasa jantungku kembali berdetak kencang. Rina langsung menatapku waspada, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kamu mau angkat?” tanyanya pelan.
Aku menggeleng, menolak mentah-mentah. Namun, ponselku terus bergetar, seolah memaksa diriku untuk menanggapinya. Suara di kepalaku berseteru—apakah aku harus tahu apa yang akan dia katakan, atau apakah aku harus lari saja, jauh dari semua ini?
Tepat saat ponsel berhenti bergetar, sebuah pesan masuk dari Dion.
“Kirana, aku tahu kamu bertemu Rina. Kamu nggak tahu semuanya. Jangan percaya apa yang dia bilang. Kita harus bicara. Aku di luar rumah Rina sekarang. Tolong angkat.”
Dunia seakan berhenti berputar. Aku menoleh ke arah Rina, yang tampak sama terkejutnya denganku. Jadi Dion benar-benar sudah ada di luar. Apa yang akan dia lakukan jika menemukan kami?
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanyaku dengan suara gemetar.
Rina tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kita harus pergi dari sini. Kalau Dion sudah tahu aku di sini, dia pasti nggak sendirian. Aku nggak bisa biarkan dia menemukan kita."
Tapi sebelum kami bisa bergerak, suara langkah kaki mendekat semakin cepat dari arah pagar. Kami terdiam, mendengarkan dengan cermat. Tak lama, bayangan seorang pria muncul dari balik semak-semak. Sosoknya besar, dengan langkah yang mantap.
Dion.
Dia berdiri di sana, matanya terpaku pada kami, terpantul oleh cahaya lampu jalan yang samar-samar.
"Kirana," panggilnya, suaranya terdengar putus asa, namun penuh kontrol. "Kamu harus dengar aku. Rina nggak cerita semuanya. Aku bisa jelasin semuanya."
Rina berdiri di depanku, menghadang Dion, seolah siap melindungiku dari segala kemungkinan.
"Kirana nggak akan dengar omong kosongmu lagi, Dion!" bentak Rina.
Aku merasa seperti terjebak di tengah pusaran emosi yang kacau. Dion, yang dulu kucintai dan percayai, sekarang berdiri di sana seperti seseorang yang benar-benar asing. Semua kata-katanya seolah-olah hanya kebohongan lagi, tapi apa yang harus kulakukan?
"Kenapa kamu di sini, Dion?" tanyaku, suaraku terdengar rapuh tapi penuh kekecewaan. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"
Dion menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. "Kirana, aku tahu aku banyak salah, tapi kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku... aku cuma ingin kita bicara. Tolong jangan dengar apa yang Rina katakan. Aku bisa jelasin semua ini."
Sebelum aku bisa menjawab, Rina menarik lenganku, memaksaku untuk kembali fokus padanya. "Jangan dengarkan dia, Kirana. Dion cuma mau kamu kembali agar dia bisa mengontrolmu lagi. Kamu harus percaya sama aku."
Aku terdiam, dihadapkan pada dua pilihan yang semakin membingungkan. Dion atau Rina? Siapa yang benar-benar berkata jujur? Di sisi lain, mungkin keduanya menyembunyikan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum kusadari.
Saat aku berdiri di antara mereka, cahaya lampu dari mobil lain mendekat dengan cepat. Suara mesin yang bising semakin mendekat, dan sebelum aku sempat bereaksi, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pagar.
Dua pria berbadan besar keluar dari mobil itu, menatap kami dengan ekspresi dingin. Dion langsung menegang, wajahnya berubah serius.
"Mereka datang untukku," bisiknya.
Rina mundur selangkah, panik terlihat jelas di wajahnya. "Kirana, kita harus pergi! Sekarang!"
Namun sebelum kami bisa bergerak, salah satu pria dari mobil itu berjalan mendekati Dion. "Waktumu sudah habis, Dion," ucapnya dengan nada dingin. "Kita harus selesaikan ini sekarang."
Jantungku terasa seperti berhenti berdetak. Aku merasa dunia di sekitarku mulai runtuh, dengan Dion yang tiba-tiba terlihat lebih takut dari sebelumnya, dan Rina yang berusaha melindungiku.
Dan di saat itu, aku tahu satu hal—ini belum berakhir.
Tiba-tiba, salah satu pria mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya, sesuatu yang membuat darahku membeku.
Sebuah pistol.
Aku mematung, mataku terpaku pada senjata di tangan pria itu. Pikiranku kosong, dan semua yang kulihat adalah Dion yang kini berdiri kaku di tempatnya, seolah siap menerima nasib yang akan menimpanya.
"Kirana, lari!" teriak Rina.
Namun, aku tidak bisa bergerak.
Pria itu mengarahkan pistolnya, dan dunia seakan berhenti bergerak.