"Biarkan sejenak aku bersandar padamu dalam hujan badai dan mati lampu ini. Aku tidak tahu apa yang ada dalam hatiku, aku hanya ingin memelukmu ..."
Kata-kata itu masih terngiang dalam ingatan. Bagaimana bisa, seorang Tuan Muda Arogan dan sombong memberikan hatinya untuk seorang pelayan rendah seperti dirinya? Namun takdirnya adalah melahirkan pewarisnya, meskipun cintanya penuh rintangan dan cobaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susi Ana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26.Saingan Muncul
Terdengar dengkuran keras dari mulut Kakek Arlan yang tertidur pulas. Badan tua itu meringkuk di atas kursi tuanya. Tampak sekilas, posisi tidurnya tidak begitu nyaman. Namun, rasa lelah karena hampir seharian mengurus Lou membuat Beliau begitu kelelahan. Apalagi, dalam gubuk itu hanya ada satu ranjang tidur yang terbuat dari bambu. Di dalam kamar Kakek Arlan hanya dipakai tempat untuk menaruh pakaian.
Biasanya, Helena tidur bersama kakeknya di ranjang bambu itu. Walaupun usianya bukan lagi anak-anak, Helena tidak mau tidur sendirian. Kadang Sang Kakek memarahinya. Dan membiarkan Helena tidur di ranjang bambu, dan dirinya meringkuk di kursi tuanya yang nggak jauh dari sisi ranjang bambu itu. Dan sekarang, ranjang bambu itu di tempati oleh Lou.
Lou segera memejamkan mata. Ramuan yang dia minum, mulai bekerja. Rasa kantuk membuatnya lupa tentang rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Belum setengah jam memejamkan mata, ia pun sudah pulas sekali.
Apa yang dicemaskan oleh Kakek Arlan tidak terjadi. Karena Lou tidak mengalami igauan karena demam. Bahkan ia tidur layaknya orang mati. Hati Kakek Arlan pun tenang dan kembali melanjutkan tidurnya.
Malam yang panjang berakhir pagi. Kokok ayam jantan terdengar bersahutan. Mentari pagi pun bersinar hangat. Sinarnya masuk melalui celah-celah anyaman dinding yang terbuat dari bambu. Lou merasakan silau saat sinar itu mengenai wajahnya.
Saat dia membuka mata, dia melihat Helena dan Kakeknya tidak ada di sana. Terdengar dari luar hiruk pikuk para petani yang rajin bekerja. Di sana, terhampar ladang jagung yang siap panen.
Bersama terbitnya mentari di musim panas, orang-orang dengan riang bekerja di ladang. Ada yang menggembalakan ternaknya, ada yang memerah susu dan ada yang memanen sayuran. Sungguh suasana pedalaman hutan yang setara dengan suasana pedesaan yang damai dan tenang.
Anak-anak pergi bersama ke sekolah dengan jalan kaki dan sekolah mereka apa adanya. Sambil berjalan menyusuri pepohonan yang rindang. Mereka bersenandung lirih melantunkan lagu kesukaan. Ada yang bercerita penuh tawa dan canda.
Perbedaan suku dan warna kulit tidak menjadikan mereka terpecah. Suasana seperti itulah yang mengembalikan memori Lou yang sempat terlupakan. Desa impian bagai surga itulah kampung halamannya saat tinggal bersama Simboknya. Namun, memori itu belum sepenuhnya diingatnya.
"Masuklah kak, jangan sampai masuk angin."
Kata Helena yang datang sambil membawa seekor ayam yang baru di sembelih oleh kakeknya. Lou pun tersenyum dan melihat ke arah ayam itu.
"Mau makan besar ya?" Tanyanya dengan wajah senang.
"Ayam itu hadiah dariku, anak kota!!"
Terdengar suara pemuda yang sangat lantang dengan nada yang nggak bersahabat dari belakang Helena. Lou pun langsung menatap ke pemuda tersebut. Tubuh pemuda itu begitu gagah dengan tubuh yang ideal. Tidak kurus seperti dirinya. Wajahnya manis, meskipun tidak setampan dirinya.
"Kak Dida? Kenalkan, dia Kakak Lou. Pria yang kami selamatkan!" Balas Helena yang mendekati pemuda itu dan langsung memperkenalkan nya.
"Aku nggak mau mengenalnya, jika membuatmu meninggalkan ku dan tempat ini!!"
Jawaban ketus keluar dari pemuda yang bernama Dida itu. Lou agak terperanjat mendengar ucapan ketusnya. Namun Lou menyadari, usianya lebih tua. Jadi dia harus bersabar menghadapi yang lebih muda.
"Aku nggak akan membawa Helena mu pergi kok. Aku lah yang akan pergi dari sini. Jadi, jangan khawatir kan hal itu!"
Jawaban Lou terdengar menekan, ada sedikit cemburu yang menyelinap di dalam hatinya. Sedangkan Helena hanya termangu diam, saat mendengar Lou mengucapkan "Helena mu". Helena langsung tahu, di dalam hati Lou tidak ada perasaan yang sepesial untuknya.
"Huh!! Jangan bermulut manis!! Aku nggak percaya dengan ucapanmu, anak kota!! Awas saja, jika kau menikamku dari belakang!! Aku akan memburu mu sampai ke ujung dunia sekalipun mencari Helena ku!!"
Balasan Dida semakin menciptakan sebuah permusuhan. Api cemburu berkobar pada mata pemuda itu di hari yang masih pagi. Helena pun semakin marah dibuatnya.
"Sudah!! Sudah!! Kalian jangan berdebat karena diriku!! Aku masih bebas dan bukan milik siapa pun!! Kak Dida?! Jika kak Dida nggak mau membantuku, lebih baik pulang sana!!"
Helena yang berusaha sabar, akhirnya meluapkan kemarahannya. Lou langsung diam tanpa bisa berkomentar. Sedangkan Dida masih menatapnya dengan mata permusuhan. Saat mendengar Helena mengusirnya, Dida berusaha meraih tangannya.
"Aku mau bantu!! Aku janji, nggak akan bicara lagi dengannya!!"
Dida mengikuti langkah Helena yang memaksakan diri menjauh. Dia melangkah masuk ke dapur. Sedangkan Lou tetap duduk di kursi yang terletak di sebelah kiri pintu. Dia hanya tersenyum, sambil mengamati lalu lalang para petani pedalaman yang menuju ladang. Lou tidak melihat Kakek Arlan pagi ini.
"Kemana ya si kakek?" Gumamnya pelan.
Dia menatap ke langit pagi yang begitu cerah. Burung-burung beterbangan dengan bebasnya. Dan dia ingin bebas seperti burung itu. Kini usianya sudah 22 tahun. Dia belum pernah merasakan apa itu jatuh cinta. Saat melihat Helena, ada rasa yang aneh dalam hatinya. Dia ingin berada di dekatnya dan ingin melindunginya. Apakah itu cinta?
Namun, samar-samar dia pun teringat mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya. Mimpi seorang wanita cantik dengan wajah yang bersinar dan suaranya terdengar bagai lagu yang selalu memanggilnya. Lou tidak tahu siapa wanita itu. Suaranya sangat indah. Dan itu bukan suara Helena.
"Sedang melamun apa?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dia dengar dari arah sampingnya. Lou langsung mendongakkan kepalanya. Dan dia melihat Kakek Arlan yang mengenakan caping dan di tangan beliau, ada jagung dan ketela yang baru beliau petik.
"Kakek...."
Lou berusaha bangkit dari duduknya dan hendak membantu membawakan barang bawaan Kakek Arlan. Tapi kakinya belum stabil, sehingga dia hampir saja tersungkur. Kakek Arlan pun buru-buru menolongnya.
"Badanmu belum sembuh benar! Jangan memaksakan diri untuk bergerak! Ayo, masuk saja!!"
Cegah Kakek Arlan yang mengajak Lou masuk ke dalam gubuk. Lou pun tidak berani membantah. Dia merasa sangat bersalah, sudah merepotkan beliau lagi. Kapankah badannya sembuh dan sehat kembali?
Di dalam dapur, terdengar gurauan Dida dan Helena yang asyik memasak. Kakek Arlan pun kembali keluar dan mengambil barang bawaan nya dan membawanya ke dapur.
"Wah, anak kepala suku?? Tumben pagi-pagi sudah kemari?" Sapa Kakek Arlan yang sedikit kaget.
"Kenapa Kakek Arlan tidak melaporkan pemuda itu pada ayahku? Anak kota yang akan membawa Helena ku pergi!!"
Nada Dida tidak bersahabat. Api cemburu terus menguasai hatinya. Sehingga amarahnya tidak bisa dia kendalikan. Dia merasa sok jadi anak orang penting dalam klan pedalaman. Kakek Arlan pun menanggapi nya dengan santai.
"Yang kau maksud Lou? Dia terluka parah, dan kami berdua sibuk menyelamatkan nya. Menyelamatkan sebuah nyawa jauh lebih penting dari pada melaksanakan perintah!!"
Ucapan Kakek Arlan terdengar tegas meskipun wajah beliau nggak tampak marah. Helena pun menatap tajam ke arah Kakeknya. Takut dan khawatir melanda hatinya. Dia takut jika kakeknya dianggap sebagai pembangkang suku. Hasilnya nanti buruk. Mungkin mereka akan diusir keluar dari pedalaman itu. Atau dihukum gantung di tengah-tengah upacara adat suku.
"Aku nggak mencemaskan anak kota itu, Kakek!! Aku nggak mau, anak kota itu membuat Helena ku pergi bersamanya!!"
Ucapan Dida tetap terdengar ngeyel. Kelakuan nya sangat keras kepala. Apapun yang dia inginkan, seperti sudah menjadi miliknya. Kakek Arlan pun agak emosi. Suasana dapur pun mulai memanas, bukan karena panas tungku.