Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Tidak Bisa Dihubungi
Revisi
.
.
.
.
.
Tubuh Hanung seketika luruh di lantai kamar yang disiapkan untuknya. Ia sangat bersyukur Allah mengirimkan orang baik untuk menolongnya. Hanung mendekap lututnya dan menenggelamkan kepalanya disana, persis seperti yang Gus Zam lakukan saat sedang cemas.
Ia sedang menenangkan hatinya saat ini. Keputusan yang ia ambil, ia yakini sebagai yang terbaik tidak berjalan sesuai dengan harapannya. Hanung menyadari jika semua rencananya bergantung pada kuasa Allah. Hanung juga mengimani takdir yang Allah berikan untuknya. Kini ia hanya bisa meyakini keputusannya untuk kembali adalah yang terbaik karena tak ada alasan lagi baginya untuk berbakti kepada Surati.
"Tok.. Tok.. Tok.." suara ketukan dari luar menyadarkan Hanung dari pikirannya.
Ia pun berdiri dan membuka pintu. Terlihat Ibu pemilik warung membawakan teh panas untuknya. Hanung pun menerimanya dan izin untuk sholat karena ia belum isya'. Ibu pemilik warung pun membawa Hanung ke kamar mandi yang ada dibelakang rumah.
Rumah pemilik warung adalah rumah panggung khas Kalimantan yang terbuat dari kayu semua. Kamar mandi yang ada dibelakang menyambung dengan alas rumah, tetapi ada sekat yang digunakan untuk menjemur pakaian. Sehingga kamar mandi terlihat terpisah. Hanung mengambil wudhu di kendi dan melaksanakan sholat.
"Assalamu'alaikum Humaira.. Kamu baru sholat?" tanya Gus Zam yang melihat Hanung masih mengenakan mukena.
"Wa' alaikumussalam Mas.. Iya, baru saja selesai." Hanung meletakkan ponselnya agar hanya memperlihatkan wajah sisi kanannya.
"Kenapa selarut ini?"
"Tadi ada urusan, Mas." Hanung tersenyum.
"Apakah kamu akan langsung tidur?"
"Ehm.." Hanung mengangguk.
"Tidurlah.. Aku akan bersholawat untukmu."
Hanung tersenyum dan melepaskan mukena, menggantinya dengan hijabnya. Gus Zam mulai bersholawat lirih, menemani Hanung yang merebahkan kepalanya. Tak butuh waktu lama, Hanung pun terlelap.
"Apa yang kamu sembunyikan?" gumam Gus Zam sambil mengusap layar ponselnya.
Selama sebulan ini, Gus Zam sudah berusaha menstabilkan mentalnya dengan bantuan psikiater dan juga keluarganya. Tetapi semakin stabil mentalnya, ia semakin bisa melihat jika Hanung menyembunyikan sesuatu darinya. Gus Zam hanya berharap, istrinya akan menceritakan semuanya nanti saat sudah siap.
Sekitar pukul 3, Hanung terbangun. Dirinya mencoba menghubungi Gus Zam, mungkin saja suaminya sudah bangun sama sepertinya namun tak tersambung. Hanung pun mengirimkan pesan dan perlahan keluar untuk mengambil wudhu.
"Kamu sudah bangun?" tanya suami pemilik warung yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Iya, Pak. Saya mau sholat malam." kata Hanung sambil menunduk.
"Tidak perlu sungkan, panggil saja saya "Pakdhe" dan istri saya "Budhe". Itu panggilan akrab kami disini."
"Pakdhe orang Jawa?"
"Ya. Kami keturunan Kediri, hanya saja sudah lama merantau mulai dari nenek kami. Kamu juga orang Jawa?"
"Iya, Pakdhe. Saya lahir di Bojonegoro, tetapi Ayah saya asli Magetan dan Ibu.. Kediri."
"Wah, ternyata kita ini jodoh! Lakukan dulu apa yang mau kamu lakukan, sebentar lagi istri saya juga akan bangun. Nanti bergabunglah didapur bersama kami." kata suami pemilik warung yang kemudian meninggalkan Hanung.
Selesai melaksanakan sholat, Hanung kembali melihat ponselnya yang belum ada balasan dari Gus Zam. Ia pun keluar menemui pasangan suami istri pemilik warung di dapur. Hanung disambut ramah oleh mereka, bahkan sudah disiapkan teh panas untuknya.
Sambil membantu pemilik warung menyusun belanjaan ke dalam kotak kardus, Hanung terbawa obrolan mereka. Dari mulai saling bertukar nama dan pengalaman mereka selama merantau. Dari cerita mereka Hanung juga tahu bahwa mereka lah yang membawa Surati ke Kalimantan.
"Maaf, Pakdhe Warto. Surati itu Ibu saya."
"MasyaAllah.. Berarti kita masih keluarga! Jadi, kamu anak Agus? Bagaimana kabarnya?" seru Pakdhe Warto dengan bahagia.
"Ayah, sudah meninggal."
"Innalillahi wainnailaihi roji'un.." seru Pakdhe dan Budhe bersamaan.
Jika Pakde Warto menatap Hanung dengan iba, berbeda dengan Budhe Cici yang menatap Hanung dengan tatapan yang tidak bisa digambarkan.
"Apa Surati yang menamparmu?" tanya Budhe Cici tiba-tiba, mengejutkan Pakdhe Warto dan Hanung sekaligus.
"Iya. Budhe dan Pakdhe sudah tahu sifat Ibu, ini karena saya tidak mau menurut." Budhe Cici segera memeluk Hanung.
Beliau juga menceritakan mengapa hubungan mereka dengan Surati memburuk. Semua dilatarbelakangi suami Surati yang tidak menyukai mereka. Sehingga Surati tidak lagi menghubungi mereka ataupun mampir kerumah. Mereka memaklumi, karena mungkin Donga menganggap derajat mereka lebih rendah darinya. Makanya mereka juga tak lagi menghubungi Surati. Cukup tahu saja kalau mereka masih berkeluarga.
Mendengar hal itu, entah keberanian darimana Hanung pun mengadukan semua yang ia alami selama ikut Surati. Pakdhe dan Budhe pun merasa geram dengan Surati.
"Tinggallah beberapa hari disini, kami akan mengantarkan kamu ke Bandara. Tidak baik kamu naik travel sendirian." kata Pakdhe Warto.
"Untuk masalah Surati, keputusan kamu sudah benar. Walaupun kewajiban seorang anak adalah berbakti kepada orang tua, terutama Ibu. Kamu juga berhak bahagia, apalagi kamu sudah memiliki suami. Biarkan Surati menanggung dosanya sendiri atas kedzolimannya. Kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban." imbuh Pakdhe Warto.
"Apa suami dan keluargamu yang di Jawa tahu semua ini?" tanya Budhe Cici yang masih memeluk Hanung yang menangis.
Hanung hanya menggeleng. Budhe Cici pun mengeratkan pelukannya. Pakdhe Warto hanya bisa menghela nafas panjang. Mungkin Hanung memiliki pertimbangannya sendiri saat merahasiakannya dari suami dan keluarganya.
Adzan subuh yang berkumandang, mengakhiri pelukan Budhe Cici. Mereka pun melaksanakan sholat subuh dikamar masing-masing. Setelah selesai, Hanung masih belum mendapatkan kabar dari Gus Zam. Panggilan pun tidak tersambung. Ia pun mencoba menghubungi Ning Zelfa untuk memastikan keadaan Gus Zam.
"Maaf Hanung, tadi di kamar mandi. Ada apa?" Tanya Ning Zelfa yang menghubungi Hanung kembali.
"Maaf menghubungi pagi-pagi. Mas Zam tidak bisa dihubungi, Zelfa. Bisakah aku meminta tolong untuk melihat keadaannya?”
“Oh, sebentar.” Ning Zelfa berjalan keluar kamar, menuju kamar Gus Zam.
Beberapa kali ketukan tidak ada jawaban, tidak seperti Gus Zam yang biasanya. Hanung yang ada diseberang panggilan pun semakin cemas hingga mengizinkan Ning Zelfa untuk membuka pintu kamar. Ning Zelfa membuka pintu kamar tetapi tidak menemukan siapapun di sana, bahkan kamar mandi pun kering seperti tidak ada yang masuk dari semalam.
“Sabar Hanung, mungkin Mas Adib pergi ke masjid dan belum pulang. Aku akan kesana, nanti aku kabari lagi.” Hanung mengangguk dan mengakhiri panggilan, ia hanya bisa menunggu kabar dari Ning Zelfa saat ini.
Sementara itu, Ning Zelfa yang tidak menemukan Gus Zam di masjid pun mencari Pak Kyai dan Bu Nyai. Mereka mengatakan tidak ada melihat Gus Zam pagi ini. Segera saja seisi rumah kalang kabut mencari keberadaan Gus Zam. Bahkan Gus Miftah mengumumkan di speaker untuk melapor jika bertemu dengan Gus Zam.
padahal udah bagus lho