Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22 : Di Bawah Bayangan Ketakutan
Pagi datang dengan sinar matahari yang samar-samar menembus jendela kecil rumah Pak Darma. Suasana desa yang tadinya terasa damai kini dipenuhi kekhawatiran, terutama bagi Tiara dan kelompoknya. Di dalam rumah itu, semua orang masih terjaga, kecuali Tiara dan Putri yang masih tertidur lelap. Rasa lelah yang tak tertahankan membawanya ke dalam tidur yang lebih mirip pelarian dari semua masalah yang ia hadapi.
Diana, duduk di samping Tiara yang masih tertidur. Matanya sesekali memandang ke arah jendela, seolah mengawasi jika ada tanda-tanda bahaya mendekat. Pak Arif dan Raka duduk di ruang tamu, berbicara pelan dengan Pak Darma, membahas langkah-langkah berikutnya.
“Kalian tak bisa tinggal di sini terlalu lama,” kata Pak Darma dengan suara pelan namun tegas. “Orang-orang Pak Mike akan mulai menyisir desa ini. Meskipun aku bisa dipercaya, beberapa penduduk di sini sudah lama bekerja untuk mereka. Kita harus mencari cara untuk keluar.”
Raka mendengarkan dengan serius, meski pikirannya masih penuh dengan kekhawatiran akan kondisi Tiara dan Putri. “Lalu ke mana kita harus pergi?” tanyanya. “Tempat mana yang bisa aman dari orang-orang mereka?”
Pak Arif menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Ada satu tempat yang mungkin aman untuk sementara, tapi berisiko. Di luar desa, sekitar dua jam perjalanan, ada gua tua yang tidak banyak diketahui orang. Tempat itu bisa menjadi tempat persembunyian kita sampai keadaan tenang.”
“Gua?” Raka merasa sedikit ragu. “Apa tempat itu cukup aman?”
Pak Darma mengangguk. “Aku tahu tempat itu. Gua itu berada di lereng bukit yang jarang didatangi orang. Tapi perjalanan ke sana sulit, terutama dengan kondisi Tiara dan Putri sekarang. Kita perlu memastikan dia cukup kuat untuk perjalanan itu.”
Sementara mereka membahas rencana, Diana masuk ke ruang tamu dengan wajah serius. “Tiara mulai terbangun. Aku akan membawanya ke sini. Dia harus tahu apa yang terjadi,” katanya sambil berjalan kembali ke kamar.
Di dalam kamar, Tiara perlahan membuka matanya. Wajahnya masih pucat, namun ia mulai sadar dengan kondisi sekitarnya. Ketika ia melihat Diana duduk di sampingnya, ia tersenyum lemah. “Diana… kita di mana sekarang?”
“Kita sudah aman untuk sementara waktu,” jawab Diana sambil memegang tangan Tiara. “Kita berada di rumah Pak Darma, seorang teman Pak Arif. Tapi kita tak bisa tinggal di sini lama. Ada rencana untuk keluar dari desa ini.”
Tiara berusaha duduk meskipun tubuhnya masih terasa lemas. “Aku minta maaf karena udah jadi beban bagi kalian semua… tapi aku akan berusaha kuat. Aku tidak ingin menyerah.”
Diana mengangguk dan membantu Tiara berdiri perlahan. “Kamu sudah sangat kuat sejauh ini, Ra. Tak ada yang menganggapmu beban. Kita semua di sini bersama-sama untuk keluar dari masalah ini.”
Mereka kembali ke ruang tamu, dan Tiara bergabung dalam pembicaraan dengan Pak Arif, Pak Darma, dan Raka. Ketika mendengar rencana untuk bersembunyi di gua, Tiara mengerutkan kening.
“Gua itu terdengar berbahaya,” katanya pelan. “Tapi jika itu satu-satunya cara, aku akan ikut. Aku tidak bisa membiarkan kalian melindungiku sendirian. Kita semua harus bertahan.”
Raka menatap kakaknya dengan kagum. Meski tubuhnya lemah, semangatnya tetap kuat. “Aku akan menjagamu, Kak. Kita akan melalui ini bersama.”
Pak Arif kemudian menatap mereka semua. “Kita harus pergi malam ini. Saat gelap, kita bisa bergerak tanpa terlalu terlihat. Namun sebelum itu, kita perlu persiapan. Aku akan mengatur beberapa hal dengan Pak Darma.”
Pak Darma keluar untuk memastikan jalan-jalan aman, sementara yang lainnya mengumpulkan apa yang mereka bisa bawa. Makanan ringan, air, dan peralatan dasar disiapkan. Tiara mencoba membantu semampunya meski tubuhnya masih terasa lemah. Raka terus mengawasinya dengan cermat, takut Tiara akan jatuh sakit lagi.
Malam tiba dengan cepat, membawa suasana mencekam di seluruh desa. Desa yang tadinya tenang kini terasa dipenuhi dengan bayangan bahaya di setiap sudutnya. Lampu-lampu rumah mulai dipadamkan satu per satu, dan jalanan menjadi gelap gulita.
“Kita harus pergi sekarang,” bisik Pak Arif ketika semua berkumpul di ruang tamu. “Ikuti aku, dan jangan keluarkan suara sedikit pun.”
Dengan hati-hati, mereka keluar dari rumah Pak Darma, menyelinap melalui jalanan desa yang sepi. Kabut tebal mulai turun lagi, memberikan sedikit perlindungan dari mata-mata yang mungkin mengintai. Tiara berjalan dengan dibantu oleh Raka dan Diana, sementara Pak Arif terus memimpin di depan sambil menggendong putri, mengawasi jalan.
Setelah berjalan selama satu jam melalui jalan setapak yang penuh batu dan licin, mereka mulai mendekati lereng bukit yang disebut Pak Arif. Di puncaknya, gua tua itu menunggu. Namun perjalanan ke sana semakin sulit. Medan yang terjal dan batu-batu besar membuat langkah mereka melambat. Tiara hampir terpeleset beberapa kali, namun Diana dan Raka terus membantunya bangkit.
Saat mereka akhirnya mencapai mulut gua, suasana terasa semakin tegang. Gua itu gelap dan dalam, dengan dinding batu yang lembab dan dingin. Namun setidaknya, di dalamnya mereka bisa berlindung dari pandangan orang-orang yang mencarinya.
“Kita harus bersembunyi di sini sampai keadaan tenang,” kata Pak Arif sambil memeriksa keadaan di dalam gua. “Ini bukan tempat yang ideal, tapi untuk sementara, ini yang terbaik yang kita punya.”
Mereka semua masuk ke dalam gua, merasa sedikit lega meski hati masih diliputi ketegangan. Di dalam gua yang gelap itu, hanya suara napas mereka yang terdengar. Tiara duduk di atas sebuah batu, memandang ke arah pintu gua yang terbuka. Ia tahu, ini hanyalah awal dari perjalanan panjang mereka.
Di dalam gua yang gelap dan lembab, suasana semakin tegang. Tiara dan Putri bersandar pada batu besar, sementara Raka dan Diana berdiri di sampingnya, saling berpegangan tangan. Pak Arif berkeliling, memeriksa keadaan di dalam gua, memastikan tidak ada ancaman dari luar.
“Kita harus menjaga suara,” bisik Pak Arif, memecah keheningan. “Kalau ada yang mendengar kita, kita bisa terancam.”
Tiara mengangguk, meski dalam hatinya masih tersimpan ketakutan. “Kapan kita bisa keluar dari sini?” tanyanya dengan suara bergetar. “Aku tidak tahu berapa lama kita bisa bertahan di sini.”
Diana menghela napas dalam-dalam, berusaha menguatkan Tiara. “Kita akan menunggu sampai keadaan lebih aman. Mungkin mereka akan berhenti mencarimu setelah beberapa waktu.”
Raka menatap kakaknya, merasa tidak nyaman dengan pernyataan Diana. “Tapi bagaimana jika mereka tidak berhenti? Kita tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.”
Pak Arif mengalihkan perhatian mereka. “Kita harus tetap waspada. Mungkin ada cara untuk mendapatkan informasi tentang situasi di luar. Aku akan mencoba menjelajahi bagian dalam gua ini. Siapa tahu kita menemukan jalur keluar lain.”
Setelah Pak Arif pergi, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tiara merasa semakin lemah. Setelah semua yang terjadi, ia merasa seperti beban bagi mereka. “Aku tidak ingin merepotkan kalian,” katanya pelan. “Aku akan berusaha lebih kuat. Mungkin aku bisa mencari jalan keluar sendiri.”
“Jangan bicara seperti itu, ka,” tegas Raka, menatap kakaknya dengan serius. “Kita gak bisa biarin kakak pergi sendirian. Kita harus tetap bersatu. Kamu itu bagian terpenting dari kita.”
Diana menambahkan, “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Kita tidak akan membiarkanmu pergi sendirian, bahkan untuk satu langkah. Kita harus menjaga satu sama lain.”
Namun, rasa cemas Tiara tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Ia tahu betapa berbahayanya situasi mereka. Setiap detik di dalam gua ini terasa seperti berlalu dengan lambat, dan bayang-bayang ketakutan terus mengintai mereka.
Beberapa jam berlalu, dan dalam kegelapan itu, Tiara mulai merenung. Dalam pikirannya, terbayang semua yang telah terjadi. Ia teringat bagaimana hidupnya bisa berakhir di titik ini, terperangkap di dalam gua dengan orang-orang yang ia cintai, namun juga terjebak dalam situasi yang sama sekali tidak terduga. Air mata mengalir di pipinya. “Aku cuma ingin hidup normal,” bisiknya.
Diana merasakan kesedihan Tiara dan mendekat, memeluknya dengan lembut. “Kami semua ingin itu, Ra. Tapi kita gak bisa menyerah. Kita pasti menemukan cara untuk keluar dari sini. Kita cuma perlu bertahan.”
Raka menambah semangat, “Ingat saat kita dulu sering bercanda dan tertawa? Kita harus kembali ke saat-saat itu.”
Pak Arif kembali ke tempat mereka berkumpul, membawa kabar dari luar. “Tadi aku melihat beberapa orang, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa mereka mencari kita. Mungkin mereka sedang mencarimu di tempat lain.”
Semua terdiam sejenak, berharap berita itu benar. Namun, ketakutan masih menggantung di udara. “Kita harus segera keluar dari sini,” kata Pak Arif. “Tapi untuk itu, kita perlu tahu ke mana kita harus pergi selanjutnya.”
“Kalau begitu, kita perlu mendapatkan peta desa ini,” jawab Diana, terlihat berpikir keras. “Mungkin ada jalan rahasia yang bisa kita manfaatkan untuk melarikan diri.”
Tiara yang mendengar itu merasa ada harapan baru. “Aku ingat, di dekat rumahku ada sebuah jalan setapak yang sering digunakan untuk pergi ke hutan. Jika kita bisa sampai ke sana, mungkin kita bisa menyusuri hutan dan mencari tempat aman.”
“Kalau kita bisa ke jalan setapak itu, kita bisa pergi tanpa terdeteksi,” Pak Arif menyetujui ide itu. “Tapi kita harus hati-hati.”
Raka mengangguk setuju. “Kita akan pergi saat malam tiba. Kita harus bergerak cepat dan diam-diam.”
Saat malam semakin gelap, mereka merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Tiara merasa lebih bersemangat, mengetahui bahwa mereka memiliki rencana untuk melarikan diri. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasa cemas dan tidak pasti. Bagaimana jika mereka terjebak lagi? Bagaimana jika mereka bertemu dengan orang-orang yang mencari mereka?
Ketika malam semakin dalam, Raka, Diana, dan Pak Arif akhirnya memutuskan untuk berangkat. Dengan hati-hati, mereka melangkah keluar dari gua, menyesuaikan diri dengan kegelapan malam. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar, dan semua orang berusaha untuk tidak bersuara.
Mereka menyusuri jalan setapak. Raka dan Diana berada di depan, sementara Tiara dan Pak Arif sambil menggendong Putri mengikuti di belakang.
“Jika kita sampai di jalan setapak itu, kita bisa mencari tempat aman,” bisik Diana.
saat mereka mendekati jalan setapak, terdengar suara langkah kaki dari arah belakang. Mereka semua membeku, panik.
“Cepat, sembunyi!” perintah Pak Arif, dan mereka bersembunyi di balik semak-semak.
Dari balik semak, mereka melihat sekelompok pria berjas hitam melintas, tampak mencari sesuatu. Diana merasa jantungnya berdegup kencang. Raka menggenggam tangan Tiara, berusaha memberikan kekuatan.
“Jangan bergerak,” bisik Raka, menahan napas.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, pria-pria itu berlalu tanpa melihat ke arah mereka. Diana menghela napas lega. “Kita harus cepat,” katanya.
“Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama.”
Dengan hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan menuju jalan setapak, berusaha tetap terjaga dan tidak membuat suara. Ketika mereka akhirnya tiba di jalan setapak yang dimaksud, semua orang merasa seolah mereka telah mengambil langkah besar menuju kebebasan. Namun, perjalanan masih jauh dan penuh dengan tantangan yang menunggu.
Malam semakin larut ketika Tiara, Raka, Diana, Putri, dan Pak Arif melanjutkan langkah mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Pepohonan lebat di sekitarnya membuat suasana menjadi semakin sunyi, hanya sesekali terdengar suara serangga dan hembusan angin malam yang dingin. Jalan setapak ini membawa harapan, namun di setiap langkah, mereka tahu bahaya bisa muncul kapan saja.
Pak Arif yang berjalan paling depan berhenti tiba-tiba. Dia menoleh dengan wajah tegang. "Ada suara langkah," bisiknya, telinganya menangkap sesuatu di kejauhan.
Semua terdiam, mendengarkan. Benar saja, suara langkah kaki terdengar, semakin mendekat. Diana menarik Tiara ke samping, mendorongnya masuk ke dalam semak-semak yang rimbun. Raka dan Pak Arif mengikuti, semua berusaha untuk tidak mengeluarkan suara.
Langkah kaki semakin jelas, dan tiba-tiba dua pria dengan senter muncul di kejauhan. Mereka membawa senjata, dan tampak seperti penjaga-penjaga yang sudah diperintahkan untuk mencari Tiara. "Mereka pasti dari kelompok Mike," bisik Raka dengan wajah penuh amarah, menggenggam erat tangan kakaknya.
Pria-pria itu berhenti sejenak, menyisir area dengan pandangan tajam. Senter mereka menyapu pepohonan, hampir mendekati tempat mereka bersembunyi. Tiara menahan napas, merasa jantungnya berdetak begitu keras hingga takut akan terdengar.
"Kita harus bergerak sekarang, atau mereka akan menemukan kita," kata Diana dengan suara pelan namun tegas.
Pak Arif memberikan isyarat dengan tangannya untuk mundur perlahan, mencari jalan keluar dari situasi berbahaya ini. Mereka melangkah mundur, berjalan di antara semak-semak yang rapat, berharap suara langkah mereka tidak terdengar oleh para penjaga.
Namun, nasib kurang berpihak. Salah satu ranting di bawah kaki Tiara patah, dan suara kecil itu cukup untuk menarik perhatian para penjaga. "Hei! Ada sesuatu di sana!" teriak salah satu dari mereka, mengarahkan senter ke arah semak tempat mereka bersembunyi.
"Diana, lari!" teriak Pak Arif tanpa berpikir dua kali. Mereka semua segera berlari, melesat di antara pepohonan sambil mencoba menjauh dari para penjaga yang mulai mengejar. Suasana malam yang sunyi kini diwarnai oleh teriakan dan suara langkah kaki yang memburu.
Tiara merasa lututnya lemas, tapi dia tahu dia tidak boleh berhenti. "Aku tidak bisa...," Tiara mulai berkata, tapi Diana menarik tangannya dengan keras, memaksanya untuk terus berlari.
"Kita harus bertahan! Hanya sedikit lagi!" Diana berteriak, mencoba menenangkan Tiara yang hampir pingsan karena ketakutan dan kelelahan.
Raka, yang berada di belakang Tiara, mendesak kakaknya untuk tetap kuat. "Jangan menyerah, Ka! Kita sudah sejauh ini!"
Pak Arif, meskipun sudah tidak muda lagi, terus berlari di depan mereka, mencoba mencari arah lain untuk melarikan diri. Namun, para pengejar tampaknya tidak akan menyerah dengan mudah.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mereka akhirnya mencapai tepian sungai besar yang Diana sebutkan sebelumnya. Aliran airnya deras, dan sungai ini menjadi satu-satunya jalan bagi mereka untuk melarikan diri. Di seberang sungai, tampak pepohonan yang lebih lebat, mungkin bisa menjadi tempat persembunyian sementara mereka. Tapi, mereka harus menyeberangi sungai terlebih dahulu.
"Kita harus menyeberang," kata Pak Arif, matanya memperhatikan aliran sungai yang cukup kuat. "Ini satu-satunya cara untuk meloloskan diri."
Tanpa berpikir panjang, Raka menarik Tiara mendekat ke tepian sungai. "Aku akan membantumu menyeberang, jangan khawatir," ujarnya, berusaha menenangkan Tiara yang tampak panik.
Diana dan Pak Arif sudah lebih dulu memasuki sungai, berusaha melawan arus air yang dingin dan kuat. "Cepat, sebelum mereka mengejar kita lagi!" teriak Diana dari tengah sungai.
Raka dan Tiara masuk ke air, merasakan dinginnya yang menusuk sampai ke tulang. Tiara mencoba melangkah, tapi kakinya terasa seperti tidak kuat menahan derasnya air. Namun, dengan dukungan Raka, mereka berdua perlahan menyeberang. Air yang deras hampir membuat Tiara terseret, namun Raka tidak membiarkannya lepas dari genggamannya.
Ketika mereka akhirnya mencapai seberang sungai, mereka jatuh terduduk ke tanah, kelelahan. Namun, tidak ada waktu untuk beristirahat. Suara langkah kaki dari arah seberang sungai semakin jelas. Para penjaga sudah mendekat.
Diana segera berdiri, napasnya masih terengah-engah. "Kita harus terus berjalan. Mereka masih bisa menemukan kita di sini."
Mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan, kali ini melintasi hutan lebat dengan tanah yang berlumpur dan pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar mereka. Rasa lelah semakin terasa, namun adrenalin yang terus memacu membuat mereka tetap bergerak.
Setelah beberapa jam berjalan tanpa henti, mereka akhirnya tiba di sebuah jalan raya. Diana segera mengibaskan tangannya ke arah sebuah truk pengangkut sayuran yang lewat. Sopir truk, tampak kebingungan melihat kondisi mereka, namun akhirnya berhenti.
"Kalian butuh tumpangan?" tanya sopir truk dengan suara berat.
Tanpa ragu, Pak Arif mengangguk. "Kami butuh bantuan. Tolong bawa kami ke kota secepatnya."
Mereka semua segera naik ke dalam truk, duduk di antara peti-peti sayuran yang dingin dan basah. Ketegangan dalam suasana mulai mereda, tapi rasa takut masih membayangi mereka.
Saat truk mulai melaju, Tiara bersandar di bahu Raka, merasa sedikit lebih aman. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa masalah mereka belum sepenuhnya selesai. Mereka memang telah berhasil lolos dari penyekapan Pak Mike, namun apa yang akan menanti mereka di kota?
Di dalam truk yang bergerak cepat menuju Jakarta. Perjalanan mereka belum berakhir, dan masih banyak yang harus dihadapi di depan. Namun untuk saat ini, mereka bisa merasa lega setidaknya untuk sementara waktu.