Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERHIPNOTIS
Saat sedang di kantin, Amelia yang duduk berhadapan dengan Regita langsung terpaku melihat Aksa yang tiba-tiba datang. Wajahnya berubah sedikit gugup, senyum tipisnya hilang, tergantikan oleh tatapan penuh ketertarikan.
"Gabung ya," kata Aksa dengan senyum sekilas yang membuat Amelia merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Ia bahkan sampai menggigit bibir bawahnya, mencoba menyembunyikan rasa gugup.
"Eh, iya, Pak… eh… Aksa," ujar Amelia sambil tersenyum kikuk. “Kita sih gak keberatan,” lanjutnya sambil melirik Regita.
Regita mengalihkan pandangannya, seolah-olah fokus pada makanannya, tapi jelas terlihat gugup. Dia mengerjap, mencoba menghindari tatapan Aksa.
"Kamu kenapa, Git?" goda Aksa, mendekatkan kursinya ke arah Regita. Suaranya rendah tapi terdengar begitu intens, membuat Regita semakin salah tingkah.
“Eh… enggak apa-apa,” jawab Regita cepat, pura-pura sibuk mengaduk makanan di piringnya.
Amelia tak bisa menahan senyum geli melihat sahabatnya yang begitu kikuk. “Eh, Pak Aksa, jadi guru magang di sekolah ini gimana sih rasanya?” tanya Amelia berusaha mencairkan suasana, sambil sesekali melempar pandangan penuh harap ke arah Aksa.
Aksa tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Cukup seru, apalagi kalau murid-muridnya kayak kalian—selalu ada kejutan,” ujarnya, sambil sesekali melirik Regita, yang tampak semakin salah tingkah.
“Bener-bener menarik, ya?” sambung Amelia sambil tertawa. “Ya jelas sih, apalagi murid-murid di sini banyak yang kagum sama Pak Aksa,” tambah Amelia, senyum makin lebar.
Regita mendengus pelan, mencoba kembali tenang, tapi matanya mencuri pandang ke arah Aksa. “Cuma magang, kok serius banget,” gumamnya tanpa sadar.
Aksa mendengar bisikan Regita dan hanya menatapnya tajam. “Serius atau enggak, yang penting kan ada yang tetap memperhatikan,” katanya, senyum penuh arti.
Amelia masih tersenyum penuh rasa ingin tahu, tanpa menyadari hubungan sebenarnya antara Aksa dan Regita. Yang ia tahu, Aksa hanyalah kenalan Regita—mungkin teman keluarga atau tetangga, tapi bukan kakak tirinya. Ia mengangkat alis, lalu menatap Regita dengan tatapan menggoda.
"Git, kenalan lo yang satu ini bisa makan bareng tiap hari gak, ya? Biar gue bisa semangat terus ke sekolah," kata Amelia bercanda, memandang Aksa dengan senyum manis.
Regita hanya tersenyum kaku, tak tahu harus menjawab apa. Ia melirik Aksa, berharap dia tidak mengatakan apa pun yang bisa membuat situasinya semakin canggung.
Aksa, seakan memahami kebingungan Regita, hanya tersenyum tipis dan menatap Amelia. "Aku bisa saja mampir kalau memang dibutuhkan," ucapnya dengan nada ringan, tetapi matanya sekilas melirik ke arah Regita, yang hanya menunduk, mengaduk makanan tanpa tujuan.
Amelia tertawa, tampak senang dengan respons Aksa. "Bagus tuh, berarti bisa cuci mata tiap hari! Eh, Git, gimana ceritanya lo bisa kenalan sama Pak Aksa?" tanyanya sambil mengedipkan mata penuh arti.
Regita langsung tertegun, sedikit panik. “Eh... ya, ketemu gitu aja. Di... di acara keluarga,” katanya terbata-bata, berusaha mencari alasan yang tidak mencurigakan.
Aksa hanya mengangguk, memutuskan untuk tidak membenarkan atau menyangkal jawaban Regita. "Iya, kami lumayan sering ketemu di acara keluarga," tambahnya, melirik Regita dengan pandangan penuh arti yang membuat pipi gadis itu semakin merona.
Amelia mengangguk, tampak puas dengan penjelasan itu, meski ekspresi penuh rasa ingin tahunya belum hilang. "Ya, baguslah. Tapi kalau kenalan sama temen lo yang lain kayak gue juga jangan pelit-pelit, ya, Git. Kali aja nanti Pak Aksa ini jadi sering mampir buat ketemu gue," godanya sambil tertawa.
Regita hanya tersenyum, namun dalam hati berdebar semakin cepat. Terutama karena Aksa, yang duduk begitu dekat, seolah-olah menikmati melihatnya salah tingkah.
Tiba-tiba Aksa mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekati Regita, dan berkata pelan, cukup keras untuk didengar Amelia, "Iya, kapan-kapan kita bisa ngobrol lebih banyak, kan, Git?"
Regita menahan napas sejenak, lalu dengan cepat mengangguk tanpa kata. Amelia yang melihatnya tertawa kecil. "Duh, sampai kikuk banget gitu, Regita! Jangan-jangan ada sesuatu, nih, yang gue gak tahu?" goda Amelia sambil menatapnya penasaran.
Regita hanya menggeleng cepat, berusaha menahan kegugupan. "Enggak ada apa-apa kok, Mel! Cuma... kaget aja tadi," kilahnya.
Aksa tersenyum, lalu berdiri perlahan. "Baiklah, aku harus ke kampus sekarang. Senang bisa gabung sebentar," katanya, menyapa keduanya sebelum beranjak pergi, namun matanya sempat bertemu pandang dengan Regita, seakan memberi pesan tak terucap.
Amelia hanya menatap punggung Aksa yang menjauh dengan mata berbinar. "Wah, Git, Pak Aksa benar-benar ganteng banget ya? Wangi juga. Dia juga seru!"
Regita hanya bisa tersenyum canggung, mencoba mengalihkan pembicaraan, meski pikiran dan hatinya masih tertinggal pada sosok Aksa yang baru saja berlalu.
•••
Regita yang sedang melangkah cepat menuju toilet tiba-tiba merasa ada yang menarik tangannya ke samping. Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan menutup mulutnya dengan lembut namun cukup kuat. Degup jantungnya berpacu cepat, dan saat ia menoleh, dilihatnya Aksa berdiri di sana dengan senyum yang memikat.
“A-Aksa?” bisiknya pelan ketika Aksa melepaskan tangannya dari mulutnya. Ada perasaan antara kaget dan sedikit kesal, tetapi ia tak bisa menutupi rona merah di pipinya.
Aksa hanya mengangguk, masih dengan senyum yang membuatnya semakin tampan di mata Regita. “Apa yang lo lakukan siang-siang sendirian di sini, Git?” tanyanya pelan, nadanya menggoda.
Regita mendengus pelan, mencoba menguasai dirinya. “Aku kan cuma mau ke toilet. Emangnya kenapa?” ujarnya, melirik ke arah lain untuk menyembunyikan kegugupannya. “Kak Aksa bukannya mau balik ke kampus?”
Aksa tertawa kecil, lalu mendekat hingga jarak di antara mereka sangat dekat. "Jadi bener lo cuma ke toilet? Gak ketemuan sama cowok lain, kan?" tanyanya setengah bercanda, tapi ada nada serius di balik kalimatnya.
Regita langsung menatap Aksa dengan mata membelalak, lalu menggeleng cepat. “Tentu aja enggak! Emangnya kamu pikir aku bakal ketemuan sama siapa?” katanya, kesal tapi tak bisa menutupi senyuman kecil yang muncul di wajahnya.
Aksa mendekatkan wajahnya sedikit lagi, membuat Regita menahan napas. "Bagus, karena gue gak suka kalau lo ketemu sama cowok lain. Terutama kalau cowok itu... Kevien," katanya sambil mengangkat alis.
Regita menunduk, merasa tersudut dengan tatapan Aksa yang begitu dalam. "Kenapa Kak Aksa harus terus-terusan ngomongin Kevien? Aku gak ada apa-apa sama dia," jawabnya, suaranya terdengar agak lemah.
Aksa menghela napas dan menatapnya penuh arti. "Karena lo gak tahu gimana rasanya gue lihat lo deket sama dia. Dan... gue juga gak mau ada yang lain yang bikin lo tersenyum selain gue, Git," ucapnya pelan, namun setiap kata terasa dalam dan menyentuh hati Regita.
Regita tertegun, hatinya berdesir mendengar kalimat Aksa. Namun, ia mencoba mengelak dengan mengalihkan pandangan. "A-Aku harus balik ke kelas," katanya dengan suara bergetar, mencoba melepaskan genggaman Aksa.
Namun, Aksa malah menariknya mendekat lagi. "Lo yakin gak mau denger apa yang pengen gue bilang dulu?" bisiknya, suaranya rendah dan dalam. "Atau lo juga nunggu sesuatu... kayak tadi di kantin?"
Regita hanya terdiam, mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata. Ada harapan dan ketakutan bercampur di hatinya, tapi ia tetap tidak bisa menjauh. Tanpa sadar, ia menatap kembali ke arah Aksa, menantikan apa yang akan dikatakannya.
Aksa memiringkan kepalanya sedikit, tersenyum kecil, lalu berkata pelan, “Gue suka lihat lo gugup kayak gini, Git. Tapi, jangan pernah bikin gue cemburu lagi, ya?”
Regita hanya bisa mengangguk pelan, dengan wajah memerah, seakan terhipnotis oleh setiap kata dan tatapan Aksa.