DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM27
Tok!
Tok!
Tok!
"Permisi ...." Ada yang mengetuk pintu rumahku.
Bola mata ku sontak membulat. Aku kenal betul siapa pemilik suara itu. Lekas saja aku menuju pintu dan membukanya.
"Bima?! Ya Allah, Bima. Kamu ke sini, kenapa gak bilang-bilang? Naik apa tadi?" Ku peluk adik semata wayangku.
"He ... he ... niatnya ngasih kejutan, Mbak. Naik bus tadi. Aku gak disuruh masuk kah?"
"Ayo masuk. Kenalan dulu ama keponakanmu."
Minggu kemarin dia memang minta alamat rumah ini. Tidak ku sangka kalau hari ini adikku itu akan datang.
Bima menghampiri Bian yang sejak tadi hanya menatap kami dari atas karpet mainnya.
"Salim ama Paklek dulu, Bian. Ini Paklek Bima namanya."
Bian mencium punggung tangan Bima.
"Paklek!" sapanya dengan suara lucu.
Bima mengacak rambut Bian. "Aku boleh mandi dulu gak, Mbak? Gerah banget soalnya."
"Ayo Mbak antar ke kamarmu."
Bian pun ikut mengantar Pakleknya ke kamar. Siang itu memang cuaca sangat cetar.
Selesai mandi, Bima bermain dengan Bian.
Bian tampak sangat akrab dengan adikku, mungkin karena tidak ada teman sesama lelaki selama ini. Bahkan, sampai tidur siang pun, Bian ingin bersama Bima.
Sore itu, setelah Bu Asih dan Bu Karto pulang, kami berkumpul di ruang tengah.
"Bagaimana kuliahmu, Bim?" tanyaku.
"Syukurlah semua selesai, Mbak. Aku ke sini mau mengundang Mbak Alana dan Mas Rama untuk hadir di acara wisuda ku, sebagai wali. Mbak dan Mas mau, kan?"
"Akhirnya kamu sarjana juga, Bim. Mbak seneng banget." Aku langsung menghamburkan pelukan pada adikku.
Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya tanpa banyak membebaniku. Selama kuliah, dia kerja part time juga. Bian sampai bengong melihatku.
"Selamat ya, Bim. Habis lulus, rencanamu apa?" tanya Mas Rama.
"Yang jelas nyari kerjaan sih, Mas. Kemarin sudah titip-titip sama teman yang juga nyari kerja di kota."
"Kerja di sini aja, Bim, bantu Mbak. Mbak ada cafe yang targetnya anak muda. Nah, kamu kan masih muda, siapa tahu ada ide kekinian yang tidak terpikir sama kami."
"Iya, Bim. Mbakmu sudah nungguin kamu untuk dibantui tuh," timpal Mas Rama.
"Ok, Mbak. Bima siap membantu, Mbak Alana."
...****************...
Besoknya setelah mengatur produksi, Bima memintaku untuk diantar ke toko kue.
Bersama dengan Bian yang menempel Pakleknya, tak lupa juga Bu Karto, kami pergi ke toko kue.
Kami sudah beli mobil baru untuk alat transportasiku, supaya tidak mengganggu mobil operasional usahaku. Karena pengantaran kue dalam jumlah banyak semakin sering terjadi. Bahkan kurir motorku juga bertambah menjadi 4 orang.
Ada 2 orang tambahan selain Pak Karto dan ipar Bang Dono. Kami sepakat memilih mobil minivan, agar bisa muat banyak orang.
Bima mengajukan diri untuk menyetir. Dia belajar mengendarai mobil saat magang kemarin. Bahkan sudah memiliki SIM A.
"Kita ambil jalur kanan, Bim. Di lampu merah depan, belok kanan."
Kami akan ke toko cabang kedua, yang lebih jauh dulu. Karena nanti akan mampir ke cafe yang searah dengan jalan pulang.
"Siap, Bos!"
Setelah lampu berubah menjadi hijau, Bima melajukan mobil kembali.
"Kamu lihat plang apotek di sebelah kiri itu, Bim. Toko kue kita, persis di sebelahnya."
Di depan toko, Bima memarkir mobil. Kami pun lekas turun dan menghampiri para karyawan.
"Hay, Git. Bagaimana toko hari ini? Aman?" Ku hampiri Gita yang sedang stand by di meja kasir.
"Eh, Mbak Alana! Aman, Mbak. Tadi kue basahnya diborong sama ibu-ibu untuk suguhan. Customer kelupaan kalau harus menjamu arisan siang ini, untung cukup tadi. Aku sudah minta dikirim lagi tadi, Mbak. Sayang masih siang begini, masa kuenya pada abis!" terang Gita penuh semangat.
Aku tersenyum tipis, "kenalkan, Git. Ini Bima, adik saya. Nanti Bima akan bantu-bantu Mbak juga di toko dan cafe." Ku perkenalkan Gita dan Indah kepada Bima.
"Apakah nanti kami lapornya ke Mas Bima, Mbak?" tanya Gita setelah Bima kembali ke depan.
"Untuk laporan tetap seperti biasanya, Git. Bima akan menyumbang ide-ide baru, agar pelanggan kita tidak bosan. Saingan kan makin banyak, tidak mungkin kita hanya begini-begini aja terus."
Gita mengangguk paham.
Sementara aku mengobrol dengan Gita, Bima melihat sekeliling toko. Tampaknya ia merasa kagum bahwa kakaknya yang hanya lulusan SMA, bisa memiliki toko kue semenarik ini. Apalagi, wallpaper bermotif bata putih dengan roti di sana sini memberi kesan rumahan yang rustic.
"Menarik lho Mbak tokonya. Keren. Apa toko satunya juga begini desainnya?" tanya Bima setelah puas berkeliling.
"Iya, sama. Mbak sengaja buat sama biar Jadi ciri khas. -- Ada yang mau kamu icip? Semua pake resep Ibu, Bim. Ada sih, varian baru yang hasil Mbak coba-coba. Tapi, waktu awal merintis dulu, semua pakai resep Ibu. Makanya label kue ini, kue Boenda."
"Kue-kue buatan Ibu memang tak tertandingi sih ya, Mbak. Dibuatnya pakai cinta."
"Nanti kalau kamu mau ziarah, Mbak bisa antar."
"Setelah wisuda aja, Mbak. Biar dengan bangga, ku tunjukkan ke ibu bahwa ada anaknya yang pakai topi hitam. Seperti keinginan Ayah dan Ibu. Sekarang, ayo ke toko satunya, Mbak. Terus ke cafe ya!" ajak Bima.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan, kami tiba di cafe.
"Alif, kenalkan ini Bima, adik saya."
Sekarang gantian ku perkenalkan Bima ke Alif dan yang lainnya.
"Bima baru lulus kuliah. Nanti dia akan bantu-bantu Mbak untuk mengurus cafe dan toko, Lif."
"Siap, Mbak. Siapa tahu Mas Bima punya ide-ide baru untuk cafe ini. Mungkin yang di kota bisa diterapkan di sini."
"Harapan Mbak juga begitu."
Aku mendekat ke arah Bima yang saat ini sudah duduk di salah satu bangku.
"Mbak, aku beneran gak nyangka banget Mbak bisa kepikiran membangun cafe dengan konsep begini. Ini keren lho, Mbak, beneran. Cocok banget buat anak muda. Tinggal mencoba menunya hahaha!"
"Memang target pasarnya anak muda. Coba kamu lihat menunya. Menu nongkrongnya anak-anak muda, kan? Kamu mau pesan apa? Kali ini gratis, Mbak yang traktir!"
"Iya sih, Mbak. Ngomong-ngomong bukanya jam berapa?"
"Jam 3. Tutup jam 10 malam nanti."
"Ini milik sendiri kan, Mbak? Tidak kontrak?"
"Milik sendiri, Bim. Alhamdulillah ...."
"Kalau begitu kenapa tidak buka sejak pagi, Mbak? Sebelum jadi tongkrongan anak muda, kan bisa jadi resto. Untuk menjaring pelanggan yang karyawan atau keluarga gitu. Bisa jadi untuk tempat pertemuan atau rapat gitu, Mbak. Kita tawarkan makanan tradisional rumahan. Sayangkan kalau tidak dimanfaatkan jam paginya."
"Coba nanti Mbak pikirkan lagi. Tanah di belakang memang masih ada sih untuk dibangun tempat pertemuan."
"Atau, bagian ini dibuat 2 lantai. Jadi kalau perorangan mau makan, bisa pakai area ini. Kalau mau perjamuan bisa pakai lantai atas yang lebih privasi."
"Boleh juga idemu ini. Coba nanti setelah wisuda, kamu susun rancangannya sekalian budgetnya. Biar coba Mbak lihat bisa direalisasikan kapan."
Kupesankan cemilan untuk kami semua, Karena kami akan tetap makan siang di rumah nanti.
...****************...
Mas Rama sudah mengajukan cuti 3 hari untuk menghadiri wisuda Bima, yang diadakan di hari Sabtu ini.
Kami pergi berempat. Bu Karto tidak mau ikut saat kuajak. Tidak mau terpisah dari Pak Karto katanya. Aku senang melihat pasangan yang akur begini. Tidak peduli keadaan bagaimana, mereka bertahan untuk berjuang bersama.
Aku menitipkan dapur produksi ke Mbak Niken. Semua bahan sudah ku pesan untuk 1 minggu ke depan. Dan seperti biasa, untuk toko kue ku minta Yanti yang mengkoordinir, sementara cafe ku titipkan ke Alif. Sudah ada cctv di toko dan cafeku. Rumah juga sudah ku pasang cctv yang bisa diakses melalui handphone.
Sesampainya di kota, kami langsung check in di hotel yang kami booking sampai Senin nanti. Senin siang baru kami kembali ke rumah.
Bima termasuk salah satu wisudawan terbaik. Istilah di kampusnya adalah mahasiswa aktif berprestasi. Ada sejumlah point yang terkumpul dari kegiatan yang dia ikuti, serta IPK lebih dari 3, sehingga masuk dalam kriteria aktif berprestasi.
Aku bangga sekali. Saat namanya disebut, tak kuasa air mata ini kutahan.
'Bima berhasil jadi sarjana, Yah, Bu. Seandainya kalian ada di sini, pasti kalian akan sangat bangga melihatnya!' batin ku haru.
Setelah serangkaian acara wisuda selesai, kami sibuk berfoto bersama. Sesekali Bima wefie bersama teman-temannya. Dia juga sudah booking jadwal foto di salah satu studio foto yang bekerja sama dengan universitasnya.
Bima merekomendasikan tempat makan enak di kota itu. Pokoknya Bima yang menjadi guide selama kami di sana.
Setelah makan, kami kembali ke hotel. Dalam perjalanan ke hotel kami melewati sebuah taman yang ada tempat duduk menghadap ke jalan.
"Lho, Mas. Coba lihat itu, Mas!" Ku colek lengan Mas Rama yang duduk di samping Bima, sambil menunjuk ke sebelah kiri.
*
*
akhirnya ya rama 😭