Di dunia yang dikendalikan oleh faksi-faksi politik korup, seorang mantan prajurit elit yang dipenjara karena pengkhianatan berusaha balas dendam terhadap kekaisaran yang telah menghancurkan hidupnya. Bersama dengan para pemberontak yang tersembunyi di bawah tanah kota, ia harus mengungkap konspirasi besar yang melibatkan para bangsawan dan militer. Keadilan tidak lagi menjadi hak istimewa para penguasa, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan darah dan api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Matahari pagi perlahan merangkak naik di balik pegunungan, menyinari Valyria dengan sinar keemasannya. Tetapi di balik keindahan pagi itu, ketegangan tetap terasa. Kemenangan di medan perang kemarin memberikan kelegaan sementara, tetapi semua orang tahu bahwa ancaman dari Kalros dan Kekaisaran Timur masih menggantung di udara. Kemenangan itu hanyalah permulaan dari pertempuran yang jauh lebih besar.
Liora berjalan melewati benteng Valyria, menyaksikan prajurit-prajurit yang terluka sedang dirawat, sementara yang lainnya membersihkan medan perang. Bau darah dan keringat masih menyelimuti udara, tetapi semangat kemenangan di mata para prajuritnya membuat Liora sedikit lega. Mereka telah melalui cobaan yang sangat berat, dan untuk sementara, mereka berhasil bertahan.
Namun, di balik rasa lega itu, Liora tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ancaman baru sedang menyusul. Dia telah menggunakan kekuatan artefak perak untuk menghentikan musuh, tetapi dia juga tahu bahwa penggunaan kekuatan itu memiliki batas. Jika dia harus menggunakannya lagi, apakah dia akan bisa mengendalikannya sepenuhnya? Itu adalah pertanyaan yang terus menghantuinya.
Varren dan Seira menemuinya di halaman benteng, wajah mereka sama lelahnya dengan dirinya. Mereka sudah bertarung tanpa henti selama berhari-hari, dan meskipun fisik mereka kuat, beban mental dari perang ini mulai terlihat di mata mereka.
"Liora," kata Varren sambil mendekat, suaranya lembut namun tegas. "Kita harus memutuskan langkah selanjutnya. Kalros mungkin mundur, tapi dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan."
Liora mengangguk, matanya masih tertuju pada prajurit-prajurit yang terluka. "Aku tahu," jawabnya pelan. "Kalros hanya mundur untuk sementara. Kita harus segera mempersiapkan diri untuk gelombang berikutnya."
Seira, yang berdiri di samping Varren, menyilangkan tangannya di dada. "Aku telah berbicara dengan para komandan. Meskipun kita berhasil memukul mundur musuh, banyak dari pasukan kita yang terluka parah. Kita mungkin tidak siap untuk menghadapi serangan besar lainnya dalam waktu dekat."
Kata-kata Seira itu menambah beban pikiran Liora. Mereka telah menang, tetapi dengan harga yang tinggi. Pasukan mereka kelelahan, dan Valyria belum sepenuhnya pulih dari perang sebelumnya.
Liora menarik napas panjang, mencoba memikirkan solusi. "Kita harus memperkuat pertahanan kita dan mencari cara untuk mengulur waktu. Jika kita bisa mendapatkan dukungan lebih banyak dari sekutu-sekutu kita, kita mungkin bisa bertahan lebih lama."
---
Di ruang dewan Valyria, suasana tegang tetapi penuh harapan. Para pemimpin militer dan politik yang tersisa berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya. Sekutu dari Barat telah mengirim bantuan kecil, tetapi itu tidak cukup untuk menghadapi kekuatan penuh Kekaisaran Timur. Mereka membutuhkan lebih banyak dukungan, dan dengan cepat.
Keldar, seorang prajurit senior yang setia pada Liora, angkat bicara. "Kita harus segera mengirim utusan ke kerajaan-kerajaan tetangga untuk meminta bantuan. Kekaisaran Timur tidak hanya mengancam Valyria, tetapi seluruh wilayah. Jika mereka dibiarkan, kekaisaran itu akan memperluas kekuasaannya ke seluruh daratan."
Alara, salah satu penasihat Liora yang bijak, mengangguk setuju. "Benar. Kita tidak bisa menghadapi mereka sendirian. Jika kita bisa meyakinkan sekutu-sekutu kita untuk bersatu, kita mungkin bisa menahan serangan berikutnya."
Liora mendengarkan dengan saksama, meskipun pikirannya terus berputar pada kekuatan yang ia kendalikan. Artefak perak masih terasa hangat di tangannya, seolah mengingatkannya akan potensi yang ia miliki. Tetapi dia juga tahu bahwa mengandalkan kekuatan artefak itu bukanlah solusi jangka panjang. Jika dia terlalu sering menggunakannya, Valyria mungkin akan hancur oleh kekuatan itu sendiri.
Akhirnya, Liora angkat bicara. "Aku setuju bahwa kita harus mencari bantuan dari sekutu kita. Kita akan mengirim utusan segera. Tapi sementara itu, kita juga harus memperkuat pertahanan di Valyria. Kita tidak bisa hanya berharap pada bantuan luar."
Keldar dan Alara mengangguk, setuju dengan keputusan itu. Namun, mereka tahu bahwa waktu tidak ada di pihak mereka. Kekaisaran Timur bergerak cepat, dan Kalros tidak akan lama menunggu untuk menyerang lagi.
---
Malam itu, Liora duduk sendirian di ruang pribadinya. Pikirannya berputar-putar, mencoba memikirkan semua kemungkinan yang ada. Dia memandangi artefak perak yang tergeletak di atas meja. Kilau lembut dari benda itu seolah-olah memanggilnya, menarik perhatian Liora untuk memegangnya lagi.
"Tidak ada yang mudah tentang kekuatan ini," gumam Liora pada dirinya sendiri. "Setiap kali aku menggunakannya, aku merasa kehilangan sedikit dari diriku sendiri."
Tiba-tiba, ketukan di pintu terdengar. Varren masuk, wajahnya penuh rasa prihatin. "Liora, aku tahu kau sedang berjuang dengan keputusan ini. Tapi aku ingin kau tahu bahwa kau tidak harus melakukannya sendirian."
Liora menatap Varren, tersentuh oleh ketulusannya. "Aku tahu. Tapi ini adalah tanggung jawabku. Kekuatan ini... aku masih belum tahu bagaimana menggunakannya tanpa melampaui batas."
Varren berjalan mendekat dan duduk di kursi di depan Liora. "Kau sudah menjaga keseimbangan selama ini. Kau tidak seperti Ragnar atau pemimpin lain yang haus kekuasaan. Aku yakin bahwa kau akan tahu kapan waktunya berhenti, kapan waktunya menyerang."
Liora tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. "Aku hanya berharap aku bisa membuat keputusan yang tepat, sebelum semuanya terlambat."
---
Keesokan harinya, Liora kembali ke benteng untuk memeriksa prajurit-prajurit yang terluka. Dia berjalan di antara mereka, mendengarkan kisah-kisah mereka tentang pertempuran, tentang rasa sakit, dan tentang harapan yang masih mereka miliki. Setiap kali dia mendengar seorang prajurit berbicara tentang masa depan Valyria, Liora merasakan beban yang semakin berat di pundaknya.
Seira bergabung dengannya di halaman, menatap Liora dengan tatapan prihatin. "Kau tidak bisa memikul semua ini sendiri, Liora. Rakyat mempercayaimu, tetapi mereka juga siap bertarung untuk melindungi Valyria. Kau tidak harus melakukan semuanya sendirian."
Liora menghela napas panjang. "Aku tahu. Tapi sebagai pemimpin, terkadang aku merasa bahwa semuanya ada di tanganku. Setiap keputusan, setiap langkah, bisa menentukan apakah kita bertahan atau tidak."
Seira meletakkan tangannya di bahu Liora, menenangkan. "Kita semua di sini untuk bertarung bersama. Dan apa pun yang kau putuskan, kami akan berada di belakangmu."
---
Saat matahari mulai terbenam, Liora berdiri di puncak menara benteng, memandang horizon yang perlahan memudar ke dalam kegelapan malam. Valyria masih berdiri, tetapi ancaman masih jauh dari selesai. Kalros akan kembali, dan Kekaisaran Timur tidak akan mundur begitu saja.
Liora menggenggam artefak perak di tangannya, merasakan kekuatan besar yang bergetar di dalamnya. Keseimbangan yang ia jaga selama ini terasa semakin rapuh. Tetapi dia tahu satu hal: Valyria tidak akan jatuh tanpa perlawanan, dan dia akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi tanah airnya.
"Aku tidak bisa mundur sekarang," gumam Liora pada dirinya sendiri. "Perjuangan ini baru saja dimulai."
---
cerita othor keren nih...