keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Kepergok Farah
Setelah beberapa saat, Aza menyerahkan kembali ponselnya kepada Gus Zidan. “Ini, aku nggak butuh lagi,” katanya pelan.
"Pegang saja dulu sampai kita kembali ke pesantren." ucap Gus Zidan sembari menggeser kembali ponselnya pada Aza.
"Baiklah, kamu yang minta ya ini. Bukan aku yang pengen mainan hp." ucap Aza yang sebenarnya cukup senang hpnya kembali meskipun hanya beberapa menit kedepan.
Setelah semua urusan tentang ponsel selesai, Gus Zidan pun mengajak Aza keluar dari kedai, mereka menuju ke mobil Gus Zidan yang tengah di parkir di depan kedai.
"Aku sebenarnya ini ke....," ucap Aza sebelum masuk ke dalam mobil tapi dengan cepat Gus Zidan memotong ucapannya.
"Tidak, sekarang kembali dulu ke pesantren. Lusa saja kalau mau jalan-jalan."
"Ihhh, sok tahu banget." ucap Aza sembari mengerucutkan bibirnya sambil menjejakkan kakinya kasar ke tanah.
"Tapi tebakanku benar kan?"
"Iya sih..., tapi kan aku cuma pengen jalan-,jalan ke mall misalnya, beli jajanan."
"Lain waktu saja. Aku sedikit terburu-buru." ucap Gus Zidan lagi karena baru saja Wahyu mengabarkan jika ada klien yang ingin bertemu untuk membicarakan soal rumah yang baru di bangun menggunakan jasa properti perusahaan Gus zidan.
Meskipun kesal, akhirnya Aza tidak punya pilihan selain ikut bersama Gus Zidan. Gus Zidan pun mulai menghidupkan mesin mobilnya meninggalkan kedai dan mengantar Aza kembali ke pesantren.
Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil terasa tenang, meskipun ada kehangatan dalam percakapan mereka sebelumnya. Aza menatap ke luar jendela, memikirkan segala hal yang telah terjadi hari ini, dari keinginan bertemu Gus Zidan hingga ponsel yang kembali ditarik darinya.
Ketika mobil mulai mendekati area pesantren, Aza tiba-tiba memalingkan wajahnya dan berkata, "Gus Zidan, bisakah kau menurunkanku agak jauh dari gerbang pesantren? Aku tidak ingin yang lain curiga."
Gus Zidan mengerling ke arahnya, sedikit terkejut, tapi kemudian tersenyum. "Kenapa? Kamu tidak suka punya suami aku?" tanyanya kemudian.
"Bukan begitu. Aku hanya ....," kata Aza ragu,
"Jadi kamu suka menikah denganku?" tanyanya dengan nada menggoda, namun tetap menuruti permintaan Aza dengan memutar kemudi dan berhenti beberapa meter sebelum gerbang.
"Bisa nggk sih sekali saja nggak usah menggodaku. Ini benar-benar tidak lucu."
"Siapa juga yang ngelucu, bagaimana kalau aku tanyanya serius!?" ucap Gus Zidan sembari menoleh pada Aza.
Aza tertegun sejenak hingga mobil berhenti.
“Baiklah, turun di sini.” ucap Gus Zidan kemudian seolah menutup percakapan mereka sebelumnya.
Aza menghela napas lega dan mulai membuka pintu mobil, namun sebelum kakinya benar-benar menginjak tanah, suara Gus Zidan menghentikannya.
"Aza, sebelum kau pergi..." Gus Zidan menatapnya dengan tegas tapi lembut, “Ponselmu, jangan lupa.”
Aza mendesah kecil, di tanganya masih ada ponsel miliknya, padahal ia berharap Gus Zidan akan lupa dengan ponselnya. “Tentu saja,” jawabnya dengan nada pasrah. "Aku tidak mungkin lupa."
Gus Zidan tersenyum tipis. "Kau tahu aturannya. Selama di pesantren, ponsel tidak diizinkan. Akan lebih baik kalau kau mengikuti aturan ini."
Aza dengan berat hati menyerahkan ponsel itu kembali ke Gus Zidan. "Ya, ya, aku mengerti," gumamnya setengah kesal, meskipun di dalam hati ia tahu Gus Zidan benar.
"Terima kasih untuk hari ini," tambahnya sebelum melangkah turun dari mobil.
“Tidak masalah Jaga dirimu baik-baik di pesantren. Kalau ada apa-apa, kau tahu harus menghubungi siapa,” kata Gus Zidan sambil melambaikan tangan.
Aza tersenyum tipis, "Assalamualaikum ," ucapnya dan melangkah pergi,
"Waalaikumsalam," sahut Gus Zidan dengan pandangan yang tidak. Jsa teralih dari Aza yang tengah berjalan dengan hati-hati menuju pesantren agar tidak menarik perhatian siapa pun.
"Kenapa dia lucu sekali sih!?" gumam Gus Zidan sembari menunggu sampai Aza benar-benar menghilang dari pandangannya sebelum melanjutkan perjalanannya sendiri.
Begitu Aza melangkahkan kakinya melewati gerbang pesantren, angin sore yang sejuk menyapa kulitnya. Ia merasa sedikit lebih ringan setelah pertemuannya dengan Gus Zidan. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama, karena langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang menghadangnya.
"Eh, mau ke mana?" Suara tajam Farah, ketua santri pesantren putri, menyelinap di telinganya. Farah berdiri tegap dengan kedua tangan bersilang di depan dadanya, alisnya bertaut, jelas menunggu penjelasan.
Aza mendongak, mengembuskan napas panjang.
Kenapa dia lagi sih? pikirnya. Ia tahu ini akan terjadi. Farah memang sangat teliti dan selalu mengawasi semua santri, terutama dirinya yang sering kali membuat masalah kecil.
"Aku nggak percaya Kamu sakit," ujar Farah begitu yakin.
"Memangnya mbak Parah punya bukti kalau aku nggak sakit?" Aza balik bertanya.
"Kamu ke luar pesantren katanya untuk beli obat," ujar Farah, tanpa membuang waktu. "Mana obatnya sekarang? Bahkan ditanganmu tidak membawa apapun."
Aza, yang sudah terbiasa dengan gaya interogasi Farah, hanya tersenyum santai dan melambaikan tangan seolah menepis kekhawatiran itu. “Ah, soal obat… ternyata perutku cuma lapar, bukan butuh obat, jadi aku hanya membeli makanan,” jawabnya dengan nada santai, seperti tidak merasa bersalah sedikit pun.
Farah memandang Aza dengan ekspresi kaget bercampur jengkel. "Lapar? Jadi kamu keluar pesantren cuma buat makan?!" Suara Farah mulai meninggi.
"Iya. makan kan juga obat lapar." jawab Aza santai.
"Aza, ini bukan perkara kecil. Kamu mengajukan izin karena sakit dan ternyata hanya karena lapar? Itu sudah melanggar aturan."
Aza mengangkat bahu, lalu menatap Farah dengan santai. “Yah, awalnya aku memang pikir perutku sakit beneran, mbak Parah. Tapi setelah keluar, ternyata aku cuma keliru. Lagipula, lapar itu kan bisa dianggap sakit juga, kan?”
Farah hampir kehilangan kata-kata mendengar alasan konyol Aza. “Aza! Ini pesantren, bukan tempat untuk sembarangan alasan keluar masuk. Kau tidak bisa menggunakan alasan yang dibuat-buat begitu saja!” Farah mulai kesal karena Aza menanggapi semua dengan sikap seenaknya.
Aza menghela napas pendek, lalu tersenyum simpul. "Santai aja, mbak Parah. Lagipula, aku kembali tepat waktu, kan? Nggak ada masalah, semuanya aman terkendali." Aza berbicara dengan nada santai, bahkan ada sedikit candaan dalam suaranya. Seolah-olah apa yang dia lakukan hanyalah hal kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Tapi Farah jelas tidak bisa santai. “Kau pikir ini lelucon? Aturan di pesantren ini ada untuk dipatuhi, Aza. Kau selalu punya alasan untuk melanggarnya. Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja.”
Aza memutar bola matanya, merasa perdebatan ini tidak akan berakhir dengan cepat. “Oke, oke. Aku salah, aku keluar karena lapar, bukan untuk obat. Tapi serius, mbak Parah, ini bukan akhir dunia. Kalau aku memang bersalah, ya sudah, beri saja aku hukuman lagi.” Aza menambahkan dengan nada sedikit main-main, seolah hukuman sudah menjadi bagian dari rutinitasnya di pesantren.
Farah memandang Aza dengan tatapan tajam. "Kau benar-benar tidak mengambil ini dengan serius, ya?" gumam Farah setengah berbisik, lalu menatap Aza dengan tegas. "Baiklah, kalau begitu, kita lihat saja apa hukuman yang cocok untukmu kali ini. Kau memang selalu bisa mencari masalah."
Aza tersenyum lebar dan menepuk bahu Farah dengan lembut. "Jangan terlalu tegang, mbak Parah. Hidup itu harus sedikit santai. Terlalu serius bisa bikin cepat tua, lho."
Farah mundur sedikit, wajahnya masih penuh ketegasan. "Jangan berpikir aku akan membiarkanmu lolos begitu saja, Aza. Hukumanmu belum aku putuskan."
Aza hanya tersenyum lebar lagi, melambaikan tangan saat ia berlalu meninggalkan Farah yang masih berdiri dengan tatapan tak percaya. "Baiklah, baiklah. Sampai nanti, ketua pengurus yang sangat tegas! putuskan saja besok, aku capek hari ini." Aza berkata sambil berjalan pergi dengan gaya santainya, seolah-olah baru saja memenangkan suatu perdebatan.
Farah mendesah keras, menahan diri agar tidak lebih kesal. "Anak itu benar-benar...," gumamnya, sambil memperhatikan punggung Aza yang menjauh.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....