Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari ke-12
Hari ke -12
Pagi ini aku bisa bangun lebih awal. Padahal dulu, bangun di sepertiga malam sudah menjadi rutinitas kami. Aku dan Limah. Kadang Jingga ikut terbangun jika ia ingin ke toilet. Akhirnya kami shalat berjamaah bersama. Aku rindu kebersamaan itu.
Hatiku tenang, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu merasakan gelisah, dan rasa sesak yang tidak menentu.
Sebelum berangkat, ku sempatkan waktu untuk sarapan bubur di warung pojok. Sebenarnya ada yang lebih dekat, hanya saja aku ingin melihat Limah terlebih dahulu.
Ragu aku melewati rumahnya.
"Assalamu'alaikum." Pas sekali, dia sedang menyapu di halaman.
"Waalaikumsalam, Mas."
"Ikut, yuk!" Aku menenteng mangkuk.
"Ngapain bawa-bawa mangkuk, Mas?" Ia memberhentikan aktivitasnya menyapu.
"Aku mau beli bubur. Ayo sekalian!" Aku selalu berharap dia mau.
"Gak usah, Mas. Aku udah masak," tolaknya.
"Baiklah." Jam menunjukkan pukul 06.20 WIB. Aku tidak mungkin menghabiskan waktu membujuk Limah. Bisa terlambat masuk kerja. Gegas membeli bubur lalu membawanya ke rumah. Sambil curi-curi pandang siapa tahu, Limah sedang berada di luar. Namun nyatanya dia sudah masuk ke dalam rumah.
Aku langsung melanjutkan perjalanan ke rumah dan menghabiskan semangkuk bubur yang masih mengepul asapnya.
Aneh ternyata rasanya makan sendiri. Tapi apa boleh buat? Semua sudah terjadi. Tak mau membuang waktu, setelah sarapan selesai, aku bergegas berangkat ke kantor. Ku kendarai mobil dengan kecepatan sedang. Sambil sesekali bershalawat Jibril.
"Allahumma sholli 'alaa Muhammad, wa 'alaa ali Muhammad." Ya Allah, lama sekali aku tidak berdzikir dan bershalawat. Beri hamba petunjuk atas apa yang terbaik kedepannya.
Setelah sampai, segera ku parkirkan mobil, dan bergegas menuju kantor.
"Wih, tumben tepat waktu lagi, Pak? Hehe" Pak satpam menyapaku ramah.
"Hehe, iya dong, Pak," jawabku. Aku mengangguk lalu memarkirkan mobil di halaman parkir. Gegas menaiki tangga dan menuju pintu masuk.
"Weh, kesambet hantu putih kau, ya? Tumbenan pagi berangkatnya," cibirnya. Anto menyusul ku dari belakang.
"Iya, dong."
"Wan, aku ikut pulang denganmu ya nanti." Ia menyeimbangi langkahku.
"Mau ngapain?" ketus ku sambil terus berjalan cepat. Kali ini Anto bukan teman yang asyik diajak bicara.
"Mau silaturahim sama calon istri dan anak." Dia tertawa, menyebalkan sekali.
"Jangan macem-macem kau, ya!" ancam ku.
"Aku mau taaruf doang. Siapa tahu nanti dia kaget kalau tiba-tiba aku lamar," kelakarnya begitu bahagia.
"Jangan harap!" Aku memukul kepalanya dengan berkas yang kubawa, lalu meninggalkannya dengan kesal. Baru saja hatiku tenang, Anto sudah merusak mood ku dengan cepat.
***
16.00 WIB, pekerjaanku selesai, segera ku matikan laptop, dan memasukannya ke tempatnya, lalu membereskan meja kantor yang cukup berantakan. Aku sudah belajar menata dengan cukup rapih sekarang.
Perutku terasa lapar, nanti di jalan aku akan membeli makanan supaya di rumah tidak merasa kelaparan.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menit, rasanya aku ingin memakan ketoprak. Segera ku parkirkan mobil di samping pedagang kaki lima penjual ketoprak.
"Satu ya, Pak!" Aku sibuk memainkan ponsel.
"Oh iya, baik." Dia segera meracik bahan-bahan.
"Ini, Pak." Setelah beberapa lama, ketoprak ku jadi. Bumbu kacangnya begitu terlihat menggiurkan.
"Terima kasih." Aku menengadahkan wajah, dan ... "Profesor?" Wajah yang tak asing berada di hadapanku.
Kenapa Pak Profesor menjadi tukang ketoprak? Padahal dulu beliau adalah Profesor muda yang menjadi dosenku di sebuah kampus ternama.
"Ridwan Al-Ghifari?" Syukur lah dia masih ingat namaku.
"Ya, itu aku, Prof." Aku segera menjabat tangannya, lalu menciumnya takzim.
"Masya Allah, sudah jadi orang ya sekarang," ucapnya sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Emang kemarin orang-orangan, Pak?" Aku terkekeh kecil, beliau pun ikut terkekeh.
Kharisma nya tidak berubah, begitulah orang berilmu.
"Bagaimana kabarnya, Prof?" tanyaku sambil mengajaknya duduk bersama.
"Ya, seperti yang kau lihat sekarang. Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?" Beliau tersenyum ramah.
"Alhamdulillah, baik, Prof. Maaf kenapa sekarang berjualan kami lima begini?" tanyaku hati-hati. Tak enak sebenarnya bertanya seperti ini, namun apa boleh buat? Rasa penasaranku merusak ketidak enakan ku.
"Panjang ceritanya, Wan." Beliau menghela napas berat lalu menghembuskan nya kasar.
"Jika sekiranya ada pelajaran yang bisa ku ambil, bolehkah prof menceritakannya?" pintaku penuh harap. Kadang setiap apa yang diceritakan profesor di kelas membuatku banyak merenung dan mengambil pelajaran berharga.
"Tentu saja." beliau menarik kursinya mendekat ke arahku.
"Semua berawal dari hawa nafsuku, sebagai seorang laki-laki." Beliau terdiam untuk beberapa saat.
"Kenapa bisa, Prof?" Aku menengadahkan kepala. Ketoprak kubiarkan dulu sampai beliau selesai berbicara.
"Kau tahu sendiri bukan, di umur 35 tahun aku sudah menjadi profesor muda?" tanyanya mencoba mengingat-ingat.
"Ya, Prof," jawabku cepat.
"Bahkan saking fokusnya dengan studi, aku tidak kepikiran untuk menikah sama sekali. Hingga suatu hari ayah menjodohkan ku dengan seorang perempuan yang menurutnya baik, dan Sholehah." Beliau men jeda kalimatnya.
"Lalu?" Aku masih menyimak dengan penasaran.
"Aku menolaknya. Karena menurutku, aku tak mau menghabiskan waktu dengan orang yang tidak aku cintai sama sekali. Aku bertekad untuk menemukan seseorang yang menarik hati, pikiran dan mataku. Maka aku akan bahagia bila habiskan hidup dengannya.
Hingga pada suatu hari, aku menemukan seorang perempuan yang menarik mata, hati, dan pikiranku. Dia sangat cantik, dengan wajah ketimurannya. Berhari-hari ia terus mengusik pikiranku. Aku selalu merasa ada perasaan yang berbeda setiap bertemu dengannya,” ucapnya. Aku ikut senyam-senyum membayangkan saat bertemu dengan May.
“Aku memberanikan diri berkenalan dengannya. Ia sangat friendly dan enak diajak bicara. Obrolan kami nyambung dan aku merasa nyaman dengannya. Hingga akhirnya setelah dua minggu berkenalan, aku memutuskan menjadikannya sebagai pelabuhan terakhirku dala pencarian cinta. Aku menyampaikan maksudku padanya, sebab aku tak mau berlama-lama berpacaran.
Hal yang tak aku duga, gayung pun bersambut. Dia menerimaku, lalu aku meminangnya. Dua bulan kemudian kami menikah." Sesekali senyum tersungging di bibirnya, mungkin mengingat kembali sang pujaan hati.
"Wah, akhirnya. Penantian panjang ya, Prof," ucapku ikut senang.
"Tentu saja. Satu tahun pertama, aku sangat bahagia. Kehidupan kami seperti benar-benar sempurna. Kecintaanku padanya, semakin hari semakin besar. Hingga di tahun pertama pernikahan, kami diberikan kepercayaan mendapatkan seorang anak laki-laki yang lucu dan menggemaskan.
Kebahagiaan kami semakin sempurna. Aku semakin bersemangat bekerja, karirku terus melonjak naik. Kami membeli rumah mewah disekitaran kampus, dan dia meminta mobil mewah, akupun memenuhinya. Meski sebenarnya itu adalah hasil penjualan warisan dari orangtuaku. Namun apa boleh buat? Aku merasa ada yang mengganjal dalam hidupku bila tidak memenuhi keinginannya. Toh menyenangkan istri bisa melancarkan rejeki kita, bukan?” tanyanya. Aku hanya mengangguk membenarkan.
Ucapannya benar adanya tanpa ada manipulatif. Aku dulu membahagiakan istriku. Semakin ia bahagia dan mendoakan ku, karirku dirasa semakin cemerlang.
“Tapi Waktu semakin berlalu, Wan! Baru kusadari tabiat buruknya. Ia jarang sekali bersyukur atas nafkah yang kuberikan kepadanya. Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menafkahinya.
Belum lagi keinginannya untuk mempercantik diri semakin besar. Dia tak pernah segan membeli kosmetik, dan skincare mahal. Padahal tidak semuanya dia pakai, sebagian lain hanya untuk pajangan dan untuk dipertontonkan.
Lemari lemari untuk penyimpanan barang branded semakin banyak, menambah sesak rumah dan juga .... isi dompetku.
Aku akui awalnya dia memang sudah seperti itu, namun sebab rasa cintaku aku tidak peduli hal itu. Semakin ia memakai pakaian mahal, tas mahal, aku merasa berhasil menjadi seorang suami. Ia juga semakin cantik setiap harinya. Aku begitu memujanya.
Hingga suatu hari, aku dikejutkan oleh pemandangan yang luar biasa merusak semua rasa cintaku. Ia meluluh lantakkan semua kasih sayang dan semua yang kami bangun bersama. Aku menyaksikannya berzinah dengan lelaki lain. Sakit bukan main rasanya, aku langsung memukuli laki-laki itu hingga pingsan, dan tanpa sadar aku memukuli istriku.
Tanpa diduga, istriku melaporkanku ke kantor polisi. Aku ditahan selama dua tahun delapan bulan atas tindak kekerasan yang kulakukan. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 351 ayat (1) KUHP,” tuturnya panjang lebar. Aku baru tahu Profesor pernah masuk ke ranah hukum. Kukira orang berpendidikan tidak akan terjerumus atau terjebak masuk ke sana.
“ Kau tahu, Wan? Selama itu istriku tidak pernah datang menjengukku. Sekalinya datang, ia sudah menggugat cerai. Karena kondisi yang selalu memojokanku, aku menandatangani itu, kamipun bercerai.
Setelah bebas, aku mencari keberadaan mereka. Rumah yang sudah ku beli dan ku perjuangkan dijualnya begitu saja. Sekian lama mencari, akhirnya aku menemukan tempat tinggalnya. Namun aku dilarang untuk masuk. Bahkan tidak bisa bertemu dengan anakku. Mertuaku mengusirku, sebab istriku memutar balikan apa yang terjadi. Ia memfitnahku tidak pernah memberikan nafkah, dan sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Dan parahnya, bukan hanya mertuaku, tetangga dan instansi tempatku bekerja mengetahui tuduhan itu.
Pastinya, istriku yang mengatakan itu.
Aku langsung dipecat, dan tak ada instansi yang percaya untuk mempekerjakanku lagi. Citra diriku sudah hancur begitu saja karena terlalu mendewakan cinta.
Aku sempat depresi panjang. Tertawa sendirian di pinggir jalan. Jika saja Allah tidak menolongku, niscaya akal sehatku benar-benar hilang,” ucapnya sedih.
“Ya Allah, sungguh ujian yang sangat berat bagimu, Prof,” ujarku sedih.
“Ya, betul. Tapi Allah begitu baik, Wan. Setelah itu, aku menemukan semangat baru. Aku berjuang menghidupi diriku sendiri. Apapun kulakukan selagi halal." Aku melongo dan kaget mendengar penuturan panjang profesor. Ia masih sanggup berdiri di atas kakinya meski sudah dihancurkan sehancur hancurnya.
"Sementara perempuan yang pernah dijodohkan kepadaku, dia sudah menikah dengan seseorang. Bahkan aku sempat iri kepada laki-laki itu, sebab dia sukses dan bermartabat sekarang. Bukankah dibalik laki-laki yang sukses ada perempuan yang hebat?
Aku iri, ketika melihat seorang istri dengan tulus mencintai suaminya, bahkan ia bisa menjaga harkat dan martabat suaminya dimanapun dia berada," tuturnya sambil mengeluarkan air mata. Penjelasan profesor seperti membungkam keserakahanku selama ini.
"Ya Allah, saya turut prihatin, Prof. Jujur saya kaget mendengar penuturan yang Prof sampaikan. Saya kira hilangnya Profesor dari dunia pendidikan tidak seperti ini kisahnya. Semoga kedepannya kehidupan kembali memihak kepadamu,"
"Aamiin, ya begitulah kenyataanya. Apa kau sudah memiliki keluarga kecil?" tanyanya sembari mengusap pipinya yang basah.
"Ya," jawabku sambil tersenyum.
"Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya," ucapnya tulus.
"Prof, aku banyak belajar banyak denganmu hari ini," sela ku. Aku langsung teringat dengan Halimah yang selalu setia menemaniku.
"Aku harap kisahku bukan tentang aib diri sendiri, Wan! Namun terlebih pelajaran bagi orang lain yang beruntung mendengarkan kisah sederhana ini." Beliau menatapku dalam. Tersirat sebuah harapan dari tatapannya. Aku mengangguk mengerti.
"Tentunya, Prof. Kau selalu memberi pelajaran berharga dari apa yang kau ajarkan dan kisahkan. Aku selalu rindu dengan semua pelajaran berharga yang kau tuturkan.
Sungguh aku sangat senang bisa berjumpa denganmu di sini, Prof. juga mendengar penuturan mu yang begitu syarat akan makna."
"Semoga, ya. Aku berharap, para suami tidak sibuk melirik yang lebih menarik dari istrinya. Terlebih hanya karena masalah sepele bernama ‘bosan dan cinta baru.’ Sebab yang menarik belum tentu sesuai dengan hidupnya." Aku sangat merasa tersindir, malu rasanya terhadap diri sendiri.
Aku mengangguk, ku cerna kalimat demi kalimat yang beliau sampaikan.
"Pak, saya pesan karedok nya dua, ya!" Seseorang pembeli menghentikan obrolan kami.
"Oh iya, siap." Beliau langsung berdiri dan melayaninya. Aku kembali memakan ketoprak ku yang sudah terlanjur dingin, namun terasa berharga dan nikmat setiap sendoknya.
"Prof, terima kasih untuk pelajaran berharga hari ini. Aku berharap kehidupan kembali memihak kepadamu." Aku menghampirinya dan menyerahkan beberapa lembar uang merah.
"Aamiin. Ini kebanyakan, Wan," tolaknya. Ia mengembalikan uang dariku dan menggeleng kuat.
"Tidak, Prof. Bahkan Itu tak sebanding dengan ilmu yang kau ajarkan padaku." Beliau tersenyum, lalu aku mencium tangannya takzim.
"Aku pamit, Prof, Assalamu'alaikum." Aku membungkuk hormat lalu bergegas menuju mobil.
"Waalaikumsalam," sahutnya ramah. Profesor kembali berjualan, dan aku kembali melanjutkan aktifitas ku.
Sepanjang perjalanan aku memikirkan semua perkataan profesor. Aku harap, masih ada setitik kesempatan untukku memperbaiki diri.
Jalanan lenggang, mataku mengembun ketika mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Belum tentu aku akan menemukan kebahagiaan yang baru dengan menyakiti seseorang yang selalu membuatku bahagia. Halimah, sepertinya aku akan memilihmu!